Masyarakat sebagai kontrol sosial pun tak lagi memperlihatkan kepekaannya dalam memberikan perlindungan kepada anak. Individualisme telah mengakar kuat mencabut rasa peduli kepada sesama. Bahkan tatanan masyarakat yang buruk turut mengambil andil dalam kerusakan generasi saat ini.
Apalagi jika tidak ditunjang dengan kekuatan negara sebagai pelaksana aturan yang berfungsi menjaga keselamatan jiwa dan pemikiran anak sebagai generasi penerus perjuangan bangsa.
Sengkarutnya sistem pendidikan di negara ini sudah menjadi rahasia umum. Komersialisasi sarana dan prasarana pendidikan menyebabkan banyak anak yang harus putus sekolah. Kurikulum yang diusung pun lebih mengedepankan nilai materi semata tanpa adanya unsur pendidikan agama yang mumpuni.
Pengawasan terhadap akses informasi juga sangat lemah sehingga anak-anak dengan mudah mendapatkan konten-konten yang merusak seperti pornografi dan pornoaksi. Sistem sanksi terhadap pelaku kejahatan terhadap anak pun tak mampu membuat jera para pelaku. Sehingga anak kehilangan pelindung atau benteng yang akan menjaga mereka dari berbagai macam kerusakan dan tindak kriminalitas.
Support System
Sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas. Bahwa untuk mensukseskan program “Jagai Anakta”, tak cukup hanya dengan mengkampanyekan kepada khalayak dengan harapan akan semakin banyak pihak yang sadar akan pentingnya program ini. Tapi untuk menjaga kehidupan seorang anak, butuh tiga pilar yang berfungsi sebagai support system yaitu keluarga, masyarakat dan negara.
Keluarga sebagai sekolah utama harus menjalankan perannya dengan baik. Orangtua harus mengembalikan fungsi utamanya sebagai pendidik, khususnya kaum ibu. Bukan malah disibukkan dengan aktifitas mencari nafkah yang bukan menjadi kewajiban atasnya atau sekadar memenuhi kebutuhan gaya hidupnya.
Masyarakat pun demikian. Kontrol sosial harus kembali berjalan. Menciptakan lingkungan yang nyaman dan aman bagi tumbuh kembang anak. Serta bekerjasama dalam mengontrol pergaulan anak-anak di lingkungan tempat tinggal masing-masing.
Ditunjang pula oleh negara sebagai perisai utama yang harus menciptakan rasa aman dan memberikan ketentraman bagi setiap warganya termasuk anak-anak. Membangun sistem pendidikan dengan kurikulum terbaik. Sehingga anak-anak tidak hanya hebat dalam sains dan teknologi tapi juga handal dalam agamanya. Serta membangun sistem sanksi yang kuat sehingga tidak ada celah bagi pelaku kejahatan untuk menjadikan anak sebagai mangsa utama.
Juga negara harus bisa menjamin tersedianya kebutuhan mendasar bagi setiap individu rakyatnya baik kebutuhan pokok, kesehatan maupun pendidikan. Serta memudahkan akses agar setiap kepala rumah tangga mampu mendapatkan pekerjaan sehingga para ibu kembali ke rumahnya dan menjadi pendidik terbaik bagi anak-anaknya.
Tak kalah pentingnya adalah sistem yang memayungi negara ini. Jika masih istikamah menjalankan sistem sekularisme-kapitalisme yang memisahkan agama dari kehidupan dan menjadikan materi sebagai tujuan utamanya, niscaya “Jagai Anakta” hanya akan menjadi slogan semata. Sebab dalam sistem ini peran tiga pilar yang menjaga anak-anak tidak mampu untuk menjalankan fungsinya dengan baik sebagaimana yang sudah dipaparkan di atas.
Islam mengajarkan bahwa menjaga anak harus dengan tuntunan syariah. Tak cukup hanya menjadi tanggung jawab orangtua dan sekolah semata. Tapi dengan menjadikan tiga pilar di atas sebagai benteng paling kokoh yang saling bersinergi satu dengan lainnya. Wallahu a’lam bissawab. (*)
Penulis: Indah Dahriana Yasin (Ketua Yayasan Cinta Abi-Ummi Makassar)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.
















