Advertisement - Scroll ke atas
Opini

Sengkarut Pengelolaan Haji

633
×

Sengkarut Pengelolaan Haji

Sebarkan artikel ini
Sengkarut Pengelolaan Haji
Firman Budiman (Aktivis Kepemudaan)

OPINI—Haji adalah panggilan Allah. Begitulah yang Allah SWT nyatakan sendiri dalam Al Qur’an, surah Al-Hajj: 27, “Kumandangkanlah seruan haji kepada umat manusia, maka mereka pun akan datang kepadamu, baik dengan berjalan kaki, atau dengan mengendarai tunggangan yang kurus, datang dari tiap pelosok yang nun jauh.”

Haji sebagai rukun Islam yang kelima merupakan bagian dari ibadah mahdhah. Sebagaimana ibadah mahdhah lainnya, Allah memang tidak pernah menjelaskan alasan disyariatkannya ibadah ini. Yang pasti, banyak manfaat ibadah haji (lihat QS. Al Hajj [22]: 27-28). Ada yang bersifat individual dan komunal, ada juga yang berkaitan dengan hak-hak Allah dan makhluk. Di luar itu, ternyata haji memiliki makna politis.

Advertisement
Scroll untuk melanjutkan

Pengelolaan Haji Sarat Kapitalisasi

Tahap keberangkatan jemaah haji Indonesia berakhir pada Senin, 11 Juni 2024, seiring kedatangan 333 jemaah kelompok terbang 106 Embarkasi Surabaya (SUB-106) di Makkah Al Mukarramah.

Data Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) Kementerian Agama (Kemenag) mencatat, dari 213.320 kuota haji reguler Indonesia, sebanyak 213.275 telah diberangkatkan ke Tanah Suci.

Kuota haji Indonesia tahun ini mencapai 241.000 jemaah. Jumlah ini terdiri atas 213.320 jemaah haji reguler dan 27.680 jemaah haji khusus. Ini merupakan kuota haji terbanyak dalam sejarah penyelenggaran ibadah haji Indonesia.

Namun, beberapa waktu lalu, pemerintah Saudi Arabia memulangkan 37 WNI karena menggunakan visa nonhaji. Belakangan terkuak penggunaan visa nonhaji ini banyak dipraktikkan travel nakal.

Besarnya perputaran uang dalam bisnis haji dan umrah menjadi pemicunya. Mereka menawarkan visa ziarah, visa multiple, atau visa kunjungan pada jemaah agar bisa ke tanah suci.

Di sisi lain, keinginan untuk berkunjung ke tanah suci membuat sebagian besar kaum muslim rela menempuh berbagai cara. Di sisi lain, kuota haji yang membludak telah membuat daftar tunggu mengular hingga puluhan tahun lamanya. Jalan pintasnya, mengambil kesempatan haji khusus atau haji furoda.

Penyelenggaraan haji harus berpijak pada prinsip pelayanan yang bersifat cepat, sederhana, dan profesional. Artinya, penyelenggaraan haji oleh negara merupakan bagian dari pelayanan negara kepada rakyat.

Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam sehingga dalam pelaksanaannya negara wajib memerhatikan maksimalnya pelayanan yang diberikan kepada jemaah.

Kalkulasi untuk semua kemungkinan yang terjadi saat penyelenggaraan merupakan bagian penting yang tidak boleh luput dari perhatian. Apalagi ini merupakan momentum tahunan, melakukan evaluasi berbagai kekurangan di tahun sebelumnya tentu merupakan perkara penting.

Demikian pula saat negara berani melobi otoritas Arab Saudi terkait jumlah jemaah yang akan pemerintah berangkatkan, jumlah jemaah tentu harus sesuai dengan fasilitas yang negara siapkan.

Selain rasa nyaman dalam melaksanakan ibadah haji, negara juga perlu memastikan terpenuhinya seluruh kebutuhan dasar para jemaah secara pasti dan menyeluruh sebab ini bagian dari pelayanan negara terhadap rakyat.

Terlebih, masalah yang muncul saat penyelenggaraan tahun ini salah satunya karena penambahan kuota. Seharusnya, alasan over capacity sudah diantisipasi sejak awal.

Begitu pun soal biaya layanan, faktanya terus bertambah mahal. Namun pertanyaannya, apakah asumsinya harus sebesar itu? Juga apakah pemerintah tidak bisa mengupayakan skema pembiayaan yang lebih efektif dan efisien, tetapi tetap bisa memberi layanan terbaik bagi para tamu Allah ini?

BPIH sendiri disebut-sebut digunakan untuk membiayai beberapa komponen, seperti biaya transportasi (penerbangan, bis), sewa hotel, konsumsi, pelayanan di embarkasi, debarkasi, imigrasi, layanan di Armuzna (Arafah-Muzdalifah-Mina), premi asuransi, pelindungan, dokumen perjalanan, living cost, pembinaan jemaah haji, dan lain-lain.

Masalahnya, selama ini tidak ada transparansi terkait besaran dana untuk semua komponen tersebut. Malah yang tampak kental adalah paradigma hitung dagang, alias kapitalisasi, bahkan liberalisasi.

Sudah rahasia umum jika semua komponen pembiayaan tersebut diduga menjadi ladang bisnis alias proyek basah tersendiri bagi oknum-oknum pejabat. Belum lagi isu modus mark up besaran biaya per itemnya dan soal tender proyek yang rentan praktik gratifikasi. Alhasil, biaya murah untuk ibadah haji seakan jadi mimpi.

Tudingan ini bukan tanpa dasar. Pada faktanya, nyaris setiap penyelenggaraan ibadah haji dibayangi isu mismanagement dan korupsi, baik terkait penyelenggaraan ibadah haji maupun pengelolaan dananya. Isu korupsi bahkan pernah menjerat Mantan Menag Suryadharma Ali hingga ia masuk bui.

Kajian Direktorat Monitoring KPK sendiri menyebut ada tiga titik biaya yang rawan korupsi, yaitu akomodasi, konsumsi, dan pengawasan. Terkait hal ini, data KPK juga menyebut, untuk penyelenggaraan tahun lalu, kerugian negara yang timbul dari tiga celah tadi cukup besar, yakni mencapai Rp160 miliar.

Adapun terkait pengelolaan dana haji, muncul dugaan bahwa BPKIH selama ini hanya menggunakan skema Ponzi. Artinya, biaya pemberangkatan jemaah haji yang terbilang tinggi dengan kuota reguler lebih dari 203 ribu ini, ditutup dengan setoran calon jemaah haji lain yang antreannya sangat panjang (antara 11—47 tahun) dan jumlahnya mencapai lebih dari 5,2 juta orang.

Atau setidaknya oleh nilai manfaat yang didapat dari pengelolaan ibadah haji yang semestinya secara teori merupakan hak seluruh calon jemaah haji, termasuk yang masih menunggu giliran. Tudingan ini juga bisa dipahami, mengingat pengelolaan dana haji oleh BPKIH selama ini tidak pernah jelas dan transparan.

Wajar jika muncul tudingan tidak sedap di tengah masyarakat bahwa pemerintah bersengaja memanfaatkan dana haji untuk menutupi ketidakmampuan mengurus keuangan negara terkait pembiayaan pembangunan.

Pelayanan Haji dalam Islam

Paradigma yang hadir dalam sistem Islam berpijak pada prinsip ri’ayatus syu’unil ummah. Adapun sebagai pelindung/perisai, negara berada di garda terdepan dalam memberikan perlindungan terhadap rakyat.

Dalam tataran taktisnya, negara wajib menyelenggarakan pelayanan ibadah haji dengan cepat dan sederhana dengan dibantu tenaga profesional di setiap aspek penyelenggaraan.

Implementasinya, negara berperan memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar para jemaah. Negara akan memastikan tidak ada jemaah yang tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya (makan, minum, buang hajat, tempat yang layak).

Juga memastikan para jemaah terlindungi dari segala yang bisa mengganggu kesehatan dalam menjalankan ibadah, entah karena cuaca ekstrem ataupun fasilitas yang kurang memadai.

Pada tataran taktis, negara membentuk tim khusus berupa departemen yang mengurus urusan haji, dari pusat hingga ke daerah. Tersebab ini terkait dengan masalah administrasi, maka urusan tersebut bisa didesentralisasikan sehingga memudahkan calon jemaah haji.

Dalam sistem pemerintahan Islam, negara menyelenggarakan pelayanan dengan prinsip basathah fi an-nizham (sederhana dalam sistem), sur’ah fi al-injaz (cepat penanganan jika terdapat masalah) dan ditangani oleh tenaga profesional untuk memastikan terjaminnya pelayanan bagi jemaah.

Departemen ini mengurusi urusan haji mulai dari persiapan, bimbingan, pelaksanaan hingga pemulangan ke daerah asal. Departemen ini bekerja sama dengan departemen lainnya, seperti Departemen Kesehatan dalam mengurus kesehatan jemaah, termasuk Departemen Perhubungan dalam urusan transportasi massal, maupun tenaga yang dibutuhkan jemaah di lapangan. Seluruh departemen bahu-membahu dalam penyelenggaraan ibadah haji.

Persiapan sarana haji telah dimulai tiga bulan sebelum musim haji. Negara Utsmani, di bawah pimpinan Sultan Utsmani, telah memberikan perhatian lebih dan besar kepada tempat ini. Lajnah Khusus, dengan kedudukan tinggi, yang berhubungan langsung dengan Ash-Shadr al-A’dham (semacam kepala pemerintahan), telah diberi tugas.

Tugas utamanya adalah memonitor dan memperhatikan semua urusan rombongan haji di wilayah-wilayah Islam, serta menginstruksikan kepada wali di wilayah-wilayah itu untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Untuk mengantisipasi membludaknya jemaah dari berbagai pelosok negeri-negeri muslim, penting untuk memperhatikan prinsip syariat secara mendasar bahwa wajibnya haji adalah sekali seumur hidup.

Di sisi lain, penting bagi pemerintah untuk melakukan edukasi bahwa ibadah haji berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan memiliki kemampuan.

Dengan tata kelola yang baik, negara akan mampu memfasilitasi kerinduan setiap warganya untuk menjalankan ibadah haji seraya memastikan terpenuhinya wajib, sunah dan rukun haji secara paripurna.

Ibadah Sarat Hikmah

Pelaksanaan haji memiliki banyak hikmah yang penting. Pertama, haji adalah ibadah yang menunjukkan ketaatan dan pengorbanan. Hanya mereka yang kuat tekadnya yang mau berkorban untuk berhaji.

Sebaliknya, mereka yang lemah keyakinan tidak akan pernah mau melakukan ibadah haji sekalipun punya kelapangan rezeki dan sehat raganya, padahal dalam hadis qudsi, Allah Swt. mengancam siapa saja yang mampu, tetapi menunda-nunda berhaji dengan ancaman yang keras.

“Sungguh seorang hamba yang telah Aku sehatkan badannya, Aku lapangkan penghidupannya, lalu berlalu masa lima tahun, sedangkan ia tidak mendatangi-Ku (menunaikan ibadah haji, red.), ia adalah orang yang benar-benar terhalang.” (HR Al-Baihaqi).

Kedua, ibadah haji adalah simbol tauhid. Di dalamnya ada penegasan pengesaan Allah Swt. dan penafian sekutu bagi-Nya. Selama ibadah haji, para jemaah senantiasa mengumandangkan kalimat talbiah yang berisi seruan tauhid.

Kalimat talbiah juga berisi pengakuan bahwa seluruh kekuasaan adalah milik-Nya semata. Tidak ada pemilik yang hakiki selain Allah Taala. Ketiga, berhaji juga menapaktilasi jejak bersejarah dan spiritual, mulai dari Nabi Ibrahim as. dan Nabi Ismail as., hingga Rasulullah saw..

Kaum muslim berkumpul di sekitar Ka’bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim as. dan putranya, Ismail as.. Mereka berdoa di Hijir Ismail dan Maqam Ibrahim, kemudian melaksanakan sai dari Shafa ke Marwah, sekaligus mereguk kesegaran air dari Sumur Zamzam yang historis dan berkah.

Keempat, ibadah haji juga mengajari kaum muslim untuk mengendalikan amarah dan permusuhan; sebaliknya, mengembangkan sikap ramah serta tolong-menolong kepada sesama. Di tengah cuaca panas terik, lelah, dan berdesak-desakkan, para tamu Allah diminta untuk mengendalikan akhlak.

Kelima, ibadah haji adalah tempat sekaligus momen meleburnya jutaan muslim dari segenap penjuru dunia. Tidak memandang suku bangsa, bahasa, warna kulit, maupun strata, mereka berkumpul di Padang Arafah, di Mina, lalu melaksanakan tawaf dan sai, dsb. secara bersama-sama. Inilah sebagian kegemilangan ajaran Islam yang mampu mengikat manusia dalam satu buhul (ikatan), yakni akidah Islam.

Tentu patut disayangkan, ibadah haji yang mengumpulkan dan melebur jutaan orang dalam satu tempat dan satu waktu, ternyata belum mampu mengantarkan mereka menuju persatuan yang hakiki. Hal ini terus terjadi setiap tahun.

Persatuan umat saat berhaji baru sebatas menciptakan ikatan spiritual tanpa sistem (rabithah ar-ruhiyah bi la nizham). Sama persis dengan ibadah salat berjemaah atau salat Jumat. Umat berkumpul di satu tempat dan satu waktu, kemudian bubar begitu saja.

Tidak lagi ada ikatan di antara mereka. Semestinya, ibadah haji menjadi konferensi akbar untuk membangun kesadaran umat bahwa mereka kini telah tercerai-berai. Tidak lagi menjadi umat yang satu. Banyak permasalahan umat yang harus diselesaikan secara bersama. Wallahu a’lam bi ash shawab. (*)

 

Penulis: Firman Budiman (Aktivis Kepemudaan)

 

***

 

Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.

error: Content is protected !!