MAKASSAR—Penjabat Ketua Tim Penggerak PKK Sulawesi Selatan, Ninuk Triyanti Zudan, hadir dalam momen penting Penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) untuk Pencegahan Perkawinan Anak.
Kegiatan ini digelar Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Sulsel di Ruang Pola Kantor Gubernur Sulsel, Rabu, 18 Desember 2024. Kehadiran Ketua Dharma Wanita Persatuan Sulsel, Melani Simon Jufri, turut menambah dukungan atas inisiatif ini.
MoU ini menjadi tonggak penting dalam memastikan ketersediaan dan pemanfaatan data yang terkoordinasi untuk mengatasi perkawinan anak di Sulsel. Penandatanganan ini melibatkan sejumlah pihak, termasuk Pemerintah Provinsi Sulsel, Polda Sulsel, Kementerian Agama Sulsel, dan Pengadilan Tinggi Makassar.
Prof Zudan Arif Fakrulloh, Penjabat Gubernur Sulsel, melalui Plt Asisten Administrasi, Prof Muhammad Jufri, menegaskan bahwa perkawinan anak adalah bentuk kekerasan terhadap anak dan pelanggaran hak dasar mereka.
Praktik ini, kata dia, menempatkan anak dalam posisi rentan, baik secara pendidikan, kesehatan, maupun akses terhadap kebutuhan dasar lainnya.
“Anak yang menikah di bawah usia 18 tahun lebih berisiko mengalami kekerasan, kesehatan buruk, hingga kesulitan mengakses pendidikan. Ini dapat memperpanjang siklus kemiskinan lintas generasi,” ujar Prof Jufri.
Sebagai upaya perlindungan anak, Pemprov Sulsel telah melakukan berbagai langkah, seperti lokakarya, analisis data, hingga validasi data sektoral. Pendataan dan pemantauan yang terkoordinasi dianggap krusial untuk memastikan hak-hak anak terpenuhi.
Erman Rahman, Direktur Aktivitas IDIQ USAID ERAT, menyoroti pentingnya kerja sama multisektoral dalam mengatasi perkawinan anak. Ia mengungkapkan bahwa meski angka perkawinan anak di Sulsel kini 7,5 persen, lebih rendah dari target nasional 8,5 persen, upaya pencegahan tetap menjadi fokus.
“Pencegahan perkawinan anak adalah bagian penting dari pemenuhan hak anak. Kami bangga dapat mendukung Pemprov Sulsel dalam langkah strategis ini,” kata Erman. Menurutnya, perkawinan anak tidak hanya menjadi tugas pemerintah, tetapi juga memerlukan kontribusi dari berbagai pihak, termasuk lembaga hukum dan organisasi non-pemerintah.
Ninuk Zudan sendiri aktif menyosialisasikan bahaya perkawinan anak di berbagai daerah. Ia menekankan bahwa perkawinan anak dapat berdampak serius pada kesehatan fisik dan mental, termasuk risiko melahirkan anak dengan kondisi stunting.
“Kami akan terus mengedukasi masyarakat tentang dampak negatif perkawinan anak. Ini adalah perjuangan kita bersama,” tutup Ninuk. (*/4dv)