OPINI—Fenomena baru di dunia kerja kini ramai dibicarakan job hugging. Istilah ini menggambarkan kondisi ketika seseorang memilih bertahan di pekerjaan yang tidak lagi ia minati, bahkan terasa menekan, hanya demi keamanan finansial.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Amerika Serikat, tapi juga melanda Indonesia. Menurut beberapa pengamat, termasuk Guru Besar UGM, job hugging muncul karena ketidakpastian pasar kerja.
Banyak lulusan perguruan tinggi akhirnya memilih bertahan dalam pekerjaan yang membuat hati merana, daripada berisiko menganggur sebagai “pengangguran intelektual.”
Bagi generasi muda, terutama Gen Z dan Alpha, kondisi ini ibarat buah simalakama. Mereka adalah generasi yang lahir di era digital, penuh kreativitas, ingin mengembangkan diri, dan haus akan pengalaman baru.
Namun kenyataannya, mereka dihadapkan pada pasar kerja yang lesu, PHK yang meningkat, dan perusahaan yang enggan mengambil resiko membuka banyak lapangan kerja baru.
Ada beberapa faktor yang mendorong fenomena ini:
- Ekonomi global yang lesu akibat sistem kapitalisme membuat banyak perusahaan menahan ekspansi.
- Pasar kerja tidak pasti, sehingga bertahan dianggap lebih aman daripada kehilangan pekerjaan.
- Sumber daya dikuasai segelintir elit, sehingga negara semakin tergantung pada swasta dalam membuka lapangan kerja.
Ekonomi non-riil dan ribawi lebih berkembang, sementara sektor riil yang menyerap tenaga kerja berjalan lambat.
Akibatnya, generasi muda terjebak dalam pola pikir pragmatis lebih baik tetap di pekerjaan yang tidak disukai, daripada menghadapi kenyataan pahit pengangguran. Dalam sistem kapitalisme, tanggung jawab penyediaan pekerjaan seakan dilepaskan dari pundak negara. Pemerintah hanya berperan sebagai regulator, sementara lapangan kerja diserahkan pada mekanisme pasar dan korporasi.
Bahkan pendidikan tinggi diarahkan untuk “siap kerja” mengikuti kebutuhan industri global, bukan memastikan warganya memiliki akses terhadap pekerjaan yang layak. Hal ini membuat banyak lulusan pintar dan kreatif justru terjebak dalam pekerjaan yang tidak sesuai minat maupun potensinya.
Dalam Islam memandang negara sebagai penanggung jawab utama urusan rakyat, termasuk dalam penyediaan lapangan kerja. Dalam konsep islam, ada beberapa kebijakan yang menjamin rakyat bisa bekerja:
Pengelolaan sumber daya alam untuk membuka sektor industri dan pekerjaan riil.
Ihya’ul mawat, memberikan tanah mati agar produktif, membuka peluang kerja di sektor pertanian dan perkebunan.
Bantuan modal dan keterampilan bagi warga yang membutuhkan agar bisa mandiri.
Pendidikan berbasis iman yang menjadikan kerja bukan sekadar mencari gaji, tapi ibadah yang terikat halal dan haram.
Dengan islam generasi muda tidak hanya sekedar “bertahan hidup”, tapi bisa berkembang sesuai bakat dan potensinya, sambil tetap merasa aman secara ekonomi. Fenomena job hugging seharusnya menjadi alarm keras bagi kita semua, khususnya generasi muda Gen Z dan Alpha. Bahwa di balik istilah keren, ada realitas pahit kapitalisme global gagal memberi masa depan cerah.
Sudah saatnya anak muda sadar, mereka butuh islam yang benar-benar melindungi dan menjamin kebutuhan dasar. Bukan kesadaran yang membuat mereka bertahan di pekerjaan yang membunuh kreativitas.
Gen Z dan Alpha adalah generasi perubahan. Jika mereka berani menolak ilusi kapitalisme dan memperjuangkan dan mempelajari islam yang hakiki, maka masa depan kerja tidak lagi tentang bertahan, tapi berkembang. Wallahu’alam Bisshowab. (*)
Penulis: Riska Nilmalasari D.A. (Praktisi Pendidikan)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.




















