OPINI—Pemerintah resmi menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Kebijakan ini menuai pro dan kontra dari berbagai lapisan masyarakat, mulai dari akademisi, pengusaha, buruh, hingga mahasiswa. Gelombang penolakan terus mengalir melalui petisi daring dan aksi demonstrasi yang semakin meluas.
Gelombang Penolakan Kenaikan PPN
Hingga kini, petisi penolakan kenaikan PPN telah ditandatangani oleh lebih dari 197 ribu orang. Mahasiswa dari berbagai universitas juga mulai turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi mereka. Mereka menganggap kebijakan ini tidak berpihak pada rakyat kecil yang akan menanggung beban lebih berat di tengah tingginya biaya hidup.
Dalam aksi demonstrasi, mahasiswa menuntut pemerintah untuk membatalkan kebijakan tersebut dan mencari solusi alternatif yang lebih adil. Seorang mahasiswa menyatakan, “Kenaikan PPN hanya akan menambah kesenjangan ekonomi, sementara fasilitas publik masih jauh dari memadai.”
Pandangan Ekonom dan Akademisi
Dosen Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menjelaskan bahwa kenaikan PPN dapat menekan daya beli masyarakat dan memperlambat inovasi teknologi. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya beban biaya produksi dan konsumsi yang dapat memengaruhi perkembangan industri.
Ekonom dari Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (UMSIDA) juga menambahkan bahwa kebijakan ini cenderung menguntungkan pengusaha besar karena mereka sering mendapatkan keringanan pajak dengan alasan mendorong investasi. Padahal, menurutnya, dampak investasi tersebut tidak selalu dirasakan langsung oleh rakyat kecil.
Pemerintah Tetap Kukuh
Meskipun mendapat banyak penolakan, Kementerian Keuangan menyatakan bahwa kenaikan PPN diperlukan untuk mendukung pembangunan dan penguatan ekonomi negara. Pemerintah berpendapat bahwa kebijakan ini bertujuan meningkatkan pendapatan negara yang selama ini bergantung pada pajak sebagai sumber utama pemasukan.
Namun, kritik muncul dari banyak pihak yang menilai bahwa sistem pajak dalam kapitalisme cenderung tidak adil. Pajak dianggap sebagai beban yang tidak memandang kondisi ekonomi rakyat kecil, sementara pengusaha besar sering mendapat perlakuan istimewa.
Pandangan Islam tentang Pajak
Dalam Islam, pajak bukanlah sumber utama pendapatan negara, melainkan hanya alternatif terakhir dalam kondisi tertentu. Konsep pajak dalam Islam sangat berbeda dengan sistem kapitalisme yang menjadikan pajak sebagai sumber utama pemasukan negara. Berikut adalah prinsip-prinsip Islam tentang pajak dan pengelolaan keuangan negara:
Sumber Pendapatan Utama dalam Islam
Islam menetapkan bahwa negara memiliki berbagai sumber pemasukan yang tidak membebani rakyat secara langsung. Sumber-sumber tersebut meliputi:
Zakat: Pajak wajib yang dipungut dari kaum muslimin yang mampu, dengan nisab tertentu. Zakat disalurkan langsung kepada delapan golongan yang berhak menerimanya, termasuk fakir, miskin, dan amil.
Jizyah: Pajak yang dikenakan kepada non-Muslim sebagai imbalan atas perlindungan dan layanan dari negara.
Kharaj: Pajak atas tanah yang menjadi milik negara, di mana hasilnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat.
Harta Milik Umum: Kekayaan seperti tambang, air, dan energi yang dikelola oleh negara untuk kesejahteraan rakyat tanpa pembebanan pajak tambahan.
Pajak Sebagai Alternatif Terakhir
Islam mengizinkan penguasa untuk memungut pajak (disebut dhariibah) hanya dalam kondisi darurat, seperti kekurangan dana untuk kebutuhan mendesak negara, misalnya pertahanan atau bencana. Pajak ini hanya dibebankan kepada kalangan kaya yang mampu membayarnya. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa beban negara tidak boleh memberatkan rakyat kecil.
Penguasa sebagai Pelayan Rakyat
Dalam Islam, penguasa berfungsi sebagai pelayan dan pelindung rakyat (ra’in wa junnah). Hal ini ditegaskan dalam hadis Rasulullah SAW:
“Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.”
Dengan demikian, seorang pemimpin bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat tanpa membebani mereka dengan pajak yang tidak adil.
Haramnya Menyentuh Harta Rakyat
Islam sangat menekankan pentingnya menjaga harta rakyat. Penguasa tidak boleh mengambil harta rakyat tanpa alasan yang jelas dan sah. Dalam pandangan Islam, pajak yang dibebankan secara tidak adil atau tanpa alasan syar’i adalah bentuk kezaliman yang diharamkan.
Distribusi Kekayaan untuk Kesejahteraan Rakyat
Sistem ekonomi Islam menitikberatkan pada distribusi kekayaan secara merata. Harta negara digunakan untuk menyediakan fasilitas umum seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur tanpa membebankan biaya langsung kepada rakyat kecil. Sistem ini memastikan bahwa setiap individu rakyat mendapatkan haknya, bukan hanya kelompok tertentu.
Mengelola Sumber Daya Alam untuk Kepentingan Publik
Dalam Islam, sumber daya alam yang melimpah di suatu negara harus dikelola oleh negara untuk kemakmuran seluruh rakyat. Kekayaan ini tidak boleh dikuasai oleh individu atau korporasi. Rasulullah SAW bersabda:
“Kaum Muslimin berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api.”
Dengan pengelolaan yang tepat, negara tidak perlu membebani rakyat dengan pajak tambahan.
Kebijakan kenaikan PPN menjadi 12% menunjukkan kelemahan sistem kapitalisme yang mengandalkan pajak sebagai sumber utama pemasukan negara. Sistem ini sering kali tidak memperhatikan kondisi rakyat kecil, sementara pengusaha besar mendapatkan berbagai insentif.
Sebaliknya, sistem Islam menawarkan solusi yang lebih adil melalui diversifikasi sumber pendapatan negara dan prinsip keadilan dalam pengelolaan harta rakyat. Dengan menerapkan sistem ekonomi Islam, negara mampu menjamin kesejahteraan rakyat individu per individu tanpa harus membebani mereka dengan pajak yang mencekik.
Kini, masyarakat dihadapkan pada pertanyaan besar: apakah sistem yang ada dapat menjamin kesejahteraan rakyat, atau justru perlu mempertimbangkan alternatif sistem Islam yang menempatkan penguasa sebagai pelayan sejati rakyat?. (*)
Penulis: Risnawati Ridwan
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.