OPINI—Pada pelantikan Presiden dan Wakil Presiden 20 Oktober 2024 lalu, salah satu point penting yang dibahas Prabowo Subianto saat menyampaikan pidato pertamanya yaitu swasembada pangan. Presiden Prabowo menginginkan agar Indonesia tidak lagi bergantung pada negara luar dalam urusan makanan.
Beliau meyakini Indonesia kedepannya akan bisa swasembada pangan paling lambat 4 sampai 5 tahun dan diharapkan akan siap menjadi lumbung pangan dunia. Hal ini diwujudkan dalam program cetak sawah atau lumbung pangan (food estate).
Dalam RAPBN 2025, pemerintah menganggarkan Rp124,4 triliun untuk program ketahanan pangan. Diantaranya untuk mendirikan lumbung padi seluas 430 hektare dan jagung 250 hektare. Mampukah food estate mewujudkan kesejahteraan?
Gagal dan menimbulkan konflik lahan dan kerusakan lingkungan
Proyek lumbung pangan (food estate) yang digadang-gadang pemerintah akan jadi jaminan ketahanan pangan RI dinilai gagal dalam mewujudkan ketahanan pangan. Banyak pengamat mengatakan proyek ini harus dihentikan.
Alih-alih mewujudkan ketahanan pangan dan kesejahteraan, yang ada justru proyek ini sering sekali merugikan para petani dan mendzalimi rakyat setempat.
Food Estate di Indonesia dimulai sejak masa pemerintahan Soeharto, Susilo Bambang Yudoyono, hingga Jokowi kemudian akan dilanjutkan oleh Prabowo. rekam jejak proyek tersebut penuh dengan berbagai persoalan, mulai dari konflik lahan hingga kerusakan lingkungan.
Sebagai informasi, food estate di masa pemerintahan jokowi di Kalimantan Tengah misalnya, setelah 3 tahun berjalan ribuan hektare lahan ditemukan terbengkalai sebab padi sulit tumbuh disana.
Setelah beberapa kali gagal panen para petani mengaku sudah menyerah menanam padi di lahan mereka. Sebagian lahan beralih menjadi perkebunan sawit swasta asing. Menurut laporan pantau gambut hanya 1 % saja lahan yang cocok untuk ditanami padi.
Selain gagal, proyek tersebut mengakibatkan konflik lahan dan kerusakan lingkungan. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai food estate adalah akar masalah yang memperburuk konflik agraria di negeri ini.
Lihat saja, food estate di Kalimantan Tengah, Sumatera Utara dan Merauke hingga hari ini konflik agrarianya belum selesai. Rakyat sebagai pemilik lahan tiba-tiba diklaim lahan tersebut milik pemerintah, konflik antara rakyat dan pemerintah pun tak bisa dihindari.
Ujung-ujungnya yang jadi korban rakyat, kehilangan lahan bahkan nyawa demi mempertahankan lahan mereka. Hilangnya lahan menjadikan mereka kehilangan mata pencahariannya. Inilah yang menyebabkan angka pengangguran tinggi, kemiskinan, dan kriminalitas merajalela.
Selain itu, food estate juga memperparah kerusakan lingkungan sebab sebagian besar pengadaan tanahnya berasal dari pembukaan hutan dan penebangan kayu secara masif. penebangan pohon/pembabatan hutan yang sifatnya ugal-ugalan tanpa memperhatikan aspek konservasi, akan mengganggu ekosistem yang berujung pada bencana seperti banjir, tanah longsor, dan kekeringan.
Bukan untuk Rakyat
Bersikukuhnya pemerintah melanjutkan proyek food estate yang nyata tidak memberikan manfaat kepada masyarakat sejatinya menjadi bukti bahwa proyek tersebut bukan untuk rakyat melainkan untuk kepentingan elit oligarki (korporasi).
Tujuan pembangunan bukan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat tetapi menguntungkan segelintir korporasi kapitalis. Bukan rahasia lagi jika dibalik proyek tersebut ada sederet korporasi yang siap mengambil keuntungan.
Contohnya, proyek indonesia-cina dalam pengembangan lahan sawah di Kalimantan Tengah yang luasnya mencapai 1 juta hektar. Cina sendiri berjanji bersedia memberikan teknologinya untuk bisa mengembangkan produksi padi pada proyek tersebut.
Pemerintah pun sedang mencari pengusaha lokal untuk pelaksanaan teknisnya, padahal para petani sudah berulang kali menyampaikan tanahnya tidak cocok untuk ditanami padi.
Sayangnya, sistem politik demokrasi kapitalisme meniscayakan hal itu. Kebijakan dibuat bukan untuk kepentingan rakyat melainkan untuk kepentingan korporasi kapitalis. Maka wajar jika proyek ini memunculkan konflik antara pemerintah dengan rakyat.
Mirisnya, pemerintah justru berdiri membela korporasi dan mengkriminalisasi rakyat demi lancarnya proyek tersebut. Aparat diturunkan bukan untuk kepentingan rakyat tapi untuk melindungi proyek tersebut
Negara Sebagai Pihak Sentral
Islam memiliki paradigma dalam mewujudkan ketahanan pangan, yaitu dengan menjadikan negara sebagai pihak sentral dalam pengurusan seluruh rakyatnya. Islam mewajibkan negara dalam hal ini penguasa (khalifah) bertanggung jawab agar setiap individu rakyat tercukupi kebutuhan dasarnya secara layak begitu juga dengan kebutuhan publik
Sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW ketika mendirikan negara Islam pertama di Madina. Rasulullah SAW sebagai kepala negara mengatur agar semua rakyatnya terpenuhi kebutuhan dasarnya (sandang, pangan, papan). Begitu juga kebutuhan publik (pendidikan, kesehatan, keamanan). Negara sangat memperhatikan produksi hingga distribusi pangan.
Pada aspek produksi, negara menyediakan saprotan berkualitas dengan harga yang terjangkau, pembangunan infrastruktur untuk menunjang produktivitas pertanian seperti irigasi, jalan, tempat penyimpanan dan fasilitas pascapanen. Negara juga akan memberikan perhatian terhadap skill petani agar bisa menyesuaikan diri terhadap teknologi baru.
Pada aspek distribusi, ada dua mekanismenya yaitu mekanisme ekonomi dan nonekonomi. Pada mekanisme ekonomi, negara akan memastikan harga pangan itu stabil dan bisa dijangkau oleh masyarakat. Caranya dengan mengawasi pasar agar tidak terdapat kecurangan seperti penimbunan dan penipuan.
Untuk mekanisme nonekonomi, para laki-laki (kepala keluarga) yang tidak mampu lagi karena sakit atau cacat sehingga tidak memungkin dirinya mencari nafkah (bekerja) secara optimal, maka negara akan memberikan santunan kepada mereka untuk memenuhi seluruh kebutuhannya termasuk pangan. Dalam hal ini para pegawai akan bersikap amanah sehingga pembagian santunan akan tepat sasaran.
Dalam hal mewujudkan ketahanan pangan, negara (khilafah) memiliki kebijakan antara lain sebagai berikut :
1. Negara menjamin ketersediaan lahan pertanian, menerapkan hukum pertanahan Islam agar tidak ada tanah yang menganggur yaitu dengan kepemilikan tanah sejalan pengelolaannya. Tanah juga akan diberikan kepada orang yang mampu untuk mengelola tanah itu mengikuti hukum ihya’ al-mawat (menghidupkan tanah mati) dan larangan menelantarkan tanah
Sabda Rasulullah SAW “Barangsiapa menghidupkan sebidang tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya, orang yang mengalirkan air dengan zalim tidak ada hak baginya (HR. Abu daud, An-Nasai, dan Tirmidzi).
Juga hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dimana berkata Rasulullah SAW “Barangsiapa yang memiliki sebidang tanah hendaknya ia menanaminya, atau memberikannya kepada saudaranya. Apabila menelantarkannya maka hendaknya tanah itu diambil darinya
2. Kebijakan industri, negara harus berbasis industri berat. Maka dari itu, politik industri harus mengarah kepada kemandirian alat-alat produksi dan tidak bergantung pada swasta (asing).
3. Kebijakan anggaran berbasis syariah, pemasukan dan pengeluaran harus sesuai dengan mekanisme baitulmal.
4. Pembangunan harus memperhatikan berbagai aspek termasuk kelestarian lingkungan dan kestabilan kehidupan sosial agar tidak terjadi perampasan ruang hidup masyarakat.
Negara juga harus memperhatikan pelaksanaan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) dalam pembangunan infrastruktur sehingga tidak berujung pada kerusakan lingkungan dan bencana alam
Demikianlah mekanisme Islam dalam mewujudkan ketahanan pangan dan kesejahteraan para petani dan rakyat secara luas. (*)
Penulis: Asriani, ST (Aktivis Muslimah)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.