OPINI—Setelah Kasus Mega korupsi tata niaga PT. Timah Tbk (TINS) dengan nilai kerugian negara Rp217 triliun yang diungkap oleh Kejaksaan Agung, kini muncul kasus baru. Kasus baru tersebut adalah Kebocoran anggaran negara akibat pengemplangan pajak dengan akumulasi hingga Rp300 triliun.
Anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran Dradjad Wibowo menyebutkan APBN 2025 membutuhkan sekitar Rp 3.900 triliun, dana yang sudah dialokasikan sebesar Rp 3.621, 3 triliun. Artinya terdapat kekurangan dana sekitar Rp 300 triliun. (Kompas.com 9-10-2024)
Mengapa dana pajak sebesar itu bisa bocor? Dradjad Wibowo mengatakan salah satu penyebabnya adalah pajak-pajak yang tidak terkumpulkan. Para pengemplang pajak dinyatakan sudah kalah oleh Mahkamah Agung, namun tetap mereka tidak membayar kewajiban pajaknya hingga 15 tahun sehingga jumlahnya sangat besar.
Sementara itu, juru bicara Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Jodi Mahardi menjelaskan kebocoran pajak tersebut adalah potensi penerimaan negara yang bisa didapatkan dari perbaikan tata kelola kelapa sawit dan itu berasal dari denda administrasi terkait dengan pelanggaran pemenuhan kewajiban plasma dan sawit dalam kawasan hutan, juga dari ekstensifikasi dan intensifikasi pajak.
Di pihak lain, Harli Siregar (Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung) menduga telah terjadi penyerobotan lahan hutan untuk perkebunan kelapa sawit. Penyerobotan ini diduga menjadi salah satu sumber kebocoran penerimaan negara sebesar Rp300 triliun.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengkonfirmasi bahwa ada jutaan hektar lahan hutan yang diserobot oleh pengusaha nakal yang sampai sekarang belum bayar.
Negara bersikap lunak
Sungguh miris, terkuaknya kebocoran anggaran negara akibat pengemplangan pajak dengan akumulasi hingga Rp 300 triliun selama bertahun-tahun baru menjadi perhatian saat ini. Tampak jelas bahwa negara bersikap lunak terhadap pengusaha yang tidak bayar pajak.
Para pengusaha leluasa tidak membayar kewajiban pajaknya hingga 15 tahun tanpa adanya sanksi hukum, leluasa menyerobot lahan hutan hingga jutaan hektar tanpa bayar pajak. Ini menjadi indikasi kuat adanya keistimewaan yang diberikan penguasa kepada para pengusaha raksasa di negeri ini. Bukan kali pertama ini saja pemerintah bersikap lunak terhadap pengusaha.
Sebelumnya pemerintah juga telah banyak memberikan kemudahan dengan mengeluarkan kebijakan berupa program keringanan pajak kepada para pengusaha seperti tax amnesty (amnesti pajak), tax holiday (liburan pajak) dan lain-lain
Mirisnya, perlakuan negara terhadap rakyat kecil justru berkebalikan. Rakyat dibebani dengan berbagai macam pajak, angka pajak terus mengalami kenaikan bahkan ketika rakyat tidak bayar pajak atau telat sehari saja mereka akan dikenakan sanksi agar rakyat terus bayar pajak. Mereka dijejali slogan “orang bijak taat bayar pajak”.
Indonesia sebagai negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme yang menjadikan pajak sebagai sumber pembiayaan pembangunan negara tidak bisa dibenarkan.
Adanya perbedaan penerapan kebijakan pajak antara perusahaan dan individu jelas menunjukkan kebijakan yang sewenang-wenang dan mendzalimi rakyat.
Kebocoran dana pajak hingga mencapai Rp300 triliun berdampak pada pembangunan negara. Dana yang seharusnya dipakai untuk mengentaskan kemiskinan, pengadaan fasilitas kesehatan, pendidikan dan lain-lain.
Namun akibat dari kebijakan pemerintah yang memihak pada pengusaha, pembangunan menjadi terhambat, pengurusan rakyat menjadi tersendat bahkan terabaikan.
Pajak Dalam Islam
Pembangunan dalam sistem Islam tidak bergantung pada pajak. Tapi pembiayaannya melalui sumber pendapatan negara dari berbagai sumber.
Dalam kitab Sistem Keuangan Negara Khilafah, Syekh Abdul Qadim Zallum menjelaskan bahwa Baitulmal memiliki 13 sumber pemasukan, diantaranya adalah
- Bagian Fa’i dan Kharaj : meliputi ganimah, Kharaj, tanah-tanah, jizyah, Fa’i dan dharibah (pajak)
- Bagian Kepemilikan Umum : meliputi migas, listrik, barang tambang, laut, perairan, mata air, sungai, hutan, Padang gembalaan, aset yang dproteksi dan sebagainya
- Bagian zakat
Dengan banyaknya pemasukan negara akan cukup membangun infrastruktur dan fasilitas yang dibutuhkan rakyat tanpa memungut pajak dari mereka.
Sumber Daya Alam (SDA) yang termasuk kepemilikan umum, dalam hal ini negara Islam (khilafah) bertanggung jawab untuk mengelolanya agar dapat digunakan untuk kemaslahatan rakyat.
Hasil pengelolaan akan dimanfaatkan secara langsung oleh rakyat atau keuntungan pengelolaannya dimanfaatkan untuk membangun layanan pendidikan dan kesehatan gratis bagi seluruh rakyat.
Rakyat yang dimaksud disini tidak dibedakan antara antara penguasa, pejabat ataupun rakyat biasa. Negara tidak boleh menyerahkan SDA kepada pengusaha (swasta) ataupun asing dan membiarkan mereka mendapatkan keuntungan dari hasil pengelolaan SDA tersebut.
Terkait dengan hutan, negara tidak boleh menyerahkan pengelolaannya kepada pengusaha untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit dan mengharapkan pemasukan pajak darinya. Alih fungsi hutan secara besar-besaran akan merusak hutan dan ekosistemnya.
Negaralah yang harus mengelolanya secara mandiri. Dengan pengelolaan sesuai syariah maka hutan akan memberikan manfaat ekonomi yang jauh lebih besar dibandingkan pemasukan pajak.
Ketika hutan dikelolah secara mandiri oleh negara, tidak akan muncul masalah seperti kebocoran pajak. Hutan akan lestari sekaligus akan memberikan manfaat bagi manusia.
Pada dasarnya pemasukan rutin baitulmal (13 pos) cukup untuk membiayai keperluan yang berkaitan dengan pemeliharaan urusan umat dan mewujudkan kemaslahatan mereka.
Hanya saja memang ada kondisi khusus (insidental) seperti paceklik, kekeringan, bencana alam dan lainnya sehingga pendapatan baitulmal tidak cukup untuk menutupi pembiayaan keperluan umat yang mengharuskan negara memungut pajak (dharibah).
Dalam kondisi yang demikian kewajiban itu dibebankan kepada kaum muslim, itupun hanya pada muslim yang kaya saja yaitu yang mempunyai kelebihan dalam memenuhi kebutuhan pokok dan pelengkapnya, dan bersifat temporer (sementara) untuk menutupi kekurangan.
Setelah kebutuhan tercukupi maka pemungutan pajak dihentikan. Sementara orang miskin tidak dibebani pajak justru mereka mendapat bantuan dari negara. Inilah mekanisme pajak dalam islam. Dengan mekanisme ini negara bersikap adil dan tidak mendzalimi rakyat. Wallahu alam bisawab. (*)
Penulis: Asriani, ST (Aktivis Muslimah)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.