Advertisement - Scroll ke atas
Opini

Siswa Keracunan MBG: Ketika Nyawa Hanya Sekedar Angka

1055
×

Siswa Keracunan MBG: Ketika Nyawa Hanya Sekedar Angka

Sebarkan artikel ini
Vindy W. Maramis, S.S
Vindy W. Maramis, S.S. (Penulis)

OPINI—Setidaknya jumlah siswa yang mengalami keracunan usai mengonsumsi makanan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Bogor bertambah menjadi 223 siswa per 13 Mei 2025 lalu. Keracunan masal ini bahkan dilaporkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) oleh pemerintah setempat.

Keracunan usai mengonsumsi makanan dari program MBG ini bukan kali pertama terjadi, sebelumnya sudah banyak laporan serupa. Program MBG yang digadang-gadang pemerintah sebagai program unggulan yang akan memperbaiki kualitas kesehatan anak-anak justru kini menjadi momok yang mengkhawatirkan.

Advertisement
Scroll untuk melanjutkan

Namun, Presiden RI, Prabowo Subianto justru menanggapi kasus keracunan ini dengan santai. Ia mengatakan bahwa kasus keracunan hanya sekitar 200-an kasus, dibading dengan tingkat keberhasilannya, program ini justru terbilang sukses.

Pernyataan Prabowo ini tentu menuai gelombang kritik dari berbagai pihak, terutama masyarakat. Masyarakat menilai bahwa Prabowo menganggap remeh kasus keracunan ini, serta menganggap nyawa siswa hanya sekedar angka saja. Presiden dinilai denial akan angka keracunan dari program unggulannya itu.

Sejak awal program MBG ini sudah bermasalah. Banyak pihak menilai program ini akan banyak menguras anggaran negara, kemungkinan menjadi lahan bancakan korupsi hingga distribusi yang sulit dikontrol.

Padahal persoalan utama dari kesehatan gizi anak-anak ada pada ketersediaan lapangan kerja yang layak bagi orang tuanya, serta monitoring terhadap peredaran makanan di pasar.

Faktanya, dalam sistem kapitalisme yang diadopsi pemerintah Indonesia, sumber daya alam banyak dikuasai oleh korporasi asing dan swasta, sehingga lapangan pekerjaan banyak diisi oleh orang-orang yang memiliki koneksi tertentu saja, juga pasar bebas yang membiarkan produk-produk makanan berbahaya beredar luas tanpa kontrol.

Pemerintah yang gagal menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat, serta leluasanya para kapitalis membangun jaringan pasar yang bebas adalah masalah urgen yang sebenarnya.

Islam memandang persoalan pemenuhan gizi masyarakat sebagai kebutuhan yang mendasar setali dengan pemenuhan kebutuhan pangan itu sendiri. Bila merujuk pada apa yang diperintahkan Allah dalam dalil-dalil Al-Qur’an serta hadist Rasulullah, maka sejatinya manusia haruslah mengonsumsi makanan yang halal dan baik. Ketersediaan makanan yang halal dan baik inilah yang merupakan tanggung jawab negara untuk memenuhinya.

Oleh sebab itu, hukum syarak di dalam Islam memerlukan kekuasaan atau sistem agar pelaksaannya dapat direalisasi dalam kehidupan manusia secara menyeluruh.

Prinsip Islam sendiri, negara harus mengawasi keamanan pangan di tengah-tengah masyarakat melalui hakim hisbah. Hakim ini yang akan memonitoring pasar. Disisi lain, pemerintah wajib untuk mengambil alih pengelolaan sumber daya alam secara mandiri, bukan diserahkan pada korporasi asing dan swasta, sehingga pemerintah mampu menyediakan lapangan kerja yang luas bagi masyarakat.

Penyelesaian dua hal ini dalam Islam secara ringkas sudah mampu untuk menjaga gizi masyarakat terpenuhi dan terjaga. Para kepala keluarga (laki-laki) memiliki pekerjaan yang layak untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, lalu anak-anak terpenuhi gizinya dari dalam rumah, sehingga bisa maksimal dalam belajar dan beraktivitas di sekolah.

Ini merupakan solusi yang praktis dan efisien, apalagi bila hukum-hukum Islam secara keseluruhan diadopsi dan diaplikasikan dalam sebuah sistem kehidupan manusia. Allahua’lam. (*)

 

Penulis: Vindy W. Maramis, S.S

 

***

 

Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.

error: Content is protected !!