Advertisement - Scroll ke atas
Opini

“Lonely in The Crowd” Dampak Buruk Sosial Media Bagi Gen Z dan Alpha

2179
×

“Lonely in The Crowd” Dampak Buruk Sosial Media Bagi Gen Z dan Alpha

Sebarkan artikel ini
Riska Nilmalasari D.A (Praktisi Pendidikan)
Riska Nilmalasari D.A (Praktisi Pendidikan)

OPINI—Hampir semua anak muda hari ini punya akun media sosial. Dari TikTok, Instagram, sampai X (Twitter), semuanya jadi ruang tempat berbagi cerita, bercanda, atau sekadar ikut tren viral. Namun, di balik ramainya dunia digital, banyak penelitian justru menunjukkan fakta mengejutkan generasi muda, khususnya Gen Z dan Alpha, merasa makin kesepian.

Fenomena ini disebut “lonely in the crowd” kesepian di tengah keramaian. Seolah-olah ribuan likes dan ratusan komentar tidak cukup untuk membuat hati benar-benar terhubung.

Advertisement
Scroll untuk melanjutkan

Sebuah riset dari mahasiswa Ilmu Komunikasi UMY tentang TikTok mengungkap, emosi yang dibentuk oleh dunia digital sering kali lebih ‘nyata’ daripada realitas itu sendiri. Akibatnya, seseorang bisa larut dalam dunia maya, tetapi miskin interaksi sosial di dunia nyata.

Gen Z (lahir antara 1997–2012) dan Alpha (lahir setelah 2013) dikenal sebagai generasi paling akrab dengan teknologi. Dari kecil sudah terbiasa memegang gawai, mereka bisa dengan mudah berselancar di internet, membuat konten, hingga membangun personal branding. Namun, kedekatan ini punya sisi gelap.

Banyak survei menunjukkan, Gen Z adalah generasi yang paling rentan merasa insecure, kesepian, bahkan cemas berlebihan. Ironisnya, kondisi ini terjadi di era ketika komunikasi online begitu mudah dan instan. Di sini terlihat jelas bahwa media sosial tidak otomatis menjamin kebahagiaan atau rasa terhubung.

Sering kali masalah ini hanya dilihat sebagai persoalan literasi digital: “Kurangi screen time!”, “Kelola penggunaan gawai!” Padahal lebih dalam dari itu, fenomena ini lahir dari sistem sekuler-liberal yang menjadikan industri kapitalis mengendalikan arus media.

Platform digital dibuat untuk mengejar profit, bukan membangun relasi sehat. Akibatnya, konten sering didesain untuk memicu adiksi, mengejar sensasi, dan membentuk standar kebahagiaan semu.

Kesepian bukan masalah sepele. Studi global menyebut, rasa kesepian bisa menurunkan kesehatan mental, memperbesar risiko depresi, dan membuat seseorang sulit produktif. Bagi umat, hal ini tentu merugikan.

Gen Z dan Alpha sejatinya punya potensi luar biasa untuk berkarya dan memimpin perubahan, tetapi jika energi mereka habis untuk melawan rasa sepi, mereka akan tumbuh menjadi generasi yang lemah.

Fenomena “lonely in the crowd” adalah alarm penting. Masyarakat harus menyadari bahwa penggunaan media sosial tanpa arah hanya akan melahirkan generasi rapuh. Perlu ada kesadaran kolektif untuk kembali menjadikan Islam sebagai identitas utama. Dengan ikatan iman, relasi sosial tidak lagi dangkal, tetapi penuh makna dan tanggung jawab.

Negara pun punya peran besar. Bukan sekadar menyediakan akses internet, tapi juga mengendalikan pemanfaatan digital agar tidak menjadi jebakan kesepian massal. Dalam Islam, setiap kebijakan diarahkan agar rakyat khususnya generasi muda tetap produktif, peduli pada problematika umat, dan tidak terasing di tengah keramaian dunia maya.

Pada akhirnya, Gen Z dan Alpha tidak butuh sekadar “likes” atau “followers” untuk merasa berharga. Mereka butuh ruang sosial yang sehat, interaksi nyata, serta ikatan spiritual yang kokoh. Tanpa itu semua, dunia digital hanya akan menjadi keramaian semu, tempat orang-orang muda merasa kesepian lonely in the crowd. Wallahu’alam Bishowwab. (*)


Penulis:
Riska Nilmalasari D.A
(Praktisi Pendidikan)

Disclaimer:
Setiap opini, artikel, informasi, maupun berupa teks, gambar, suara, video, dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab masing-masing individu, dan bukan tanggung jawab Mediasulsel.com.

error: Content is protected !!