Advertisement - Scroll ke atas
Opini

Kampung Moderasi Beragama, Makin Mengokohkan Pluralisme?

1010
×

Kampung Moderasi Beragama, Makin Mengokohkan Pluralisme?

Sebarkan artikel ini
Kampung Moderasi Beragama, Makin Mengokohkan Pluralisme?
Dr. Suryani Syahrir, ST, MT. (Dosen & Pemerhati Generasi)

OPINI—Launching Kampung Moderasi Beragama (KMB) serentak di beberapa daerah di Sulsel pada bulan Juni lalu. Diantaranya Kab. Maros, Bone, Enrekang, Palopo, Sinjai, dan Sidrap. Apa urgensi dicanangkannya KMB? Rasanya masih banyak persoalan yang lebih urgen dan mendesak di negeri ini. Ada kemiskinan ekstrem yang berdampak pada banyak hal, termasuk meningkatnya angka kriminalitas.

Dilansir dari laman sulsel.kemenag.go.id, KMB menjadi salah satu Program dari Kementrian Agama RI dalam menumbuhkan toleransi antar umat beragama dalam lingkungan masyarakat dan memperkokoh sikap beragama yang moderat dengan berdasar kepada nilai keragaman, harmonis, dan toleran.

Advertisement
Scroll untuk melanjutkan

Selanjutnya paradigma berpikir pemangku kepentingan mengungkapkan bahwa setidaknya ada tiga tantangan yang harus dihadapi.

Pertama, berkembangnya cara pandang, sikap dan praktik beragama berlebihan (ekstrem) yang mengesampingkan martabat kemanusiaan.

Kedua, berkembangnya klaim kebenaran subjektif dan pemaksaan kehendak atas tafsir agama serta pengaruh kepentingan ekonomi dan politik berpotensi memicu konflik.

Ketiga, berkembangnya semangat beragama yang tidak selaras dengan kecintaan berbangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pun banyak yang perlu dikritisi dalam dokumen-dokumen resmi di laman Kementrian Agama RI, diantaranya

(1) Rintisan KMB adalah istilah untuk desa atau kelurahan yang memenuhi syarat umum dan sedang dilakukan serangkaian kegiatan Penguatan Moderasi Beragama;

(2) Penguatan Moderasi Beragama yang selanjutnya disingkat PMB adalah upaya sistematis untuk meningkatkan moderasi beragama; dan masih banyak lagi.

Dalih Kemaslahatan

Moderasi Beragama (MB) versi Kemenag adalah cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawentahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum, berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa.

Jika ditelisik definisi di atas, terlihat jelas ke mana arah goals dari MB ini beserta beragam program turunannya (termasuk KMB). MB hakikatnya menguatkan Islam versi Barat, sebagaimana tertuang dalam dokumen dari RAND Corporation.

Sebuah lembaga think tank Amerika Serikat yang mengklasifikasikan Islam secara garis besar, yakni Islam radikal dan Islam moderat. Strategi tersebut tertuang dalam dua dokumen penting yakni “Civil Democratic Islam” pada tahun 2003 dan Building Moderate Muslim Network pada tahun 2007.

Terkait KMB, terlihat jelas ke mana arah narasi ini menggelinding. Dalih kemaslahatan terus dikedepankan. Berlindung di balik konstitusi dan beraneka diksi yang dibuat. Seolah problem negeri ini hanya seputar intoleran.

Padahal, problem mendasar negeri ini adalah ditinggalkannya aturan Sang Khaliq dalam banyak aspek kehidupan. Aturan manusia (dalam bentuk konstitusi) seakan lebih tinggi dibanding aturan Sang Pencipta.

Terkait KMB yang saat ini sedang digalakkan pemerintah, tentu saja kita harus cerdas membacanya. Terlihat dari paparan berbagai dokumen, narasi besar yang diusung adalah mengokohkan pluralisme. Menganggap semua agama itu sama, sehingga terciptalah toleransi kebablasan.

Para pengusungnya pun seakan belum clear memaknai arti moderasi beragama itu sendiri. Padahal, sangat jelas terbaca bahwa yang disasar adalah umat Islam dan yang diinginkan Barat adalah menjadikan umat memaknai agamanya secara moderat. Salah satunya mengakui bahwa semua agama benar (pluralisme).

Mengapa narasi MB ini terus dimasifkan dan masih banyak pihak yang mendukung? Penulis mencoba menganalisis penyebabnya, yakni antara lain:

Pertama, diaruskan negara melalui konstitusi. Disinilah peran negara sangat vital dalam menentukan sebuah kebijakan. Apapun yang dilegitimasi oleh negara, otomatis akan diimplementasikan hingga ke grass root. Walau berseberangan dengan agama sekalipun. Aroma pluralisme sangat mudah terendus dalam berbagai program implementasi MB.

Kedua, berpijak pada asas sekuler. Sekularisme sebagai asas dari sistem kapitalisme yang diemban negeri ini, meniscayakan semua hal dilakukan atas nama kebebasan. Jadilah narasi MB terus merengsek hingga ke hal yang paling asasi, yakni akidah. Pemisahan agama dari kehidupan (sekuler), menjadikan agama hanya boleh mengatur ibadah individu semata.

Namun, perkara kehidupan lainnya seperti pendidikan, ekonomi, sosial budaya, dan yang lainnya hanya boleh diatur negara. Sangat wajar jika banyak pihak menilai bahwa hukum buatan manusia lebih tinggi dari hukum buatan pencipta manusia. Naudzubillah!

Ketiga, bersikap apolitis. Support system eror melahirkan banyak rakyat menjadi apatis. Keimanan sangat mudah tergerus oleh gempuran problem kehidupan dan minimnya pemahaman Islam politik.

Kapitalisme telah menciptakan manusia-manusia materialistik secara sistemik. Kehidupan dimaknai hanya sebatas kebahagian yang ditakar dengan materi. Sehingga apapun bisa dilakukan asalkan bisa mendapatkan cuan, walau harus mengaburkan penafsiran ayat-ayat Allah.

Semrawutnya kehidupan akibat rusaknya tatanan hidup hari ini, bukan karena intoleransi atau hal semisalnya. Namun, ditinggalkanya sebagian besar aturan dari zat yang menciptakan manusia dan seluruh isi semesta, Allah ‘azza wa Jalla. Inilah problem mendasar, sehingga tidak ada solusi lain kecuali menerapkan aturan-Nya dalam seluruh aspek kehidupan.

Sistem Paripurna

Sekitar 1400 tahun yang silam, Islam telah mencontohkan dengan sangat indah bagaimana toleransi yang sebenarnya. Rasulullah saw. telah memberikan teladan terbaik, memperlakukan seorang Yahudi buta dengan sangat manusiawi. Begitupun kehidupan empat agama di Andalusia (sekarang Spanyol) yang hidup berdampingan dengan penuh ketenteraman.

Pun kisah seorang Yahudi yang berkata kepada Salman Al-Farisi radhiyallahu anhu, Sungguh, Rasul kalian telah menjelaskan (segala hal) kepada kalian sampai buang hajat. Selanjutnya Salman radhiyallahu anhu mengatakan, Beliau telah melarang kami menghadap kiblat saat buang air besar dan kecil atau beristinja dengan tangan kanan, beristinja dengan kotoran atau belulang. (HR. Muslim)

Inilah sekelumit kehidupan dalam peradaban Islam. Dimana seluruh aturan Islam diterapkan dalam sebuah negara, tanpa memilih mana yang disukai. Sebuah model peradaban yang kesejahteraannya meliputi 2/3 belahan dunia. Sejahtera dalam semua aspek kehidupan, karena aturan yang digunakan berasal dari zat Yang Mahasempurna.

Oleh karena itu, rakyat tidak butuh berbagai program yang sejatinya makin membuat umat jauh dari agamanya. Karena Islam adalah agama sempurna dan hanya bisa meraih keberkahan jika diterapkan secara menyeluruh (kaffah) dalam institusi negara. Sebagaimana pernah diterapkan selama 13 abad lamanya menaungi 2/3 belahan dunia dengan capaian kesejahteraan tanpa batas. Wallahualam bis Showab. (*)

 

Penulis

Dr. Suryani Syahrir, ST, MT
(Dosen & Pemerhati Generasi)

 

***

 

Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.

error: Content is protected !!