OPINI—Kemampuan suatu negara untuk mengelola sumber daya alam secara mandiri, tentu akan mendorong pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Pengelolaan ini haruslah berorientasi pada kepentingan rakyat, agar kesejahteraan dapat tercapai. Kelemahan dalam pengaturan dan pengelolaan sumber daya alam, akan menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan rakyat.
Indonesia sebagai penghasil terbesar kelapa sawit di dunia, justru mengalami kelangkaan minyak goreng dan harganya sangat mahal. Adapun produksi minyak sawit mentah (CPO=crude palm oil) Indonesia tahun 2021 sebesar 51,3 juta ton.
Produksi CPO tahun 2022 diperkirakan masih akan terus naik. Jumlah yang sangat jauh di atas kebutuhan dalam negeri hanya sebesar 5,07 juta ton. Namun, mengapa harga minyak goreng semakin mahal?
Gagal Menstabilkan Harga
Ketika Pemerintah menetapkan harga minyak goreng Rp14.000 per Liter, hal ini mendorong para produsen untuk menekan pengeluaran barang dagangan. Akibatnya rakyat kesulitan mendapatkan minyak goreng.
Di tengah kelangkaan minyak goreng, Mendag (Menteri Perdagangan) mencabut aturan DMO (domestic market obligation). Dengan dicabutnya DMO, maka perusahaan sawit tidak perlu mengajukan izin ke kemendag tiap kali akan melakukan ekspor. Padahal, negara seharusnya memastikan ketersediaan bahan baku dalam negeri sebelum melakukan ekspor.
Untuk memenuhi permintaan minyak goreng yang semakin meningkat, Pemerintah kemudian mencabut aturan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng. Pencabutan HET ini spontan mengembalikan ketersediaan minyak goreng di pasar, namun dengan harga yang sangat mahal. Tingginya kenaikan harga minyak goreng membuat rakyat menjerit.
Menjumpai minyak goreng yang tiba-tiba melimpah, Mendag kemudian bertanya kepada rakyat, mereka lebih memilih minyak goreng murah tapi tidak ada barangnya, atau stok banyak tapi harganya sedikit mahal.
Padahal, seharusnya Mendag berempati atas kondisi rakyat dan mengambil kebijakan yang berpihak pada kepentingan rakyat. Sejumlah pihak menilai Mendag sudah kebingungan menghadapi harga minyak goreng yang belum stabil.
















