OPINI—Menteri Agama (Menag) RI Yaqut Cholil Qoumas diingatkan agar berhati-hati dalam memberikan pernyataannya berkaitan politik menuju Pemilihan Presiden 2024.
Hal ini karena pernyataannya yang mengimbau masyarakat tidak memilih pemimpin yang memecah belah umat dan menggunakan agama sebagai alat politik. (REPUBLIKA.CO.ID)
Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, mengatakan, jangan sampai pernyataan dari Menag justru malah memicu perpecahan di antara masyarakat.
“Gus Yaqut semestinya tidak membuat pernyataan-pernyataan kontradiktif atau anomali yang bisa memicu pertentangan di masyarakat. Tidak perlu mengeluarkan pernyataan yang justru akan mendapatkan respon yang negatif dari publik,” ujar Ujang dalam keterangannya, Selasa (5/9/2023).
Ujang mengatakan, meski sah-sah saja dalam menyampaikan pendapatnya, tetapi Gus Yaqut saat ini adalah pejabat publik. Karena itu, alih-alih mengeluarkan pernyataan yang memicu kontroversi, sebaiknya fokus bekerja menjalankan visi misi Presiden.
Sebab, pernyataan tersebut justru berpotensi memicu munculnya politik identitas yang saat ini sudah jauh menurun dibandingkan Pilpres 2019 lalu.
“Para pejabat termasuk para menteri tidak perlu membuat pernyataan tidak perlu. Karena masyarakat sudah paham sudah tahu bahwa politik identitas harus ditinggalkan, politik SARA juga harus dihilangkan, adu domba juga harus dienyahkan, itu publik masyarakat sudah tahu itu,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) ini mengingatkan untuk menghormati pilihan politik setiap orang. Hal ini penting untuk menjaga persatuan dan kesatuan di antara perbedaan politik.
“Kita harus hilangkan ego, lalu juga memahami perbedaan, dan kita harus hormati beda pilihan siapapun di antara anak bangsa. Dan untuk tidak membangun politik yang berdasarkan identitas, SARA, fitnah dan narasi negatif lainnya,” ujarnya.
Menteri Agama (Menag) RI Yaqut Cholil Qoumas mengimbau masyarakat agar tidak memilih pemimpin yang memecah belah umat dan menggunakan agama sebagai alat politik. Yaqut menyampaikan hal tersebut di Garut, Jawa Barat, dalam rangka menghadiri Tablig Akbar Idul Khotmi Nasional Thoriqoh Tijaniyah ke-231 di Pondok Pesantren Az-Zawiyah, Tanjung Anom, Garut, Jawa Barat.
“Harus dicek betul. Pernah nggak calon pemimpin kita, calon presiden kita ini, memecah belah umat. Kalau pernah, jangan dipilih,” kata Menag Yaqut dalam keterangan tertulis di Jakarta, Ahad (3/9/2023).
Menyesatkan dan Berbahaya
Pernyataan Menag ini, dapat menyesatkan umat, dan membahayakan kehidupan umat, karena agama dituduh sebagai alat politik. Dampaknya, umat menjadi takut dan alergi untuk mengusung Islam dalam aktivitas politik. Seakan-akan, membawa Islam dalam aktivitas politik adalah sebuah kesalahan.
Dampak lebih lanjut, terjadi stigmatisasi terhadap aktivitas politik yang mengusung ide-ide Islam (Islam politik), sehingga terbentuk citra negatif mengenai Islam politik, mulai dari radikal, fundamentalis hingga teroris.
Akibatnya, politik berjalan tanpa spirit agama, padahal tanpa agama (Islam), politik menjadi Machiavellis, yang menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan.
Sementara itu, realitas saat ini menunjukkan hal yang paradoks. Di satu sisi para politisi enggan mengusung Islam politik, tetapi di sisi lain, pada saat mengais dukungan umat Islam, mereka tampil Islami.
Seperti tampak pada kondisi sekarang, menjelang Pemilu 2024, para calon peserta pemilu berlomba-lomba menunjukkan citra bahwa dirinya sosok yang religius nan islami dengan tujuan meraih suara dari umat Islam. Bukankah ini merupakan praktik memperalat agama dalam berpolitik demi meraih kekuasaan? Yang pada faktanya mereka telah melakukan politisasi Islam.
Islam dan Politik Tidak Terpisahkan
Sejatinya, Islam tidak terpisahkan dari politik. Dan sudah seharusnya pada penerapannya politik tidak boleh terpisah dengan Islam. Praktik politik tanpa Islam akan menimbul kerusakan dan ketidakadilan. Sementara, Islam tanpa aktivitas politik akan menyebabkan kondisi umat lemah dan terdzalimi.
Para ulama sudah membahas tentang pentingnya agama dan kekuasaan itu bersatu. Dalam kitab Majmû’ al-Fatâwâ, (28/394), Ibnu Taimiyah menyatakan, “Jika kekuasaan terpisah dari agama atau jika agama terpisah dari kekuasaan, niscaya perkataan manusia akan rusak.”
Dalam Islam, menjadi penguasa itu memiliki tujuan mulia, yakni sebagai amal saleh untuk mengurus umat dengan penerapan Islam dan menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia. Allah Swt. telah memerintahkan para pemimpin untuk berhukum dengan syariat-Nya dan menunaikan amanah.
Imam Ath-Thabari, dalam Tafsîr Ath-Thabarî, menukil perkataan Ali bin Abi Thalib ra., “Kewajiban imam/penguasa adalah berhukum dengan hukum yang telah Allah turunkan dan menunaikan amanah. Jika ia telah melaksanakan hal itu maka orang-orang wajib mendengarkan dan mentaati dia, juga memenuhi seruannya jika mereka diseru.”
Mayoritas bagian dari organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam di Indonesia menilai bahwa agama dan politik adalah satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan.
Hal tersebut terekam dalam hasil survei lembaga riset Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA yang bertajuk Ormas Islam, Partai Islam, dan Pilihan Capres edisi Agustus 2023.
Survei ini menemukan bahwa responden mengaku sebagai bagian dari ormas Islam, yakni Nahdlatul Ulama (NU) sebanyak 56,9% dan Muhammadiyah 5,7%.
Terdapat pula 3% responden yang mengaku bergabung dengan ormas Islam lainnya, sedangkan 33,8% responden menyatakan tidak merasa bagian dari ormas Islam apa pun.
Mayoritas atau 54% responden NU menganggap agama dan politik adalah hal yang tak terpisahkan, sementara 39,4% lainnya justru menyatakan agama harus terpisah dari politik.
Begitupun anggota ormas Muhammadiyah, sebanyak 67,5% menyatakan agama dan politik adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sementara hanya 27,5% yang merasa agama harus dipisahkan dari politik.
“Mayoritas semua umat Islam menyatakan agama dan politik adalah satu kesatuan, tidak bisa dipisahkan,” kata peneliti LSI Denny JA, Ade Mulyana pada konferensi pers virtual, Selasa (19/9/2023).
Islam Jadi Tertuduh
Pernyataan Menteri Agama RI menyiratkan pandangan kalau agama Islam itu adalah sesuatu yang negatif, bahkan menjadi musuh bersama, jika menyatu dengan politik dan pemerintahan.
Bukan kali ini saja pejabat atau tokoh masyarakat, bahkan tokoh Islam, menolak muatan agama, khususnya Islam, dalam kancah politik. Seruan ‘tolak politisasi agama’ sering disampaikan kepada umat, terutama jelang Pilkada atau Pemilu.
Pernyataan Menteri Agama soal Islam rahmat lil alamin juga keliru. Seolah jika kaum Muslim menegakkan akidah dan syariah Islam akan mengancam umat lain.
Ucapan ini berbahaya dan menyudutkan ajaran Islam. Komentar ini bertentangan dengan makna yang dikandung dalam ayat tersebut, juga bertentangan dengan hukum-hukum Islam serta realita sejarah dan fakta kekinian.
Pertama, banyak ulama tafsir mu’tabar yang memaknai rahmatan lil ‘alamin itu tidak semata untuk kaum Muslim.
وَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا رَحۡمَة لِّلۡعَٰلَمِينَ
Tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (TQS al-Anbiya’ [21]: 107).
Profesor Doktor Wahbah Az-Zuhayli dalam at-Tafsîr al-Munîr menjelaskan makna ayat ini: “Tidaklah Kami mengutus engkau, wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat untuk semesta alam, manusia dan jin…” (at-Tafsîr al-Munîr, 17/142).
Islam menjadi rahmat untuk semesta alam karena memang risalah Islam, yakni akidah dan syariahnya, menjamin datangnya rahmat bagi semua makhluk. Syaikh An-Nawawi al-Bantani (w. 1316 H) dalam tafsirnya, Marâh Labîd, menguraikan:
”Tidaklah Kami mengutus engkau, wahai sebaik-baiknya makhluk, dengan membawa ajaran-ajaran syariah-Nya, kecuali sebagai rahmat bagi semesta alam, yakni untuk menjadi rahmat Kami bagi alam semesta seluruhnya, bagi agama ini dan kehidupan dunia.” (An-Nawawi, Marâh Labîd, 2/63).
Kedua, Ajaran Islam juga memberikan perlindungan dan perlakuan adil kepada semua manusia, baik Muslim maupun kafir. Di dalam Islam harta, kehormatan dan jiwa orang-orang kafir akan dilindungi sesuai syariah Islam sebagaimana harta kaum Muslim.
Mereka adalah ahludz dzimmah atau orang kafir yang terikat perjanjian dengan Negara (mu’âhid) atau yang dijamin keamanannya oleh Negara (musta’min). Abdullah bin Umar ra. meriwayatkan bahwa Nabi saw. pernah menjatuhkan hukuman qishâsh atas seorang Muslim karena membunuh seorang kafir mu’âhid. Kemudian beliau bersabda:
أَنَا أَكْرَمُ مَنْ وَفَى بِذِمَّتِهِ
Aku memuliakan orang yang menepati dzimmah (perjanjian)-nya (HR ad-Daruquthni).
Ketiga, Dalam sejarah kekuasaan Islam sejak zaman Nabi saw., Khulafaur Rasyidin dan para pemimpin berikutnya, orang-orang kafir selalu mendapatkan perlindungan dari kaum Muslim. Spanyol pada masa kekuasaan Islam dikenal sebagai negara dengan tiga agama; Islam, Yahudi dan Nasrani.
Mestinya yang pantas dicap mempolitisasi agama adalah mereka yang berkamuflase menjelang Pemilu seolah islami; bersorban, berkerudung, sowan kepada para ulama, difoto sedang salat, buka puasa, dsb. Padahal keseharian mereka belum tentu demikian. Semua dilakukan sebagai pencitraan agar dipilih oleh kaum Muslim.
Wallahu a’lam bissawab
Penulis
Sriwidarti, S.Pd
(Guru SMA)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.