Advertisement - Scroll ke atas
Opini

Korporasi di Balik Pagar Laut

545
×

Korporasi di Balik Pagar Laut

Sebarkan artikel ini
Riskiani, S.Pd (Pengajar)
Riskiani, S.Pd (Pengajar)

OPINI—Kasus pagar laut tengah menjadi perbincangan hangat di berbagai daerah. Awalnya, perhatian publik tertuju pada pagar bambu yang berdiri di perairan Kabupaten Tangerang. Namun, setelah kasus ini mencuat, diketahui bahwa fenomena serupa juga ditemukan di Bekasi, Surabaya, Bali, dan Makassar.

Ketua Front Kebangkitan Petani dan Nelayan, Heri Amrin Fasa, mengungkapkan bahwa pada September 2024, nelayan tradisional telah mengadukan persoalan ini ke Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten. Pagar bambu yang berdiri tanpa izin tersebut menghambat nelayan mencari nafkah. Selain itu, muncul kekhawatiran bahwa pagar itu merupakan langkah awal untuk proyek reklamasi.

Advertisement
Scroll untuk melanjutkan

Sayangnya, meski jelas ilegal, pemerintah daerah mengaku tidak memiliki wewenang untuk menertibkan pagar tersebut. Tak mendapat respons memuaskan, kelompok nelayan akhirnya membawa kasus ini ke Ombudsman. Sejak itu, isu ini viral dan mendapat perhatian luas.

Heri menilai bahwa sebelum kasus ini mencuat, banyak pihak, termasuk DKP, ATR/BPN, serta aparatur pemerintahan daerah, tampak diam seolah tak melihat pelanggaran yang jelas ada di depan mata. Ketika isu ini mulai ramai diperbincangkan, mereka justru saling lempar tanggung jawab alih-alih mengambil tindakan tegas.

Dampaknya sangat besar bagi masyarakat. Selain menghambat akses nelayan ke laut, Ombudsman memperkirakan kerugian yang dialami nelayan mencapai Rp8 miliar.

Korporasi di Balik Pagar Laut

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menduga bahwa pagar laut tersebut berkaitan dengan proyek reklamasi yang melibatkan korporasi besar. Agung Sedayu Group, yang dimiliki oleh Aguan, serta Salim Group milik Anthoni Salim, disebut-sebut sebagai pihak yang berkepentingan dalam proyek ini. Kedua konglomerat ini memiliki kawasan properti di Pantai Indah Kapuk 2 (PIK2), yang berbatasan langsung dengan lokasi pagar laut.

Menteri ATR/BPN Nusron Wahid mengungkapkan bahwa di area pagar laut terdapat 234 sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang dimiliki PT Intan Agung Makmur serta 20 sertifikat milik PT Cahaya Inti Sentosa. Kedua perusahaan ini diketahui berafiliasi dengan Agung Sedayu Group.

Meski bukti pelanggaran hukum telah terang benderang, hingga kini pihak yang bertanggung jawab atas pemagaran laut masih belum tersentuh hukum. Fenomena ini menegaskan bagaimana kekuatan uang dan koneksi dapat mengalahkan supremasi hukum di negeri ini.

Negara di Bawah Bayang-Bayang Oligarki

Kasus pagar laut hanyalah salah satu contoh bagaimana korporasi besar memiliki pengaruh kuat dalam pemerintahan. Pola yang sama juga terlihat dalam kasus penjualan pulau-pulau kecil dan kawasan pesisir di berbagai daerah. Fenomena ini menunjukkan bahwa kekuasaan di negara ini telah dikuasai oleh kepentingan korporasi, atau yang dikenal dengan istilah korporatokrasi.

Sistem pemerintahan yang berjalan saat ini cenderung mendukung oligarki, di mana kekuasaan politik ditentukan oleh modal. Kekuatan kapital menjadi faktor utama dalam menentukan kebijakan negara, termasuk dalam regulasi hukum.

Salah satu indikasi kuat dari korporatokrasi ini adalah pelemahan lembaga antirasuah seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui revisi UU KPK. Dengan semakin besarnya kekuasaan Dewan Pengawas KPK yang berada di bawah kendali presiden, independensi lembaga ini semakin dipertanyakan.

Selain itu, omnibus law yang dibuat untuk menarik investasi justru memperkuat posisi korporasi dan melemahkan perlindungan terhadap masyarakat. Pemerintah lebih sering berperan sebagai regulator yang mengakomodasi kepentingan pemodal daripada sebagai pelindung rakyat.

Lemahnya Aturan Buatan Manusia

Kasus pagar laut juga mengungkap inkonsistensi di antara lembaga pemerintah. TNI Angkatan Laut membongkar pagar tersebut, sementara Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) justru meminta penghentian pembongkaran dengan alasan bahwa pagar itu masih diperlukan sebagai barang bukti.

Selain itu, terdapat perbedaan pernyataan antara Menteri ATR/BPN Nusron Wahid dan Direktur Penanganan Sengketa Pertanahan Kementerian ATR/BPN, Eko Prianggodo. Nusron mengakui bahwa sertifikat hak guna bangunan di atas laut adalah pelanggaran dan dapat dibatalkan. Namun, Eko menyatakan bahwa area pagar laut belum memiliki hak kepemilikan yang sah.

Perbedaan ini mencerminkan lemahnya sistem hukum yang ada. Aturan yang dibuat manusia sering kali memiliki celah yang dapat dimanfaatkan oleh pihak berkepentingan, sehingga tindakan yang merugikan rakyat justru bisa menjadi “legal” di mata hukum.

Kasus ini memperlihatkan bahwa hukum sering kali tunduk pada kepentingan kapitalis. Ketika daratan tidak lagi cukup untuk proyek properti, laut pun dikaveling demi keuntungan segelintir pihak.

Negara Seharusnya Menjadi Pelindung Rakyat, Bukan Alat Kapitalis

Sikap negara yang tidak tegas dalam menangani kasus pagar laut menunjukkan bahwa pemerintah lebih berpihak pada korporasi dibanding rakyat. Dalam sistem kapitalisme, kebebasan kepemilikan menjadi prinsip utama, sehingga negara kehilangan kedaulatan dalam mengatur sumber daya yang seharusnya menjadi milik publik.

Sebaliknya, dalam sistem pemerintahan yang berpihak pada rakyat, negara seharusnya menjadi pengurus (raa’in) dan perisai (junnah) bagi warganya. Negara harus memastikan bahwa sumber daya alam dikelola untuk kepentingan bersama, bukan untuk kepentingan segelintir elite ekonomi.

Dalam Islam, kepemilikan terbagi menjadi tiga kategori:

  • 1. Kepemilikan individu, yang mencakup harta yang diperoleh secara sah oleh perorangan.
  • 2. Kepemilikan umum, yang mencakup sumber daya alam yang tidak boleh dimiliki individu atau korporasi, seperti laut dan tambang.
  • 3. Kepemilikan negara, yang mencakup aset yang dikelola langsung oleh negara untuk kepentingan rakyat.

Laut termasuk dalam kepemilikan umum, sehingga haram untuk dimiliki atau dikuasai oleh individu maupun korporasi. Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada penguasaan atas harta milik umum kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya.” (HR Bukhari).

Dalam sistem yang ideal, negara seharusnya bertindak tegas terhadap setiap upaya privatisasi sumber daya publik. Jika ada pihak yang mencoba menguasai laut untuk kepentingan pribadi, pemerintah harus segera bertindak tanpa pandang bulu.

Kasus pagar laut mencerminkan bagaimana oligarki dan korporatokrasi telah mengakar dalam sistem pemerintahan kita. Lemahnya aturan buatan manusia memungkinkan korporasi untuk memanfaatkan celah hukum demi keuntungan mereka sendiri, sementara rakyat dibiarkan berjuang sendirian.

Pemerintah seharusnya bertindak sebagai pelindung rakyat, bukan sebagai agen kapitalis. Tanpa sistem yang berpihak pada kepentingan masyarakat luas, kasus serupa akan terus berulang, mengorbankan lingkungan dan hak-hak rakyat kecil. (*)

 

Penulis: Riskiani (Pengajar)

 

***

 

Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.

error: Content is protected !!