Advertisement - Scroll ke atas
Opini

Korupsi Semakin Menjadi, Bilakah Berakhir?

700
×

Korupsi Semakin Menjadi, Bilakah Berakhir?

Sebarkan artikel ini
Nurhidayah Gani
Nurhidayah Gani.

OPINI—KPK buka suara soal adanya dugaan  upaya rekayasa dalam sistem e-katalog yang terungkap dalam kasus korupsi proyek jalan di Sumatera Utara. Meskipun e katalog ini sejak dulu diklaim sebagai sistem transparan dalam pengadaan barang dan jasa, faktanya tetap ada celah yang dimanfaatkan pihak pihak tertentu untuk bermain curang dan memperoleh keuntungan.

Sebanyak lima orang ditetapkan sebagai tersangka imbas operasi tangkap tangan (OTT) di wilayah Mandailing Natal, Sumatera Utara, pada Kamis (26/6) lalu. OTT itu terkait dengan dua perkara berbeda.

Advertisement
Scroll untuk melanjutkan

Pertama, terkait proyek pembangunan jalan di Dinas PUPR Provinsi Sumatera Utara. Kedua, terkait proyek di Satker PJN Wilayah 1 Sumatera Utara. Nilai kedua proyek itu sebesar Rp231,8 miliar.

Adapun pihak yang terlibat sebagai tersangka penerima suap adalah Kepala Dinas PUPR Provinsi Sumut, Topan Obaja Putra Ginting,Kepala UPTD Gunung Tua Dinas PUPR Provinsi Sumut, Rasuli Efendi Siregar; dan PPK Satker PJN Wilayah 1 Provinsi Sumatera Utara, Heliyanto.

Sementara tersangka pemberi suap yakni Direktur Utama PT DNG, M. Akhirun Efendi Siregar; dan Direktur PT RN, M. Rayhan Dulasmi Pilang.

Di sisi lain, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga tengah menyelidiki dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek pengadaan mesin electronic data capture (EDC) di salah satu bank pelat merah. Nilai proyek yang disorot mencapai Rp 2,1 triliun, dan berlangsung pada periode 2020 hingga 2024.

Korupsi, ialah penyakit kronis yang diidap bumi pertiwi. Selama ini tidak disembuhkan dari akarnya, hingga menimbulkan komplikasi di berbagai sendi kehidupan. Kalau ditanya berapa kasus? Banyak, hampir semua lini terjangkiti penyakit ini,.

Kasus diatas hanya yang secuil dari sederet kasus lainnya, Korupsi telah merayap diam-diam ke seluruh sendi kehidupan dari tangan-tangan kecil yang tergoda, hingga kekuasaan besar yang rakus menelan hak rakyat.

Ditengah efisiensi besar besaran yang dilakukan negara, korupsi menjadikan bumi pertiwi semakin tercekik. Kesejahteraan rakyat harus tergadai oleh ulah manusia manusia tidak bertanggung jawab. Namun yang menjadi pertanyaan, korupsi sudah ada sejak dulu, mengapa sulit sekali diberantas? Publik justru dipertontonkan kasus kasus yang kerap kali berat sebelah.

Bukan karena Person Tapi Sistem

Dalam atmosfer kehidupan ini, suap menyuap menjadi lumrah, berbagai rekayasa berani dilakukan demi meraih keuntungan sekalipun harus merugikan rakyat banyak. Pihak-pihak yang terlibat seolah tak pernah bersua ‘cukup’ dalam kamus hidupnya. Kejujuran akhirnya menjadi sesuatu yang sangat mahal.

Banyak yang menyimpulkan bahwa korupsi terjadi akibat pihak pihak yang curang, serakah dan tidak peduli pada orang lain. Memang benar, ini salah satu faktor. Namun, kondisi negeri ini mendukung terjadinya korupsi. Ibarat suatu lingkungan yang baik. Maka orang-orang di dalamnya akan condong dan ikut baik namun sebaliknya bila lingkungannya buruk orang orang di dalamnya akan ikut buruk.

Pada pentas demokrasi, para calon pejabat membutuhkan dana yang besar. Sehingga uluran tangan dari pemilik modal menjadi suatu keharusan. Apakah ini gratis? Oh tentu tidak! There’s no free lunch.

Pejabat terpilih akan membayar sokongan dana yang didapatnya dengan berbagai macam regulasi yang memuluskan kepentingan para kapital. Maka tak heran bila kebijakan negeri ini justru berpihak kepada mereka.

Sejatinya, kongkalikong antara penguasa dan pengusaha adalah wajar dalam iklim demokrasi kapitalisme. Keuntungan menjadi tujuan dengan kebebasan sebagai alat tempurnya.Demokrasi dengan kebebasannya menjadikan berbagai regulasi mudah di otak atik sesuai kepentingan yang berkuasa.

Sebab demokrasi pada dasarnya memang tidak memiliki obyektifitas hukum. Pangkal dari semua ini ialah demokrasi merupakan buatan manusia. Maka wajar dalam penerapannya berbagai kerusakan terus bermunculan. Dalam kasus korupsi, misalnya.

Kebebasan berperilaku mendorong keberanian untuk berbuat curang, belum lagi sanksi yang diberikan tidak menimbulkan efek jera, sebaliknya korupsi membuat kecanduan.

Betapa tidak, berapa banyak kasus yang mendapatkan remisi hanya karena berbuat baik selama menjalani masa kurungan, bahkan diduga tersangka justru mendapatkan fasilitas mewah dalam penjara.

Sistem demokrasi kapitalisme ini berlandaskan asas sekulerisme yakni pandangan yang menihilkan peran agama dalam kehidupan publik sehingga menjadikan sistem kehidupan kacau balau. Sudah saatnya mencabut korupsi dari akarnya dengan beralih dari  sistem buatan manusia menuju sistem buatan Pencipta.

Islam Menyolusi Korupsi

Jamak kita dengar atau bahkan kita sendiri yang menerbangkan narasi “jangan bawa bawa agama dalam kehidupan!” atau “setiap masalah selalu saja dikaitkan dengan agama”.  Pertanyaannya, lalu dengan apa kita harus menjalani kehidupan ini? Tidakkah kita muak dengan berbagai kerusakan yang tiap saat kita saksikan?

Adalah Islam, agama sekaligus mabda (ideologi) yang tidak hanya mengatur masalah ritual seperti sholat dan puasa tetapi mengatur seluruh aspek kehidupan. Mulai dari bangun tidur, tidur kembali,  bahkan mendirikan suatu negara. Semuanya lengkap tak ada kekeliruan sedikitpun di dalamnya. Sebab ia berasal dari Sang Maha Pencipta Yang Maha Mengetahui ciptaannya.

Hal ini dibuktikan oleh peradaban Islam yang berjaya kurang lebih empat belas abad lamanya.  Hal ini tidak lain karena aturan Islam yang sempurna lagi paripurna.

Berbicara soal korupsi. Negara tidak bertindak reaktif hanya pada saat ada kasus seperti yang dilakukan di sistem sekarang, namun dalam Islam negara menjamin tercegahnya korupsi jauh hari.

Para pejabat berbekal akidah yang kokoh tak akan berani menyelewengkan kekuasaan demi meraih keuntungan. Pejabat menyadari bahwa kehidupan bukan hanya di dunia tetapi juga di akhirat dan seluruh perbuatan akan dipertanggung jawabkan di hadapan Sang Khalik kelak.

Sebelum menjabat kekayaan para pejabat dihitung terlebih dahulu, begitupun pada saat menjabat. Bila ditemukan lonjakan kekayaan yang tidak masuk akal akan segera diusut. Dalam Islam, korupsi termasuk dosa besar, karena telah berkhianat terhadap amanah dan merugikan rakyat banyak.

Para pelaku korupsi harus segera bertaubat, mengembalikan harta yang dikorupsi dan dikenakan sanksi berupa hukuman potong tangan, bahkan hukum mati. Sanksi ini akan memberikan efek jera dan sebagai penebus dosa di hari akhir. Maka, sudah saatnya korupsi diakhiri dengan menjadikan Islam sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan. Wallahu a’lam. (*)

 

Penulis: Nurhidayah Gani

 

 

***

 

 

Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.

error: Content is protected !!