Advertisement - Scroll ke atas
  • Media Sulsel
  • Bapenda Makassar
  • Universitas Diponegoro
News

Pengamat Hukum Tata Negara Unmul Sebut Putusan MA Soal Usia Tidak Bisa Diberlakukan Pada Pilkada 2024

321
×

Pengamat Hukum Tata Negara Unmul Sebut Putusan MA Soal Usia Tidak Bisa Diberlakukan Pada Pilkada 2024

Sebarkan artikel ini
KPU
Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Jakarta, 20 Maret 2024. (Foto: Yasuyoshi Chiba/AFP/VoA)
  • Pemprov Sulsel
  • PDAM Makassar

MEDIASULSEL.COM—Pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah mengatakan KPU sebenarnya mempunyai pilihan untuk mengabaikan putusan MA karena tidak ada rasionalisasi yang memadai di dalam putusan tersebut. Menurutnya, putusan MA tersebut secara formal maupun substansi bermasalah.

Selain itu, lanjut Herdiansyah, Mahkamah Konstitusi saat ini juga sedang menguji terkait syarat usia calon kepala dan wakil kepala daerah. Semestinya hal itu, katanya, menjadi basis penilaian bagi KPU.

Advertisement
Scroll untuk melanjutkan

Jika MK memutuskan sama seperti apa yang diputuskan pada peraturan KPU sebelumnya, bahwa tafsir batas usia ditetapkan pada saat penetapan calon dan bukan pada saat masa pelantikan seperti putusan MA, hal itu kata Herdiansyah, akan mempunyai implikasi yang besar.

“Tahapannya sudah mulai berlangsung. Nah, kalau putusan Mahkamah Agung diikuti, otomatis itu akan menggangu jalannya tahapan pelaksanaan Pilkada. Bagaimana kalau Mahkamah Konstitusi memutuskan berbeda, ini kan lebih menggangu lagi. Proses dan tahapan Pilkada bisa-bisa kacau dalam pelaksanaannya karena terganggu dengan putusan-putusan pengadilan itu baik MA ataupun MK,” ujar Herdiansyah kepada VOA, Kamis (20/6/2024).

Sebenarnya lanjut Herdiansyah, ia lebih setuju dengan apa yang ada di Amerika Serikat (AS) di mana pengadilan baik itu MA termasuk MK atau pengadilan apapun sebenarnya secara prinsip tidak boleh memutus perkara-perkara terutama dalam hal ini Pemilu ketika tahapannya sudah mulai berlangsung. Namun, walaupun diputuskan oleh pengadilan, pemberlakuannya tidak saat ini.

“Jadi putusan pengadilan tidak boleh menggangu tahapan penyelenggaraan pemilihan yang sedang berlangsung. Jadi kalau kita mau fair sebenarnya dari mulai putusan Mahkamah Agung, putusan Mahkamah Konstitusi sih nanti. Kalaupun kemudian itu ditafsirkan ulang, mestinya itu berlaku prospektif pada saat pilkada berikutnya, tidak saat sekarang,” papar Herdiansyah.

Untuk diketahui 29 Mei lalu, MA mengabulkan uji materi yang diajukan Partai Garuda terhadap peraturan KPU (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020, khususnya terkait syarat usia minimal calon kepala daerah. MA menyatakan Pasal 4 Ayat 1 Huruf d PKPU Nomor 9/2020 bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 10/2016 tentang Pilkada. MA menyatakan, tafsir yang benar terhadap pasal yang mengatur usial minimal calon kepala-wakil kepala daerah itu seharusnya dihitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih, bukan sejak penetapan calon.

Mahkamah Konstitusi saat ini juga sedang menguji pasal terkait syarat usia calon di UU Pilkada. Pemohon dalam judicial review ini mengatakan uji materi UU Pilkada ini diajukan sebagai respons atau putusan MA yang telah memberi tafsir baru terhadap syarat susia minimal calon kepala daerah. Menurutnya MA telah melampaui kewenangannya saat menafsirkan ketentuan di UU Pilkada terkait syarat usia harus dihitung sejak pelantikan calon terpilih. Putusan tersebut justru menimbulkan ketidakpastian hukum.

Koordinator Divisi Teknis KPU Idham Holik mengatakan berdasarkan undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Dengan demikian, lanjutnya, putusan MA itu merupakan produk hukum yang memiliki kekuatan yang sifatnya final dan mengikat.

Idham mengakui ada perbedaan antara tindak lanjut atas putusan MA soal syarat calon kepala daerah dan putusan MA lain terkait soal afirmasi keterwakilan perempuan. Menurutnya perbedaan tidak lanjut atas dua putusan MA ini adalah soal momentum keluarnya putusan.

Putusan MA soal syarat usia calon kepala daerah keluar ketika tahapan pendaftaran belum dimulai. Sementara putusan MA soal afirmasi keterwakilan perempuan baru keluar ketika partai sudah mendaftarkan bakal calon anggota legislatif pada pemilihan legislatif 2024. Oleh karena itu, Idham mengatakan lembaganya tidak menindaklanjutinya.

Sementara itu, Pengajar Hukum Pemilu dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini mengatakan putusan Mahkamah Agung memang final dan mengikat. Baik Putusan soal keterwakilan perempuan maupun syarat usia. Hanya saja, kata Titi, KPU menjadi salah kaprah saat mengatakan pendaftaran calon di pilkada belum berlangsung sehingga Putusan MA bisa langsung diberlakukan di Pilkada 2024. Seolah anggota KPU tidak memahami bagaimana cara kerja tahapan pencalonan. Pencalonan pilkada itu proses panjang yang bukan hanya dimulai saat pendaftaran calon.

Berbeda dengan pilpres, pencalonan pilkada mengenal calon perseorangan yang prosesnya sudah dimulai dengan penyerahan syarat dukungan bakal calon perseorangan sejak 5 Mei 2024. Penyerahan syarat dukungan tersebut dilakukan ketika syarat usia calon masih merujuk pada usia saat penetapan paslon oleh KPU berdasar PKPU 9/2020.

“Jadi para bakal calon yang mempersiapkan berkas syarat dukungan tentu mengukur keterpenuhan syarat usia sesuai ketentuan dalam PKPU 9/2020, yaitu berusia 30 tahun untuk calon gubernur atau wakil gubernur, serta 25 tahun untuk calon bupati, wali kota dan wakil yang dihitung ketika pasangan calon ditetapkan oleh KPU yang jadwalnya 22 September 2024. Artinya mereka ketika mempersiapkan syarat dukungan bakal calon perseorangan yang diserahkan sejak sejak 5 Mei 2024,” ungkapnya.

Saat ini tambah Titi, para bakal calon perseorangan bahkan sudah sampai pada tahapan verifikasi administrasi oleh KPU daerah. KPU ujarnya harusnya konsisten dan taat asas dalam mengelola tahapan pilkada. Putusan MA soal usia tidak bisa diberlakukan pada pilkada 2024 karena tahapan pencalonan sudah dimulai sejak lama Berbeda dengan Putusan keterwakilan perempuan yang KPU memang sengaja mengabaikan meski dari sisi waktu, putusan tersebut masih leluasa untuk dilaksanakan ketika putusan diterbitkan oleh MA pada Pemilu 2024.

Titi menegaskan karena tidak konsisten dan tebang pilihnya KPU dalam melaksanakan putusan pengadilan serta adanya pengabaian atas tahapan yang sedang berjalan, pengujian Pasal 7 ayat (2) huruf e di MK menjadi strategis untuk meluruskan persoalan ini.

Menurutnya, MK dalam sejumlah putusan kembali konsisten menegaskan bahwa persoalan usia adalah kebijakan hukum yang menjadi kewenangan pembentuk undang-undang.

Misalnya, dalam Putusan MK No.141/PUU-XXI/2023 juga Putusan No.15/PUU-V/2007. Karena itu, pada tataran teknis, operasionalisasi soal ketentuan persyaratan usia ini mestinya menjadi kewenangan penuh dari KPU sebagai penyelenggara pemilu untuk mengaturnya. [fw/ft/VoA/Ag4ys]

 

Simak Juga:

error: Content is protected !!