Advertisement - Scroll ke atas
Opini

Penghormatan Pada Negara Pengusung Islamophobia, Layakkah?

398
×

Penghormatan Pada Negara Pengusung Islamophobia, Layakkah?

Sebarkan artikel ini
Maisuri (Aktivis pendidikan)
Maisuri (Aktivis pendidikan)

OPINI—Tanggal 28 Mei 2025 menjadi momen penting ketika Presiden Prabowo Subianto menyambut Presiden Emmanuel Macron beserta Ibu Negara Brigitte Macron dengan upacara kenegaraan megah di Istana Merdeka. Tembakan meriam sebanyak 21 kali dan prosesi militer menjadi simbol kedekatan diplomatik Indonesia-Prancis yang terus diperkuat. (news.detik.com, 28-05-2025).

Kunjungan ini tak hanya simbol persahabatan, tetapi juga momentum penandatanganan puluhan kesepakatan, mulai dari pertahanan hingga transisi energi. Kedatangan kepala negara Prancis ke Indonesia baru-baru ini disambut dengan penuh kehormatan, kemeriahan, dan berbagai bentuk penghormatan diplomatik.

Advertisement
Scroll untuk melanjutkan

Pemerintah Indonesia menggelar seremoni penyambutan layaknya menyambut sahabat sejati, tanpa memperhitungkan sejarah panjang kebijakan dan sikap negara tersebut yang menyakiti perasaan umat Islam di seluruh dunia. Pemandangan ini memunculkan pertanyaan mendasar: layakkah memberikan penghormatan begitu besar kepada negara yang secara konsisten mengusung kebijakan Islamophobia?

Prancis adalah salah satu negara yang belakangan ini gencar mengeluarkan dan mengesahkan kebijakan-kebijakan yang dianggap mendiskriminasi umat Islam. Pelarangan pemakaian hijab di sekolah-sekolah dan tempat umum, larangan burkini di pantai, serta tindakan keras terhadap simbol-simbol keislaman dilakukan atas nama sekularisme.

Tak berhenti di sana, pemerintah Prancis juga kerap membela tindakan penghinaan terhadap Nabi Muhammad ﷺ sebagai bentuk kebebasan berekspresi, meskipun hal itu secara terang-terangan menyakiti lebih dari satu miliar umat Islam di seluruh dunia.

Alih-alih menunjukkan penolakan atau memberikan respons diplomatik yang tegas, pemerintah negara Muslim terbesar ini malah menerima kedatangan pemimpin Prancis secara ramah dan terbuka.

Sikap semacam ini menandakan betapa sistem sekuler kapitalisme yang dianut oleh mayoritas negara saat ini telah mengaburkan nilai-nilai keimanan dan prinsip kehormatan agama.

Dalam sistem ini, hubungan antarnegara dibangun semata-mata berdasarkan kepentingan ekonomi dan politik praktis, bukan atas dasar moral atau prinsip keadilan.

Imbas dari situasi tersebut membuat negara-negara Muslim kehilangan ketegasan dalam merespons penghinaan terhadap Islam dan diskriminasi terhadap umatnya. Padahal, Islam telah memberikan tuntunan yang sangat jelas tentang bagaimana seharusnya seorang Muslim dan penguasa Muslim bersikap terhadap mereka yang memusuhi agama Allah. Dalam terjemahan Al-Qur’an surat Al-Mumtahanah ayat 9, Allah Swt. berfirman:

“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai teman orang-orang yang memerangi kamu karena agama, dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai teman, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”

Ayat ini menjadi pijakan bahwa loyalitas terhadap Islam dan umatnya harus menjadi prioritas utama. Negara-negara yang terang-terangan memusuhi Islam tidak boleh didekati dengan sikap akrab dan penghormatan. Sebaliknya, diperlukan sikap tegas dan penjagaan terhadap marwah agama.

Islam tidak memandang dunia melalui peta politik modern atau sekat geografis buatan manusia. Sebaliknya, Islam membagi wilayah dunia menjadi dua: Darul Islam—negara yang diatur dengan hukum Allah, dan Darul Kufur—negara yang tidak menerapkan syariat. Negara-negara non-Muslim pun tidak dipukul rata; Islam memerincinya berdasarkan relasi mereka terhadap Daulah Islam, apakah mereka damai, terikat perjanjian, atau dalam posisi memusuhi.

Semua ini telah dijelaskan dalam syariat sebagai pedoman sikap umat Islam terhadap dunia luar. Ketika sebuah negara memusuhi Islam, maka Islam memerintahkan kewaspadaan, bahkan perlunya memutus hubungan diplomatik jika hal itu menjadi bentuk dukungan atas kebijakan yang memusuhi umat.

Keterlibatan aktif Prancis dalam mendukung penjajahan Israel atas Palestina semakin memperpanjang daftar luka yang dirasakan umat Islam. Di saat rakyat Palestina berjuang mempertahankan tanah dan kehormatan mereka dari penjajahan Zionis, negara-negara Barat termasuk Prancis justru terus memberikan sokongan dalam bentuk militer, ekonomi, dan diplomasi kepada Israel.

Maka dari itu, menghormati pemimpin negara tersebut tanpa catatan apapun ibarat menampar wajah saudara-saudara kita yang sedang menderita di Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem.

Sikap Tegas Terhadap Negara-negara Kafir Penjajah

Dalam sejarah Islam, kita memiliki banyak contoh bagaimana para Khalifah menunjukkan sikap tegas terhadap negara-negara kafir penjajah dan pihak-pihak yang menghina Islam.

Salah satunya adalah Khalifah Abdul Hamid II dari Khilafah Utsmaniyah yang menolak mentah-mentah permintaan Theodor Herzl untuk mendirikan negara Yahudi di Palestina, meski ditawari kompensasi finansial yang sangat besar. Khalifah juga dengan tegas menuntut agar negara-negara Eropa berhenti mencampuri urusan internal umat Islam.

Khalifah Harun ar-Rasyid juga dikenal karena keberaniannya merespons ancaman dari Kekaisaran Romawi Timur. Ketika kaisar Romawi mengancam umat Islam, Khalifah Harun ar-Rasyid menanggapi dengan surat yang dibuka dengan kata-kata, “Dari Harun ar-Rasyid, Amirul Mukminin, kepada anjing Romawi.”

Ungkapan ini bukan sekadar cercaan, melainkan cerminan dari ketegasan pemimpin Islam dalam menghadapi musuh yang jelas-jelas memusuhi agama Allah.

Sikap-sikap seperti ini hanya bisa muncul dari kepemimpinan yang berpijak pada ideologi Islam, bukan pada sistem kapitalisme-sekuler yang saat ini mendominasi dunia Muslim. Oleh karena itu, sudah saatnya umat Islam menyadari bahwa tanpa institusi negara yang berlandaskan syariat Islam yakni Khilafah, maka umat ini akan terus terpinggirkan dalam percaturan politik dunia. Kita membutuhkan negara yang kuat dan disegani, yang mampu membela kehormatan Nabi ﷺ, melindungi umat, dan menegakkan keadilan global.

Umat Islam dahulu pernah menjadi adidaya dunia, disegani oleh kekaisaran besar, dan menjadi pelindung bagi kaum tertindas. Posisi tersebut bukan utopia, tetapi fakta sejarah yang terjadi selama berabad-abad di bawah naungan Daulah Islam.

Karena itu, sudah waktunya umat Islam bangkit dan berjuang mewujudkan kembali sistem yang berlandaskan syariat, agar tidak terus-menerus tunduk pada kesombongan negara-negara yang memusuhi Islam.

Dengan memiliki kembali Khilafah yang adil dan kuat, umat ini tidak akan lagi menerima perlakuan diskriminatif dengan pasrah. Tidak akan ada lagi kartun penghinaan terhadap Nabi yang dibiarkan. Tidak akan ada lagi pemimpin negeri Muslim yang diam membisu saat Islam dihina dan umat ditindas. Yang ada adalah penguasa yang membela kehormatan agama Allah, yang menjaga marwah umat Islam, dan yang berdiri kokoh di hadapan siapa pun yang berani melecehkan Islam.

Maka pertanyaannya: layakkah memberi penghormatan besar pada negara pengusung Islamophobia? Jawabannya tentu tidak layak. Dan sudah saatnya umat Islam sadar, bersatu, dan berjuang untuk menghadirkan kembali perisai yang akan melindungi mereka yakni Khilafah. Wallahu A’lam. (*)

 

Penulis: Maisuri, S. Mat (Pegiat Literasi)

 

 

***

 

 

Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.

error: Content is protected !!