Advertisement - Scroll ke atas
Opini

Utopis, Mengharapkan Kesejahteraan Guru dalam Sistem Sekuler-Kapitalis

392
×

Utopis, Mengharapkan Kesejahteraan Guru dalam Sistem Sekuler-Kapitalis

Sebarkan artikel ini
Masyita, S.Pd., M.M (Praktisi Pendidikan)
Masyita, S.Pd., M.M (Praktisi Pendidikan)

OPINI—Pendidikan merupakan fondasi utama dalam membangun peradaban yang unggul. Sejarah telah mencatat bagaimana Jepang bangkit dari kehancuran pasca-Perang Dunia II, terutama setelah tragedi bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, dengan menjadikan pendidikan dan guru sebagai ujung tombak kebangkitan mereka.

Kini, Jepang diakui sebagai negara maju di bidang teknologi dan sains, sebuah bukti bahwa investasi pada pendidikan, khususnya pada guru, tidak pernah sia-sia.

Advertisement
Scroll untuk melanjutkan

Sayangnya, semangat yang sama belum sepenuhnya tertanam dalam sistem pendidikan Indonesia. Padahal, Indonesia memiliki keunggulan sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia.

Dengan nilai-nilai Islam yang semestinya bisa menjadi landasan dalam mendidik generasi yang beriman, bertakwa, dan cemerlang, negeri ini justru masih memilih bertahan dalam sistem sekuler-kapitalis yang terbukti menciptakan berbagai persoalan pendidikan yang kompleks.

Masalah demi masalah terus bermunculan: mulai dari kurikulum yang kerap berubah, metode pembelajaran yang tak kunjung efektif, hingga kesejahteraan guru yang minim. Bukannya mendapat dukungan penuh, guru justru semakin terbebani dengan beban administrasi yang menumpuk dan tuntutan kerja yang tak berujung. Tak sedikit guru yang akhirnya harus mengambil pekerjaan sampingan demi memenuhi kebutuhan hidup.

Di tengah tekanan sistem ini, harapan akan peningkatan kesejahteraan guru kian terasa utopis. Bagaimana mungkin kesejahteraan bisa dicapai dalam sistem yang mendasarkan segala sesuatu pada asas keuntungan ekonomi semata, dan bukan pada kemaslahatan pendidikan?

Kesejahteraan Guru dalam Sistem Islam

Sejarah mencatat bahwa pada masa kejayaan Islam, posisi guru begitu dihormati dan disejahterakan. Mereka bukan sekadar pengajar, tetapi juga pembentuk peradaban dan penjaga ilmu.

Negara Islam kala itu memberikan perhatian besar terhadap kesejahteraan para guru, baik melalui pemberian gaji yang tinggi maupun fasilitas penunjang lain yang memungkinkan mereka fokus pada tugas utama: mendidik dan mencetak generasi berkualitas.

Sebagai contoh, pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, gaji guru tercatat mencapai 4 hingga 15 dinar per bulan. Di era Daulah Abbasiyah, gaji guru bahkan mencapai 1.000 dinar per tahun, sekitar 83,3 dinar per bulan. Angka ini mencerminkan penghargaan negara terhadap peran vital guru dalam membangun masyarakat berilmu.

Sistem pendidikan Islam menempatkan guru sebagai pilar utama peradaban, dan karena itu, menjamin kesejahteraan mereka bukanlah pilihan, melainkan keharusan. Dengan jaminan ini, guru mampu menjalankan peran mereka secara maksimal tanpa dibebani keresahan finansial.

Realitas ini semestinya menjadi inspirasi sekaligus bahan refleksi. Selama sistem pendidikan kita masih berlandaskan pada paradigma sekuler-kapitalis, kesejahteraan guru hanya akan menjadi janji kosong. Sudah saatnya kembali kepada sistem pendidikan Islam yang terbukti menjadikan guru sebagai prioritas dalam pembangunan bangsa.

Wallahu a’lam. (*)

 

Penulis: Masyita, S.Pd., M.M (Praktisi Pendidikan)

 

 

***

 

 

Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.

error: Content is protected !!