OPINI—Sulawesi Selatan sedang dalam kondisi kritis. Gunung-gunung dibor, hutan-hutan disusupi alat berat, dan tanah-tanah adat diincar perusahaan tambang. Ini bukan sekedar tambang, ekonomi, maupun pembangunan, melainkan bentuk penjajahan modern yang membungkus diri dalam jargon “investasi”.
Rancangan penambangan emas oleh PT Trinusa Resources di Sinjai mencakup empat kecamatan diantaranya, Kecamatan sinjai Barat, Tengah, Selatan, dan Kecamatan Bulupoddo dengan luas konsesi lebih dari 11 ribu hektar. Penolakan terhadap tambang ini datang dari berbagai kalangan masyarakat, aktivis, mahasiswa, hingga anggota DPRD (ideatimes.id).
Sementara itu, tambang emas Kalla Arebamma di wilayah Rampi dan Seko, Kabupaten Luwu Utara, juga menuai penolakan. Masyarakat rampi meminta pemerintah untuk mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang diterbitkan tahun 2017, dengan konsesi mencapai lebih dari 12 ribu hektar dan berlaku hingga 24 April 2037. Ironisnya, wilayah konsesi mencakup pemukiman masyarakat adat, lahan pertanian dan peternakan, situs sejarah, dan perkampungan tua peninggalan leluhur Rampi (majesty.co.id).
Tambang emas lainnya dikelola oleh PT Masmindo Dwi Area di kawasan Gunung Latimojong, Kabupaten Luwu. Proyek Awak Mas Gold ini mencakup wilayah seluas 14,390 hektar (masmindo.co.id). Menurut Idea Times (17 Juni 2025), PT Masmindo mulai melakukan peledakan (blasting) gunung di sekitar kawasan konsesi tambang, meskipun penolakan masyarakat dan aktivis dilakukan sejak tahun 2019.
Kedatangan para investor tambang di suatu wilayah memang sering menimbulkan pro dan kontra. Masyarakat yang setuju mempertimbangkan lapangan pekerjaan yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, serta kemajuan pembangunan di daerahnya.
Disisi lain, kelompok yang menolak menimbang dampak lingkungan dan kelangsungan hidup masyarakat di sekitar wilayah tambang. Faktanya, sekeras apapun masyarakat menolak tambang, perusahaan tetap melancarkan aksinya cepat atau lambat melalui dukungan pemerintah.
Hal yang perlu digaris bawahi adalah masyarakat membutuhkan jaminan kelangsungan hidup. Namun negara gagal memberikannya sehingga warga dipaksa berjuang masing-masing. Negara malah bertindak sebagai regulator untuk membuka pintu bagi swasta dan asing, tanpa memperdulikan nasib rakyat.
Keuntungan besar menjadi satu-satunya tujuan. Apakah hasil tambang kembali pada masyarakat? Tentu tidak. Masyarakat hanya mendapatkan ampasnya, sementara keuntungan deras mengalir kepada para elite dan korporasi yang saling bekerjasama.
Ironisnya, pemerintah selalu menyerukan kemajuan ekonomi melalui pertambangan atas nama negara. Namun kenyataannya, justru Ibu Pertiwi menangis akibat ulah para oligarki yang merusak tatanan lingkungan, didukung oleh pemerintahan yang penuh pencitraan, tetapi bersikap otoriter disisi lain.
Inilah akibat dari penerapan sistem kapitalisme yang bersifat individualistis. Alam tidak dipandang sebagai amanah, melainkan komoditas yang harus dieksploitasi demi keuntungan pribadi meskipun itu berarti mengorbankan kehidupan orang lain. Sangat tidak manusiawi, bukan?
Masyarakat hanya menginginkan kehidupan yang damai yang selaras dengan alam, dan kebutuhan mendasar yang tercukupi. Namun hal itu dirampas oleh pemerintah yang seharusnya menjadi pelayan bagi rakyatnya, bukan malah menjadi pelayan para investor.
Sayangnya, banyak dari kita yang tidak menyadari bahwa perampas itu bisa menyabet kursi kekuasaan karena sistem politik demokrasi yang membiarkan hal itu. Sistem populis yang katanya “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, namun implementasinya justru dari oligarki, oleh oligarki, dan untuk oligarki.
Sistem-sistem diatas tentu saja bertentangan dengan sistem Islam, Islam memandang bahwa tambang merupakan kepemilikan umum yang harus dikembalikan untuk rakyat. Adapun penambangan harus mempertimbangkan kelestarian lingkungan dan dampaknya terhadap kelangsungan hidup makhluk disekitarnya, termasuk hewan. Oleh karena itu, Islam mempunyai konsep “hima” atau kawasan konservasi yang wajib dilindungi sesuai syariat.
Disisi lain, sistem ekonomi Islam menjamin kebutuhan hidup masyarakatnya dengan memberikan pekerjaan dan gaji yang layak untuk setiap kepala keluarga. Nah, hal ini tentu saja didukung oleh sistem kepemimpinan Islam yang dijalankan sesuai tuntunan Al-Qur’an, Sunnah, Qiyas, dan Ijma’ sahabat yang tidak dapat diubah sesuka hati manusia. (*)
Penulis: Nurul Hakim Lamaranginang (Aktivis Muslimah
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.










