OPINI—Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (Pemprov Sulsel) berencana melakukan reklamasi di kawasan Untia, Makassar, seluas 1.440 hektar. Dari jumlah tersebut, akan ada zona permukiman sekitar 548 hektar atau 40 persen, zona pendidikan dan kesehatan sekitar 137 hektar atau 10 persen, zona perkantoran sekitar 137 hektar, zona komersial sekitar 205,5 hektar atau 15 persen, dan kawasan lainnya, serta memastikan rencana reklamasi di pesisir Untia, Kota Makassar, tidak mengganggu aktivitas nelayan termasuk ekosistem laut. Pemprov Sulsel menegaskan rencana reklamasi itu sudah mempertimbangkan aspek sosial masyarakat. (Kompas.id/01/10/2025)
Pro Kontra Reklamasi
Ahmad Yusran, Ketua Forum Komunitas Hijau, menilai proyek reklamasi Untia menyimpan paradoks besar antara pembangunan dan keberlanjutan.
“Reklamasi selalu dijual dengan narasi pertumbuhan ekonomi. Tetapi siapa yang benar-benar diuntungkan? Nelayan dan kelompok tani mangrove kehilangan ruang hidup, ekosistem mangrove makin terhimpit, sementara investor menikmati lonjakan nilai lahan. Itu bukan pembangunan berkeadilan,” tegas Yusran. (harian fajar.co.id/2/10/2025)
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulsel, M. Ilyas, menegaskan model reklamasi Untia juga berbeda dari proyek sebelumnya. Pulau-pulau buatan akan dibangun terpisah 300–400 meter dari garis pantai, bukan menyatu dengan daratan.
Menurutnya, langkah ini dapat mengurangi dampak ekologis.Ia menambahkan, proses perencanaan tengah menyiapkan dokumen pendukung seperti studi kelayakan, master plan, hingga Amdal dengan melibatkan akademisi dan masyarakat.
Menambah Derita Rakyat
Masyarakat di Kelurahan Untia, Kecamatan Biringkanaya, Kota Makassar, hidup di wilayah pesisir yang dipengaruhi oleh laut dan hutan mangrove. Sebagian besar penduduknya adalah nelayan yang direlokasi dari Pulau Lae-Lae pada tahun 1998, sehingga kehidupan sosial dan ekonominya sangat bergantung pada ekosistem pesisir.
Massifnya pembangunan infrastruktur, terlebih yang berlabel Proyek Strategis Nasional (PSN) seyogianya mampu menggerakkan perekonomian masyarakat. Kondisi tersebut sebagaimana yang diklaim pemerintah dalam berbagai PSN di Indonesia. Klaim kesejahteraan pun menjadi dalih dalam pembebasan dan penggusuran lahan. Sayangnya, tak jarang pembangunan berujung nestapa akibat kompensasi yang tidak manusiawi.
Belajar dari Reklamasi CPI, Pulau Lea Lea dan MNP. Dari semua aktivitas Reklamasi tersebut, pihak yang paling dirugikan adalah rakyat. Pembangunan didahului oleh aktivitas reklamasi yang sangat merugikan, seperti dampak kerusakan lingkungan, yakni rusaknya fungsi ekologis laut, serta hilangnya mata pencaharian nelayan.
Bencana Pembangunan Dalam Sistem Kapitalisme Sekuler
Pembangunan dengan skema investasi ala kapitalisme memang bukan demi rakyat. Pembangunan kawasan industri dalam sistem ini hanya salah satu wujud pemberian fasilitas mewah kepada korporasi. Narasi pembangunan untuk kesejahteraan rakyat hanya retorika belaka. Persekutuan antara penguasa dan pengusaha demi keuntungan mereka sendiri menjadi niscaya dalam negara penganut korporatokrasi.
Kebijakan PSN dan KEK menunjukkan bahwa negara tunduk pada kepentingan para oligarki. Sementara itu, posisi rakyat menjadi pihak pertama yang menerima imbas negatif dari berbagai proyek yang ada. Wajar saja sebab sekularisme dijadikan landasan dalam mengatur segalanya dan tidak melibatkan agama (Islam) dalam mengambil keputusan.
Dalam sistem sekuler kapitalisme tugas penguasa hanya membuat regulasi. Penguasa sekadar regulator yang mengeluarkan kebijakan untuk mengatur rakyat dan korporasi. Selama mendatangkan keuntungan materi, apa pun akan dijalani.
Jika pola industrialisasi ala kapitalisme ini masih berlanjut, dampaknya bukan hanya banjir rob, tetapi nelayan kehilangan lautnya, petani kehilangan lahan pertaniannya, dan kerusakan ekosistem di muka bumi yang dibuat tangan manusia sendiri. Ekosida adalah wujud nyata krisis peradaban kapitalisme di bawah akidah sekularisme.
Islam Menjaga Alam Demi Kemaslahatan Umat
Dalam pandangan Islam, danau, kawasan pesisir, dan laut merupakan harta milik umum seluruh rakyat secara berserikat. Harta milik umum itu dalam ketentuan syariah tidak boleh dikuasai atau dikuasakan kepada individu, kelompok individu atau korporasi.
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ
“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Penetapan kebijakan untuk mengatur regulasi kekayaan milik umum dalam Daulah Islam, Pertama, negara akan mengelola kekayaan alam yang menjadi kepemilikan umum untuk kemaslahatan umat. Inilah tindakan preventif agar tidak terjadi eksploitasi lingkungan yang berdampak pada kerusakan.
Kedua, negara akan mendudukkan fungsi ekologis dan hidrologis hutan, sungai, dan danau sesuai ketentuan syariat. Negara akan mengedukasi masyarakat agar menjaga lingkungan. Ketiga, negara akan membuat Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang memperhatikan kelestarian lingkungan.
Keempat, memperketat izin pembangunan dan alih fungsi lahan. Jika alih fungsi lahan terpaksa dilakukan, harus dilakukan secara tepat guna dan tepat sasaran, bukan semata demi kepentingan para pemilik modal. Kelima, pengawasan terhadap izin dan operasional industri-industri swasta. Negara harus tegas memberi sanksi, bahkan menutup industri swasta yang merusak lingkungan.
Keenam, negara akan mendorong penelitian, teknologi, dan pembangunan yang ramah lingkungan. Negara akan mendukung penuh dengan dana dan memberdayakan para pakar di bidangnya sehingga lahir kemajuan sains dan teknologi ramah lingkungan yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia.
Ketujuh, Daulah Islam akan memberikan sanksi tegas bagi siapa pun yang melakukan perusakan lingkungan. Dalam Islam, kejahatan ini termasuk kategori jarimah takzir, jenis hukumannya diserahkan kepada penguasa atau kadi.
Hukumannya dapat berupa jilid (dera), penjara, pengasingan, denda, penyitaan/perampasan harta, dan penghancuran barang sesuai dengan kadar dari seberapa besar dampak dan kerusakan yang telah dilakukan oleh pelaku perusakan lingkungan.
Demikianlah, hanya sistem Islam yang peduli akan kelestarian lingkungan, tidak hanya mendukung kemajuan atau pembangunan, tetapi juga mendorong penjagaan lingkungan. (*)
Wallahua’lambishowab
Penulis: Muthmainnah, SKM
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.












