OPINI—Isu energi ramah lingkungan dan berkelanjutan masih menjadi isu sentral di dunia global saat ini. Terkhusus energi baterai lithium yang kini booming di hampir semua negara, terlebih negara-negara maju. Indonesia adalah negeri dengan potensi bahan baku baterai lithium yang sangat besar, termasuk PT Vale sebagai salah satu produsen nikel, salah satu bahan baku baterai selain kobalt.
Wajar jika menjadi incaran negara-negara lain. Tak ketinggalan para pengusaha domestik. Bagaimana seharusnya pengelolaan PT Vale agar bisa berkontribusi dalam menyejahterakan rakyat?
Flash back terkait PT Vale Indonesia. Sebelumnya disebut PT INCO (International Nickel Indonesia), merupakan salah satu perusahaan tambang dan produsen nikel terbesar di Indonesia.
Secara historis PT Vale Indonesia (PT INCO) menjadi pionir perusahaan nikel yang memulai eksplorasi di wilayah Sulawesi bagian timur sekitar tahun 1920-an, dapat dikatakan sebagai tambang nikel pertama di Indonesia yang secara resmi memulai produksi komersial tahun 1978.
Seperti dikutip dari laman apahabar.com, PT Vale Indonesia diketahui memiliki beberapa tambang nikel di tiga provinsi: Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah, dengan luas total lahan konsesi mencapai 118.017ha dan rata-rata volume produksi tahunan mencapai 75.000 metrik ton.
PT Vale Indonesia diketahui sedang membangun beberapa blok baru untuk tambang dan produksi nikel di blok Pomalaa, Bahodopi, dan blok baru di Sorowako.
Pro Kontra Pengelolaan PT Vale
PT Vale sebagai sebuah perusahaan penambangan biji nikel asal Brazil, kini melebarkan sayap hingga ke hilir dengan membangun smelter (pengolahan dan pemurnian biji nikel) di tiga blok penambangannya.
Telah terbangun smelter berkapasitas 120.000 ton di blok Pomalaa. Selain itu juga di Halmahera 20.000 ton (sudah ekspor) dan di Morowali 30.000 ton. Artinya, Indonesia kini memiliki smelter nikel terbesar di dunia.
Namun, mengingat saat ini mayoritas saham PT Vale Indonesia (INCO) dimiliki Vale Canada Limited sebesar 44,3%. Selanjutnya PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) 20%, dan Sumitomo Metal Mining Co Ltd (SMM) 15%. Sisanya, 20,7% dikuasai publik di pasar modal. Membaca struktur kepemilikan saham di atas, terlihat nyata bahwa Indonesia sebagai pemilik sah barang tambang tersebut memiliki proporsi yang tidak balance.
Menurut Gubernur Sulsel, Andi Sudirman bahwa kontribusi PT Vale masih sangat minim (hanya sekitar 1,98 persen pendapatan ke Pemprov). Gubernur juga menyinggung terkait isu lingkungan dan pemberdayaan masyarakat yang kurang maksimal. (makassar.tribunnews.com, 25/9/2022)
Gonjang-ganjing terkait perpanjangan kontrak karya PT Vale yang akan segera diperbaharui, terus mencuat. Padahal kontrak baru berakhir Desember 2025. Tiga gubernur dimana provinsi tempat penambangan berlangsung, menolak perpanjangan tersebut.
Beragam dalih, mulai dari kerusakan lingkungan hingga kesejahteraan warga sekitar. Isu pengambil alihan PT Vale ke pihak Pemprov dan perusahaan domestik pun menguat. Akankah menuai hasil sesuai harapan?
Tak berlebihan jika penulis menduga kuat bahwa rakyat tetap pada kondisi seperti saat ini atau bahkan lebih buruk. Hal ini bisa disebabkan beberapa faktor, diantaranya: pertama, pengelolaan berbasis kapitalis sekuler. Dimana asas tersebut menegasikan aturan Sang Pencipta.
Para pemilik modal (kapitalis) berkolaborasi dengan penguasa membuat regulasi menurut akal dan kepentingan mereka. Menabrak aturan Ilahi, semisal transaksi dengan skema utang ribawi dan model kepemilikan saham.
Kedua, terikat dengan perjanjian-perjanjian internasional. Kebijakan yang ditempuh suatu negara, saling terkait antara satu dengan yang lainnya. Isu-isu global diaruskan ke negeri-negeri yang kaya akan SDA, termasuk Indonesia.
Politik ekonomi ala kapitalisme yang digawangi oleh negara-negara adidaya melalui forom-forum internasional. Dibuatlah regulasi yang mengikat semua negara untuk menjembatani keserakahan mereka atas nama isu krisis lingkungan. Misal, krisis energi sehingga dibutuhkan energi ramah lingkungan (rendah karbon), energi berkelanjutan, dll.
Ketiga, jeratan utang. Utang adalah alat penjajahan yang sangat efektif dan soft. Jeratan utang akan membuat suatu negara tak berdaya dan tak mampu berdiri di kaki sendiri. Untuk menjaga hegemoni para imperialis, dibuatlah beragam cara agar bisa melenggang mengeruk SDA di negeri ini. Salah satu regulasi yang diduga kuat sebagai karpet merah pengelolaan kapitalistik tersebut adalah UU Umnibos Law.
Wajar saja dengan rule pengelolaan demikian, menyebabkan terjadinya penyimpangan dan kehancuran. Realitas kerusakan lingkungan dan beragam konflik sosial ekonomi telah terjadi di hampir semua aktivitas penambangan di negeri ini. Berikut bencana alam sebagai dampak ikutannya. Saatnya beralih ke pengelolaan yang dapat mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Pengelolaan yang Adil
Adil dalam perspektif yang benar adalah sesuai dengan apa yang telah diperintahkan Sang Khaliq, karena Dia-lah pemilik jiwa dan seluruh isi semesta. Terkait pengelolaan SDA, Islam punya aturan yang sangat detail. Dimulai dari definisi SDA itu sendiri hingga instrumen pengelolaannya.
SDA dengan potensi yang berlimpah (dalam hadis seperti air mengalir) terkategori kepemilikan umum. Dimana instrumen pengelolaannya diamanahkan ke negara secara mandiri dan independen.
Hasilnya digunakan untuk kemaslahatan rakyat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kepemilikan dalam Islam terbagi atas tiga, yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Semua jenis kepemilikan diatur sesuai syariat-Nya.
Tidak boleh ada campur tangan negara lain, terlebih jika terjadi pelanggaran syariat. Seperti utang ribawi dan model kepemilikan saham. Karena harta kepemilikan umum adalah salah satu harta dalam kas baitulmal, yang pengelolaannya harus sesuai dengan syariat.
Mulai produksi hingga distribusinya. Dengan pengelolaan sedemikian adil, meniscayakan kesejahteraan dan keberkahan bagi semua. Bentuk ketaatan kita kepada Sang Pencipta, agar selamat di dunia dan di akhirat kelak. InsyaAllah! Wallahualam bis Showab. (*)
Penulis: Dr. Suryani Syahrir, ST, MT (Dosen Teknik Sipil dan Pemerhati Sosial)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.














