OPINI—Kesehatan merupakan kebutuhan tak terelakkan yang harus terpenuhi. Jangkauan untuk kesehatan bagi setiap warga negara terbatas pada adanya kartu kesehatan sebagai syarat. Ditambah lagi dari laporan kepala humas BPJS yang menyatakan semakin meningkat nya rasio beban penerimaan iuran BPJS telah mencapai 109, 62% .
Artinya bahwa beban yang harus dibayarkan lebih tinggi ketimbang iuran yang didapat. Akhirnya muncullah wacana kenaikan iuran BPJS hingga 10%, namun itu pun masih tidak cukup untuk bisa menutupi defisitnya dana jaminan (Bisnis.com).
Kesehatan Sebagai Hak, Bukan Komoditas
Keterbatasan jangkauan kesehatan bagi masyarakat tidak hanya pada kendala defisitnya pendanaan jaminan, namun masih banyak lagi problematika aspek kesehatan bagi masyarakat. Seperti pemerataan tenaga kesehatan terutama pada bagian daerah pelosok, yang menjadi kendala terbatasnya akses warga di wilayah tersebut.
Ironi nya permasalahan pemerataan tenaga kesehatan ini pun tak ujub terselesaikan hingga saat ini sebab kebanyakan terkonsentrasi hanya di perkotaan. Dalam hal ini, misal nya tidak idealnya pemerataan dokter Kalimantan Selatan (Kalteng) yang dinyatakan kepala Dinkes berpaku pada rasio baru pemenuhan kebutuhan dokter suatu wilayah yakni satu dokter banding seribu penduduk. Dimana jumlah dokter nya hanya 800 orang dengan total penduduk 2,7 juta jiwa.
Ditambah lagi fasilitas kesehatan yang tidak memadai, sehingga tak heran jika fenomena self-medication yaitu suatu kondisi pengobatan pada penyakit/ gejala tertentu tanpa ada konsultasi dari tenaga kesehatan terlebih dahulu, lebih banyak terjadi di wilayah pedesaan dibanding perkotaan, dimana proporsi nya cenderung meningkat pada tahun 2022 (GoodStats.com). Yang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti status ekonomi dan akses tempat tinggal yang terkategori dalam 3T.
Demikian juga dengan biaya kesehatan yang kian mahal dan kadang tidak terjangkau bagi masyarakat miskin. Adanya pembagian kelas pelayanan kesehatan semakin memperjelas komersialisasi kesehatan, dengan menjadikan nya sebagai komoditas yang dihargai dengan uang, semakin kaya maka kualitas pelayanan semakin bagus, dan begitu sebaliknya. Alhasil tidak semua warga negara bisa mengakses layanan kesehatan yang memadai.
Begitulah realitas hidup dalam sistem kapitalisme. Paradigma kehidupan diorientasikan hanya pada materi semata, jadi memandang kesehatan bukan dengan standar demi kesejahteraan rakyat, tapi pada keuntungan materi.
Kepemimpinan nya yang sekuler juga menjadikan penguasa abai terhadap perannya sebagai raa’in. Kurang nya pengawasan dan pengontrolan dalam aspek pemerataan tenaga kesehatan serta fasilitas kesehatan menjadi bukti pupusnya pemeliharaan penguasa pada rakyat. Negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator bagi para korporator. Sehingga kesehatan menjadi ladang bagi perusahaan swasta untuk meraup keuntungan lewat kebijakan pemerintah. Lantas dimana rakyat harus mengadu jika kebijakan sudah tak memihak pada mereka?
Mewujudkan Jaminan Kesehatan dalam Islam
Kesehatan adalah kebutuhan dasar publik yang wajib disediakan negara. Dalam Darul Islam dimana semua hukum-hukum Islam diterapkan secara kaffah, negara nya tidak membeda-bedakan individu rakyat dalam aspek jaminan kebutuhan rakyat, seperti kesehatan sebab seorang khalifah atau pemimpin dalam negara Islam menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum syara’ dalam Islam. Islam memandang bahwa kesehatan itu merupakan kebutuhan rakyat yang harus terpenuhi secara maksimal. Negara akan menyediakan seluruh pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat secara cuma-cuma.
Pendanaan jaminan dalam Islam diambil dari kas negara yaitu baitul mal yang memiliki sumber tetap masukan berupa fa’i, jizyah, kharaj, seperlima harta rikaz, dan zakat, serta hasil pengolahan sumber daya alam yang masuk dalam kepemilikan umum. Semua nya akan dianggarkan untuk kesejahteraan rakyat, bukan membiarkan rakyat terbebani dengan iuran demi mendapatkan pelayanan kesehatan yang merupakan kebutuhan bagi individu masyarakat.
Kepala negara dalam Islam berfungsi sebagai raa’in yang berperan dalam menjamin kesejahteraan dan keselamatan rakyatnya. Pemimpin akan menjalankan syariat pada tatanan negara sebagai asas kepemimpinan nya. Sebab kesadaran akan apa yang dipimpinnya kelak dipertanggungjawabkan dihadapan Allah. Dengan berdasarkan pada Sabda Rasulullah
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)”.
Karena tidak berpandangan pada keuntungan, maka pemerataan kesehatan akan terjamin baik di pedesaan atau perkotaan, tidak hanya fokus pada pembenahan di kota-kota besar tapi pembangunan di desa-desa akan sama, apalagi menyangkut kesehatan masyarakat.
Pada masa kekhalifahan Islam semua rumah sakit dilengkapi dengan tes-tes kompetensi bagi setiap dokter dan perawatnya, aturan kemurnian obat, kebersihan, sampai pemisahan pasien penyakit-penyakit tertentu. Bahkan Rumah sakit pada masa itu menjadi favorite para pelancong asing yang ingin menikmati kemewahan tanpa biaya, sebab seluruh rumah sakit di Daulah Islam bebas biaya, namun karena mereka terbukti tidak sakit pada hari keempat mereka diusir karena kewajiban menjamu musafir hanya sampai tiga hari.
Begitulah realitas penerapan Islam secara kaffah dalam bingkai kehidupan masyarakat pada masa itu, tak hanya ketakwaan individu dan masyarakat saja implementasi syariat Islam dalam kehidupan tapi terpenting adalah penerapan oleh negara sebagai wujud penjagaan masyarakat dengan Islam sebagai Rahmatan Lil ‘Alamin. (*)
Penulis: Reskidayanti
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.

















