BANYUWANGI, Sejumlah wartawan yang tergabung dalam Persaudaraan Wartawan Sritanjung (PWS) bersama komunitas Pecinta Alam Banyuwangi menggelar diskusi bareng berkaitan dengan bagaimana menjaga dan merawat investasi di wilayah Kabupaten Banyuwangi, di Café D’Coco Banyuwangi, Kamis (28/11).
Diskusi yang dikemas secara santai tersebut diberi title Gesah Bareng Ambi Ngopi “Ngerawat Investasi Reng Banyuwangi” tersebut, digelar dalam rangka menyikapi pertumbuhan ekonomi di Banyuwangi saat ini yang berkembang dengan pesat, sebagaimana terdapat di sepanjang jalur menuju wisata Gunung Ijen, banyak berdiri homestay, tempat kuliner, warung kopi dan tempat wisata lainnya yang itu menjadi salah satu dampak adanya iklim investasi di Kabupaten Banyuwangi.
“Sudah sepatutnya kita turut menjaga dan merawat investasi itu sendiri. Karena bagaimanapun, investasi itu memberikan manfaat pada rakyat dan daerah yang kita cintai ini,” kata Ketua Pecinta Alam Remapenta, Hakim Said SH, yang didaulat sebagai nara sumber dalam diskusi tersebut.
Lebih lanjut menurut Hakim, yang juga merupakan Pembina Mapala Banyuwangi , sekaligus Pembina Aliansi Indonesia yang membawahi Divisi Sosial Lingkungan itu, diawal-awal proses berdirinya suatu investasi itu terjadi pro dan kontra, namun pada akhirnya semuanya itu clear dan investasi itu beroperasi sedemikian rupa setelah seluruh persyaratan dipenuhi investor. Bahkan investasi perusahaan tambang emas di Banyuwangi, PT. BSI menjadi salah satu obyek vital nasional (Obvitnas).
“Ditetapkannya PT. BSI sebagai obyek vital nasional oleh Kementerian ESDM pada tahun 2016, secara otomatis tambang Tumpang Pitu ini dalam pengawasan dan perlindungan negara. Oleh karena itu, kepolisian dan aparat penegak hukum lainnya wajib mengamankan proyek ini agar dapat beroperasi secara optimal, karena memiliki dampak strategis terhadap perekonomian nasional. Yang artinya, secara otomatis obvitnas itu, kita sebagai masyarakat harus turut menjaganya,” jelasnya.
Terkait munculnya rekomendasi pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT. BSI, yang dikeluarkannya Kepala Desa Sumberagung Vivin Agustin, akibat tekanan sekelompok warga yang kotra terhadap keberadaan tambang tersebut, Hakim menganggapnya sebagai salah satu bentuk pelanggaran sekaligus penyalahgunaan wewenang, apalagi saat ini berdampak timbulnya gejolak di kalangan masyarakat.
“Munculnya konflik di Desa Sumberagung, tentu dapat mengganggu iklim investasi di Banyuwangi yang sudah kondusif,” tegasnya lagi.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Mineral (Aspamin) Abdillah Rafsanjani, mengaku resah dengan persoalan yang terjadi, dimana seorang pejabat desa dengan gampangnya menerbitkan surat rekomendasi pencabutan izin usaha pertambangan.
“Kami selaku pelaku usaha pertambangan merasa resah, hanya karena beberapa orang yang menolak pertambangan, dan tentu hal itu menjadi kebimbangan tersendiri bagi kami, dengan ketidakkonsistennya seorang kepala desa,” ungkap Abdillah dihadapan audien.
Bahkan terkait hal tersebut Abdilah menganggap Kades Vivin layak diberikan sanksi atau bahkan pemecatan, karena secara administratif tindakannya tersebut melanggar dan menyalahgunakan wewenang.
“Oleh karena itu, kami berencana mengadukan hal ini kepada aparat kepolisian jika Kades Vivin tidak melakukan permohonan maaf kepada masyarakat Banyuwangi, karena kebijakan Kades Vivin sudah menimbulkan kegaduhan,” ujarnya.
Salah satu akademisi asal Banyuwangi, Irwan Kurniawan SH. MH, dosen Hukum Pidana yang juga ketua pusat kajian lingkungan di Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Banyuwangi menyampaikan mengatakan, bahwa perusahaan tambang, apalagi tambang emas itu salah satu industri ekstraksi vital, apalagi kebetulan Banyuwangi salah merupakan satu daerah yang kaya dan memiliki potensi yang luar biasa.
“Tentu membuka tambang itu ada banyak tahapan yang dilalui, sementara hukum menjadi pagar bagi industri ekstraksi. Tinggal bagaimana perusahaan mengikuti tahapan dan peraturan yang ada,” beber Irwan.
Meski demikian, lanjut Irwan, pemerintah wajib melakukan pengawasan, monitoring, dan evaluasi secara berkala, termasuk juga pengawasan dari seluruh elemen masyarakat.
“Mereka wajib mengawasinya. Meskipun di satu sisi beresiko, itu pasti ada usaha untuk memperkecil resiko atau dampak negatifnya. Perusahaan juga harus melakukan hal-hal yang seimbang, dan memperkecil resiko itu adalah tujuannya,” ulas Irwan.
Terkait konflik yang baru-baru ini terjadi, Irwan menyebut, harus disikapi dengan arif, bijaksana, dan berimbang. “Jangan sampai yang sudah tenang itu timbul gejolak. Yang paling penting adalah duduk bersama, apa maunya masyarakat, bagaimana kehendak pemerintah dan bagaimana aturan ditegakkan,” tuturnya.
Terlebih lanjut Irwan berdasarkan pengalaman yang dilalui sebagai akademisi yang sering melakukan penelitian dan membuat karya ilmiah, sejauh ini keberadaan perusahaan tambang emas itu belum diketemukan adanya laporan dampak negatif dari perusahaan tambang Tumpang Pitu tersebut, hal itu juga dapat terlihat dari jarang terdengar adanya keluh kesah dari masyarakat sekitar tambang terkait berkurangnya debit air, maupun pencemaran air yang masuk ke persawahan.
“Belum ada laporan terkait hal-hal yang kita khawatirkan, seperti dampak limbah dan sebagainya, itu belum ada. Pasti mereka (PT BSI) sudah melakukan pengawasan dengan ketat dan secara baik-baik, serta berjenjang,” akunya.
Di penghujung diskusi, Ketua badan Penelitian Aset Negara (BPAN) Lembaga Aliansi Indonesia (LAI) DPC Banyuwangi, Alif Hudi Widayat menegaskan, jangan sampai investasi yang ada hanya dinikmati sebagian kecil pihak, sedangkan kerusakannya dirasakan seluruh rakyat.
“Sebenarnya masyarakat ini trauma istilah investasi yang identik dengan eksploitasi alam dan selalu berdampak kerusakan luar biasa, oleh itu Ini perlu keseimbangan, apakah sudah dilakukan kajian lanjutan terkait dampak lingkungannya dan apakah juga sudah disampaikan ke publik,” pungkas Alif HW yang juga aktivis Pecinta Alam Remapenta. (H4km/464Ys)








