Advertisement - Scroll ke atas
Opini

Perceraian Kian Meningkat, Apa Penyebabnya?

871
×

Perceraian Kian Meningkat, Apa Penyebabnya?

Sebarkan artikel ini
Perceraian Kian Meningkat, Apa Penyebabnya?
Mursyidah Nadjamuddin, S.Pd (Pegiat Literasi)

OPINI—Memprihatinkan, Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama, Prof Dr Kamaruddin Amin menyampaikan, Kenaikan angka perceraian di Indonesia, menjadi 516 ribu setiap tahun.

Sementara angka pernikahan semakin menurun, dari 2 juta menjadi 1,8 juta peristiwa nikah setiap tahun,” kata dia dalam agenda Rakornas Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) 2023, di Jakarta, Kamis (republika.co.id, 21/9/2023).

Advertisement
Scroll untuk melanjutkan

Kamaruddin mengatakan, jumlah itu tergolong fantastis sehingga untuk menanganinya membutuhkan keterlibatan semua pihak, termasuk Baznas.

“Kita bisa bayangkan, kalau ada 516 ribu pasang yang bercerai setiap tahun, itu artinya kita melahirkan jutaan anak-anak yatim setiap tahun,” tuturnya.

Kamaruddin melanjutkan, Ditjen Bimas Islam Kemenag memiliki program Bimbingan Perkawinan Pra Nikah bagi Calon Pengantin (Bimwincatin). Ini adalah program yang sangat penting untuk memberikan edukasi kepada mereka yang hendak menikah.

“Karena mereka yang ingin menikah ini ternyata tidak semuanya siap, belum paham tentang keluarga, belum siap menjadi suami atau istri dan belum paham tentang manajemen keuangan, kesehatan reproduksi. Sehingga berpotensi melahirkan generasi stunting, yang sangat berpotensi untuk bercerai,” katanya.

Belum lagi Banda Aceh – Belakangan ini, angka perceraian tinggi di Aceh, yang lebih mengejutkan lagi, ada kasus perceraian bukan karena persoalan ekonomi atau Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT, melainkan karena si suami seorang penyuka sesama jenis atau homoseksual.

Hal ini diungkapkan Kepala Kanwil Kementerian Agama atau Kakanwil Kemenag Aceh, Drs Azhari saat bersilaturahmi ke Kantor Serambi Indonesia, Jumat (serambinews.com, 25/8/2023) siang.

Kasus yang terus meningkat ini tentunya menjadi perhatian kita bersama. Kasus perceraian sesungguhnya merupakan masalah sosial yang tidak lepas dari realitas yang terjadi di masyarakat.

Artinya, tidak akan lepas dari nilai maupun prinsip hidup yang ada di tengah masyarakat. Prinsip ini lahir dari satu sistem hidup yang memengaruhi cara pandang masyarakat, termasuk mengenai rumah tangga. Prinsip hidup ini pula yang mendukung langgeng tidaknya sebuah pernikahan.

Banyak dan besarnya faktor pemicu guncangan dalam rumah tangga merupakai tidak lain akar penerapan sistem ekonomi kapitalis yang menciptakan kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin. Kekayaan yang hanya dimiliki oleh segelintir orang, sehingga semakin nampaklah kesenjangan di masyarakat tersebut.

Akhirnya untuk memenuhi kebutuhan hidup, tak sedikit kemudian perempuan keluar rumah untuk banting tulang membantu suami untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Tanpa medarimperhatikan batasan interaksi di tempat umum yang menjadikan para istri akrab dengan dunia luar tanpa memperhatikan lagi batasan mereka sebagai seorang istri demi terpenuhinya kebutuhan keluarga.

Belum lagi gaya hidup yang kian hari makin memaksa perempuan untuk ikut tren, yang menyebabkan membengkaknya pengeluaran dalam rumah tangga, sehingga menjadi pemicu percekcokan menjadi rutinitas harian yang berakibat KDRT. Sehingga kaum feminisme pun tak mau kalah untuk memacu semangat para perempuan untuk memberdayakan diri mereka dengan bekerja, padahal akar masalahnya bukanlah masalah kesetraan.

Ditambah dengan pergaulan diluar yang serba bebas, sehingga semakin terkikislah keharmonisan rumah tangga. Belum lagi bekal agama yang tidak dimiliki pasanga suami istri sehingga dalam membina rumah hanya sekedarnya saja.

Berbeda jauh dengan islam, yang membentuk rumah tangga sesungguhnya merupakan bagian dari syariat. Untuk itu, Allah menggariskan sejumlah hukum agar dalam menjalankan biduk rumah tangga senantiasa dalam petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Allah membebankan kewajiban kepada laki-laki sebagai pemimpin (qawwam) dan kaum perempuan sebagai ummu wa rabbatul bayt.

Kewajiban ini merujuk pada hukum Allah yang Allah tetapkan. Allah swt. berfirman, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita).” (QS An-Nisâ: 34).

Lalu hadis dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Kalian semua adalah pemimpin dan kalian semua akan diminta pertanggungjawaban, seorang imam adalah pemimpin dan ia nanti akan diminta pertanggungjawaban, seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya dan ia nanti akan diminta pertanggung jawabannya, seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan ia nanti akan diminta pertanggungjawabannya.”

Laki-laki maupun perempuan, keduanya wajib memahami konsekuensi dari amanah yang Allah tetapkan di pundak masing-masing. Tidak sibuk menuntut hak karena kewajiban keduanya telah dipahami satu sama lain. Ini karena lalai terhadap kewajiban berarti pembangkangan terhadap hukum Allah

Sementara itu, negara berperan besar dalam menyiapkan warganya untuk memasuki jenjang pernikahan. Jika yang ditakutkan saat ini karena kurangnya ilmu, dalam masa Kekhalifahan Islam, negara akan aktif melakukan edukasi mengenai pernikahan.

Di dalamnya tentu meliputi berbagai hal yang berkaitan dengan aspek rumah tangga, seperti membangun hubungan suami istri, pola asuh, pemenuhan gizi keluarga, ekonomi keluarga, dll.

Islam sangat memahami bahwa rumah tangga berperan besar dalam menjamin keberlangsungan peradaban. Ini karena setiap keluarga terintegrasi dengan tanggung jawab masa depan bangsa dan negara, bahkan peradaban manusia.

Masalah yang terjadi hari ini menjadi kompleks karena sistem kehidupan yang sedang berjalan. Rumah tangga dihadapkan pada sistem sosial yang amburadul, sistem ekonomi yang tidak manusiawi, juga sistem hukum yang berlandaskan pada nilai kebebasan.

Sistem politik pun demikian, berlandaskan pada akal pikir manusia, sedangkan syariat Islam seputar pernikahan dan rumah tangga bersifat parsial semata.

Dengan demikian, selama konsep-konsep sekuler kapitalisme ini berlangsung, institusi pernikahan akan terus menghadapi guncangan. Tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan institusi rumah tangga selain kembali pada Aturan Islam. Wallahu A’lam. (*)

Penulis
Mursyidah Nadjamuddin, S.Pd
(Pegiat literasi)

 

***

 

Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.

error: Content is protected !!