OPINI—Konflik Palestina bukan sekadar tragedi kemanusiaan. Ia adalah potret nyata dari kegagalan sistem internasional, pengkhianatan para pemimpin dunia Islam, dan hasil dari dominasi ideologi nasionalisme yang membelah kekuatan umat.
Di tengah derita yang terus memburuk di Gaza, munculnya gerakan Global March To Gaza (GMTG) menjadi sinyal kuat: hati nurani umat masih hidup. Namun, gerakan ini juga membuka mata kita bahwa solidaritas kemanusiaan saja tak cukup menghadapi kekuatan kolonialisme modern yang dikokohkan oleh sekat-sekat negara bangsa.
Puluhan aktivis dari berbagai negara datang dengan semangat membela Gaza melalui GMTG. Namun, mereka diusir oleh Mesir dan tidak diizinkan menembus gerbang Rafah satu-satunya pintu keluar-masuk Gaza yang tak dikuasai Israel secara langsung.
Alih-alih membuka akses bagi bantuan dan solidaritas, Mesir justru mengunci pintu dan mendorong aktivis kembali. Ini bukan pertama kali terjadi. Mesir dan negara-negara Arab lain sudah lama memainkan peran “penjaga” status quo, meski dengan dalih kedaulatan dan stabilitas.
Mengapa ini terjadi? Jawabannya: nasionalisme. Konsep negara bangsa yang lahir dari rahim kolonialisme telah memecah umat Islam menjadi lebih dari 50 negara dengan batas teritorial dan kepentingan masing-masing.
Akibatnya, penderitaan rakyat Palestina dipandang bukan lagi sebagai urusan umat, melainkan urusan “negara lain”. Nasionalisme telah memupus ukhuwah dan mematikan tanggung jawab syar’i penguasa Muslim untuk membela saudara seiman yang dizalimi.
Harapan pada lembaga internasional seperti PBB, OIC, Liga Arab, hingga ICC, sudah lama terbukti sia-sia. Mereka terus menggelar pertemuan, membuat pernyataan, bahkan sesekali menjatuhkan sanksi ringan. Namun, blokade Israel tetap berlangsung, pembantaian terus terjadi, dan Gaza kian hancur.
GMTG membuktikan bahwa kekuatan rakyat bisa bersuara lantang, tapi juga memperlihatkan bahwa suara itu mudah dibungkam oleh sistem yang dibangun di atas kepentingan politik negara-negara besar. Lembaga-lembaga internasional bukanlah instrumen keadilan sejati, melainkan bagian dari sistem penjajahan global yang hanya berpihak pada kekuatan yang punya veto, bukan pada mereka yang tertindas.
Nasionalisme: Warisan Kolonial yang Meracuni Umat
Nasionalisme bukan ide orisinil dari dunia Islam. Ia adalah racun yang disuntikkan penjajah untuk menghancurkan bangunan umat yang dulu bersatu dalam Khilafah Islamiyah. Pasca runtuhnya Khilafah Utsmani pada 1924, dunia Islam terpecah-pecah menjadi negara-negara kecil yang lemah.
Para penguasa baru dipilih bukan berdasarkan amanah dan syariat, tetapi karena loyalitas mereka pada kekuatan kolonial. Inilah sebabnya, ketika Palestina dijajah, tak ada satu pun negara Muslim yang sungguh-sungguh mengerahkan kekuatan militernya. Mereka justru sibuk menjaga perbatasan masing-masing perbatasan buatan penjajah!
Nasionalisme bukan sekadar sentimen cinta tanah air. Ia telah menjadi sistem pemisah, yang menjadikan umat Islam tak lagi punya satu suara, satu kepemimpinan, dan satu visi perjuangan. Inilah penghalang terbesar pembebasan Palestina: bukan kekuatan Israel, tapi keterpecahan umat karena nasionalisme.
Solusi Islam: Persatuan Politik dan Kepemimpinan Global
Umat Islam perlu sadar: solusi bagi Palestina bukanlah bantuan kemanusiaan semata, tapi perubahan politik global. Umat harus bersatu di bawah satu kepemimpinan politik Islam yang adil, kuat, dan tunduk pada syariat. Sebagaimana dulu Khalifah Abdul Hamid II menolak mentah-mentah tawaran emas dari Yahudi demi menjaga Palestina, demikian pula semestinya penguasa Muslim hari ini berdiri tegas di hadapan penjajah.
Islam bukan asing dengan perjuangan global. Dalam sejarah, Islam pernah memimpin umat dari Maroko hingga Indonesia di bawah satu naungan politik, yang melindungi kaum Muslimin dan menjadi pelindung bagi kaum tertindas. Kini, sistem itulah yang harus diperjuangkan kembali. Bukan nostalgia, tapi keniscayaan politik untuk mengakhiri penjajahan.
Gerakan seperti GMTG memang membangkitkan kesadaran. Namun, kesadaran itu harus ditujukan untuk membongkar sekat negara bangsa dan menyatukan umat di bawah proyek politik yang lebih besar. Umat Islam harus bergabung dengan gerakan politik ideologis yang memperjuangkan kepemimpinan Islam global, tanpa terjebak batas-batas nasional buatan penjajah.
Gerakan ini harus terus menyerukan tegaknya Khilafah Islamiyah sebagai solusi menyeluruh bagi umat, bukan hanya untuk Palestina, tetapi juga untuk seluruh negeri Muslim yang tertindas. Hanya dengan sistem ini, kekuatan militer, politik, dan ekonomi umat bisa bersatu dan menghentikan kekejaman Israel dan sekutunya.
Konflik Palestina bukan konflik lokal, dan bukan pula isu kemanusiaan biasa. Ia adalah ujian besar bagi umat Islam, kita akan terus dibelenggu nasionalisme dan sekat negara bangsa, atau bangkit membangun kembali satu tubuh politik yang kuat dan bermartabat Palestina menanti bukan hanya simpati, tapi solusi yang nyata solusi yang datang dari kesatuan umat dan tegaknya sistem Islam di muka bumi. (*)
Penulis: Riska Nilmalasari D.A
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.
















