MAKASSAR—Program Golden Shakehand yang diluncurkan PT Angkasa Pura Support (APS) Bandara Sultan Hasanuddin Internasional Makassar mendapat kritik tajam dari Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Makassar. Program tersebut dianggap melanggar Undang-Undang Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja, terutama terkait hak-hak pekerja.
Direktur LKBH Makassar, Muhammad Sirul Haq, SH, C.NSP, C.CL, menyoroti kebijakan ini sebagai upaya memaksa karyawan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT), termasuk pekerja cleaning service, untuk mengambil pensiun dini dengan kompensasi pesangon yang dianggap tidak sesuai aturan.
“Kami meminta agar program ini dihentikan. Pekerja tidak boleh didesak pensiun dini dengan tawaran pesangon yang tidak memenuhi standar ketentuan undang-undang,” tegasnya di Pengadilan Negeri Sungguminasa usai menghadiri sidang perdata, Kamis (5/12/2024).
Sebagai langkah awal, LKBH Makassar telah mengajukan surat permohonan Bipartit dengan nomor 03/B/LKBH Makassar/XII/2024. Surat ini diterima langsung oleh Muhammad Sayuti Rahim, perwakilan Human Capital PT APS, pada Selasa (3/12/2024) di kawasan Bandara Sultan Hasanuddin.
Dalam surat tersebut, LKBH Makassar menuntut penghentian program Golden Shakehand dan meminta PT APS untuk memprioritaskan peningkatan kesejahteraan pekerja, termasuk penyesuaian gaji sesuai Upah Minimum Provinsi (UMP) Sulawesi Selatan tahun 2025.
Menurut Sirul Haq, PT APS seharusnya fokus pada upaya meningkatkan kesejahteraan pekerja daripada menawarkan solusi kontroversial seperti Golden Shakehand.
“Kami berharap PT APS segera melaksanakan pertemuan Bipartit ini sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Jika tidak ada tanggapan hingga Senin mendatang, kami akan mengajukan permintaan Bipartit kedua,” tegasnya.
Protes ini mencerminkan keresahan para pekerja atas kebijakan perusahaan yang dinilai tidak berpihak pada hak-hak karyawan. LKBH Makassar menegaskan komitmennya untuk mengawal kasus ini hingga tercapai solusi yang adil.
Upaya ini juga menjadi peringatan agar perusahaan lain lebih berhati-hati dalam merancang program yang menyangkut nasib pekerja.
Tuntutan pekerja ini menjadi pengingat pentingnya dialog terbuka antara manajemen dan karyawan guna menghindari konflik tenaga kerja yang lebih besar di masa depan. (*)












