Advertisement - Scroll ke atas
Opini

Cek Kesehatan Gratis: Harapan atau Ilusi?

443
×

Cek Kesehatan Gratis: Harapan atau Ilusi?

Sebarkan artikel ini
Purie Hasdar
Purie Hasdar (Penulis)

OPINI—Pemerintah kembali meluncurkan program baru untuk masyarakat, yakni Pemeriksaan Kesehatan Gratis (PKG) yang akan dimulai pada 10 Februari 2025. Program ini diklaim sebagai langkah strategis untuk meningkatkan kesadaran kesehatan masyarakat sejak dini dan mendeteksi penyakit lebih awal. Tak tanggung-tanggung, anggaran yang dialokasikan mencapai Rp4,7 triliun dari APBN.

Sebanyak 10.000 puskesmas dan 20.000 klinik swasta akan dilibatkan dalam program ini. PKG dirancang berlangsung bertahap mulai Februari 2025, dengan target 60 juta penerima manfaat di tahap awal, dan diharapkan dapat menjangkau 200 juta warga dalam lima tahun ke depan.

Advertisement
Scroll untuk melanjutkan

Mekanisme PKG cukup unik. Masyarakat diwajibkan mengunduh aplikasi SATUSEHAT Mobile, lalu mengisi kuesioner skrining yang diberikan H-7 sebelum ulang tahun. Kuesioner ini berfungsi sebagai tiket untuk mendapatkan layanan kesehatan, yang bisa digunakan maksimal 30 hari setelah ulang tahun di fasilitas kesehatan tingkat pertama. Bagi mereka yang kesulitan mengakses aplikasi, pemeriksaan tetap bisa dilakukan langsung di fasilitas kesehatan.

Program Gratis, Realistis atau Sekadar Pencitraan?

Pemerintah saat ini gencar meluncurkan berbagai program gratis, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan kini PKG. Namun, banyak pihak mempertanyakan kesiapan serta efektivitasnya. Apakah program ini memang solusi nyata atau sekadar proyek pencitraan?

Ada beberapa alasan mengapa program ini dianggap kurang realistis:

1. Tidak Menyentuh Masalah Utama Kesehatan
Sektor kesehatan di Indonesia masih menghadapi berbagai permasalahan mendasar, seperti ketimpangan akses layanan kesehatan, terutama di daerah terpencil, dan minimnya tenaga medis.

Data Profil Kesehatan Indonesia 2022 menunjukkan jumlah dokter yang bekerja di fasilitas kesehatan pemerintah hanya 176.110 orang, dengan rasio 0,47 dokter per 1.000 penduduk. Angka ini jauh dari standar WHO, yakni 1 dokter per 1.000 penduduk. Dengan jumlah penduduk 270 juta jiwa, Indonesia seharusnya memiliki 270.000 dokter.

Selain itu, distribusi tenaga medis pun timpang. 70% dokter dan tenaga medis terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Bali, sementara daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar) mengalami kelangkaan tenaga medis. Bagaimana program PKG bisa berjalan optimal jika tenaga medis yang tersedia masih sangat terbatas?

2. Minimnya Anggaran dan Infrastruktur
Pemerintah berdalih keterbatasan anggaran menjadi penyebab ketimpangan fasilitas kesehatan. Banyak tenaga medis enggan ditempatkan di daerah terpencil karena insentif yang minim. Pembangunan infrastruktur kesehatan juga belum merata, dengan banyak puskesmas dan rumah sakit daerah kekurangan alat medis.

3. Prosedur yang Rumit dan Tidak Ramah Digital
Penggunaan aplikasi SATUSEHAT Mobile bisa menjadi kendala bagi kelompok tertentu, seperti lansia dan masyarakat di pedesaan yang tidak terbiasa dengan teknologi digital. Meskipun pemerintah memperbolehkan pemeriksaan langsung tanpa aplikasi, pertanyaannya: Apakah sosialisasi program ini sudah merata ke seluruh lapisan masyarakat?

4. Ketidakpastian Pelaksanaan
Pemerintah menyatakan bahwa jika peminat program ini rendah, maka anggaran akan dikurangi. Ini menunjukkan ketidakpastian dan kurangnya keyakinan pemerintah dalam memastikan keberhasilan program. Seharusnya, pemerintah memperpanjang durasi program, menyederhanakan prosedur, dan meningkatkan sosialisasi agar masyarakat benar-benar bisa merasakan manfaatnya.

5. Potensi Korupsi
Program ini berisiko menjadi ladang korupsi, mengingat tingginya angka penyelewengan dana dalam proyek-proyek pemerintah sebelumnya. Alih-alih memberikan manfaat nyata, PKG justru berpotensi menjadi proyek bancakan bagi elite politik dan pihak tertentu.

Kawpitalisme dalam Sistem Kesehatan

Berbagai permasalahan ini menunjukkan bahwa sistem kesehatan dalam pemerintahan demokrasi kapitalistik tidak berpihak kepada rakyat. Kesehatan lebih dianggap sebagai komoditas bisnis, bukan sebagai hak dasar masyarakat.

Dalam sistem kapitalisme, sektor kesehatan dikuasai oleh swasta, sementara negara hanya berperan sebagai regulator. Rumah sakit dan layanan kesehatan yang berkualitas hanya tersedia bagi mereka yang mampu membayar mahal. Sedangkan masyarakat kurang mampu terpaksa bergantung pada layanan kesehatan murah dengan kualitas yang jauh lebih rendah.

Pemerintah berdalih bahwa keterlibatan swasta diperlukan karena defisit APBN. Padahal, defisit ini terjadi karena pemerintah mengandalkan pajak dan utang sebagai sumber pemasukan, sementara kekayaan alam yang seharusnya bisa menjadi sumber pendapatan negara malah dikuasai oleh pihak asing dan swasta.

Solusi dalam Perspektif Islam

Berbeda dengan kapitalisme, Islam memandang kesehatan sebagai kebutuhan dasar yang wajib dijamin oleh negara. Rasulullah ﷺ bersabda:

Imam (pemimpin) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari)

Dalam sistem Islam, negara bertanggung jawab penuh atas kesehatan rakyat, dengan beberapa prinsip utama:

  • Pelayanan kesehatan gratis untuk seluruh warga
    Negara wajib menyediakan layanan kesehatan berkualitas tanpa membedakan status sosial ekonomi.
  • Distribusi fasilitas kesehatan yang merata
    Rumah sakit, puskesmas, dan tenaga medis harus tersebar merata di seluruh wilayah, termasuk daerah terpencil.
  • Pendanaan dari Baitulmal
    Kas negara (Baitulmal) mendapatkan pemasukan utama dari pengelolaan sumber daya alam, bukan dari pajak rakyat atau utang luar negeri.
  • Pencegahan penyakit sebagai prioritas
    Negara memastikan lingkungan sehat, air bersih, dan sanitasi yang layak bagi seluruh warga untuk mencegah penyakit sejak dini.

Di masa Kekhilafahan Islam, rumah sakit dibangun dengan fasilitas lengkap dan layanan kesehatan diberikan secara cuma-cuma. Negara tidak menyerahkan sektor kesehatan kepada swasta, sehingga rakyat bisa mendapatkan layanan terbaik tanpa dipungut biaya.

Jika sistem Islam diterapkan, pemeriksaan kesehatan gratis bukan sekadar proyek populis atau pencitraan, melainkan kebijakan berkelanjutan yang benar-benar menyejahterakan rakyat. (*)

Wallahu a’lam bish-shawab.

 

Penulis: Purie Hasdar

 

***

 

Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.

error: Content is protected !!