Advertisement - Scroll ke atas
  • Pemkot Makassar
  • Dirgahayu TNI ke-79
  • Bapenda Makassar
  • Universitas Diponegoro
Inspirasi SulselWajo

Cerita Gustiana, Penjual Putu Corong di Kota Sengkang Tetap Semangat Menjemput Rezeki

819
×

Cerita Gustiana, Penjual Putu Corong di Kota Sengkang Tetap Semangat Menjemput Rezeki

Sebarkan artikel ini
Cerita Gustiana, Penjual Putu Corong di Kota Sengkang Tetap Semangat Menjemput Rezeki
Gustiana salah seorang penjual penganan khas Kota Sengkang ini, berjualan disepanjang jalan Ammasangeng mulai membuka jualan menjelang pagi usai salat subuh hingga mentari mulai meninggi sekitar jam 08.00 Wita. (Foto: Andi Nur Firatunnizwah)
  • Pemprov Sulsel
  • PDAM Makassar
  • Pemprov Sulsel
  • Pilkada Sulsel (KPU Sulsel)

WAJO—Rutinitas pagi kembali dijalani Gustiana (25) ibu satu anak di tepi Jalan Amessangeng Kota Sengkang Kab. Wajo, menggelar jualan putu corong, ada juga menyebut putu soppa, di atas panrung, semacam bangku panjang dan lebar.

Kue khas sarapan pagi buat sebagian orang Bugis di Kota Sengkang ini, hanya dapat diperoleh dari para penjual yang mulai membuka jualan menjelang pagi usai salat subuh sampai dengan mentari mulai meninggi sekitar jam 08.00 Wita.

Advertisement
Scroll untuk melanjutkan

Gustiana salah seorang penjual penganan khas Kota Sengkang ini, berjualan disepanjang jalan Ammasangeng dan beberapa tempat lainnya.

Kepada media yang temui awal pekan pertama Oktober 2022 di Kota Sengkang mengatakan, menjual putu di pinggir jalan hanya ramai pada pukul enam pagi sampai jam delapan pagi ini telah dilakoni sejak 2 tahun lalu.

“Saya menyiapkan bahan putu corong sesudah salat subuh lalu membawanya ke tempat jualan,” kata Gustiana.

“Sambalnya sudah disiapkan dari semalam, daun pisang sudah di gunting sesuai ukuran agar tinggal di bungkus, saya punya satu sampai dua orang pembeli tetap, ibu-ibu usia 65 tahun selalu membeli 3 kali dalam satu pekan,” tandasnya.

Wanita kelahiran Lalabata Takkalalla Soppeng 1997 ini, dalam menjalankan jualan putu menggunakan panrung sehingga di atas bangku itu ada kompor, cetakan putu dan lain sebagainya.

Putu yang dijual terbuat dari beras ketan yang dikukus kemudian ditaburi kelapa parut lalu dibungkus dengan daun pisang, dengan demikian dapat disantap dengan sambal.

Biasanya pembeli putu dengan harga relatif paling sedikit Rp3.000, paling banyak Rp15.000. Pendapatan bersih per hari normal Rp35.000 hingga Rp100.000, katanya.

Kadang sepi kadang ada yang beli Rp20 ribu. “Alhamdulilah saya bersyukur kata Gustiana. Waktu hujan Cuma dapat satu sampai 4 pelanggan, di hari lain kadang saya dapat pembeli lebih banyak lagi,” ujarnya.

“Saya tak putus asa, saya bersemangat untuk menjemput rezeki. Saat bulan Ramadhan, dia tidak berjualan sehingga tidak punya pendapatan,” imbuhnya.

Jauh sebelum menekuni jual putu dalam waktu yang lama dia adalah seorang ibu rumah tangga mengurus anak dan suami yang bekerja, sebagai tukang kayu.

Gustiana hanya tamat dibangku SD dan SMP di Takalalla Soppeng. Dia tidak melanjutkan sekolahnya di bangku SMA.

Sosok ibu anak satu ini, berjuang membantu ekonomi keluarga dengan jualan kue khas Bugis di Sengkang dengan pendapatan, mampu membantu pemenuhan kebutuhan sehari-hari anggota keluarga.

Wanita yang hanya sampai tamat pendidikan pada jenjang SMP ini dengan keterampilan dan pendidikan formal yang relatif minim, bertarung bertahan hidup di tengah persaingan hidup yang keras di kota.

Walau beban dan tekanan hidup yang begitu berat harus dijalani, tetapi sosok penjual kue putu yang satu ini tetap tegar dan bersemangat menyambut pagi serta berharap dan berdoa agar pelanggan serta pembeli jualan kembali berdatangan. (*)

Citizen Report: Andi Nur Firatunnizwah Akbar (Mahasiswa Komunikasi Fisip Unismuh Makassar) 

error: Content is protected !!