Advertisement - Scroll ke atas
Opini

Islam Menjawab Isu Kesehatan Mental Gen Z Akibat Kesenjangan Keluarga

681
×

Islam Menjawab Isu Kesehatan Mental Gen Z Akibat Kesenjangan Keluarga

Sebarkan artikel ini
Desy Safitri (Aktivis Muslimah)
Desy Safitri (Aktivis Muslimah)

OPINI—Media sosial kini ramai dengan seruan dukungan bagi mereka yang disebut fatherless—anak-anak yang tumbuh tanpa figur ayah. Beragam unggahan dan komentar menunjukkan empati terhadap kondisi tersebut.

Wajar, sebab sosok ayah dikenal sebagai pelindung, penyayang, pemaaf, dan pekerja keras bagi keluarga. Sulit membayangkan bagaimana anak-anak itu menjalani hidup tanpa kehadiran seorang ayah.

Advertisement
Scroll untuk melanjutkan

Psikolog di Toraja, Sulawesi Selatan, Iindarda S. Panggalo, menyebutkan bahwa anak yang tumbuh tanpa figur ayah cenderung mengalami masalah kepercayaan diri, bahkan tak sedikit di antara mereka menjadi korban kekerasan (Kompas.id, 10 Oktober 2025).

Fenomena fatherless tidak selalu berarti ketiadaan fisik ayah. Banyak anak masih tinggal serumah dengan ayahnya, namun merasa kehilangan figur tersebut karena sang ayah terlalu sibuk bekerja dan kurang berinteraksi dengan keluarga. Mereka tumbuh dalam keheningan emosional, merasa hampa karena minimnya kedekatan batin dengan orang tua laki-lakinya.

Survei lain juga mengungkap bahwa banyak ayah bekerja lebih dari 60 jam per pekan, membuat waktu bersama anak menjadi sangat terbatas. Sebagian anak bahkan benar-benar kehilangan ayah akibat perceraian atau kematian (Tagar.co, 8 Oktober 2025).

Budaya patriarki yang masih kental memperkuat pandangan bahwa tugas ayah hanya sebatas pencari nafkah. Akibatnya, peran pengasuhan lebih banyak dibebankan kepada ibu. Padahal, anak juga sangat membutuhkan sentuhan emosional dan teladan dari ayah.

Sebagai gambaran, data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menunjukkan jumlah pencari kerja laki-laki di Nusa Tenggara Barat (NTB) mencapai 28.855 orang, namun hanya 1.208 di antaranya yang terserap. Artinya, sebanyak 27.647 laki-laki tidak terserap di wilayah tersebut. NTB menjadi provinsi dengan tingkat pengangguran laki-laki tertinggi ketiga di Indonesia, setelah Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Selain faktor ekonomi, konflik rumah tangga turut menjadi penyebab fatherless. Hasil survei kualitatif terhadap 16 psikolog klinis menunjukkan bahwa perceraian menjadi pemicu utama anak kehilangan figur ayah. Disusul faktor ayah bekerja jauh dari rumah, kekerasan dalam rumah tangga, serta minimnya kedekatan emosional antara ayah dan anak. Kondisi ini menimbulkan perasaan sedih, kecewa, dan kesepian mendalam pada anak-anak.

Sayangnya, hingga kini negara belum menunjukkan solusi nyata. Sistem kapitalis-sekuler yang diterapkan membuat kebahagiaan diukur dari uang dan materi semata. Negara tampak abai terhadap kesehatan mental generasi muda dan kesejahteraan keluarga.

Di berbagai sudut jalan, kita melihat para ayah bekerja keras sejak subuh hingga larut malam, mendorong gerobak, berjualan, atau menjadi buruh kasar. Mereka menanggung beban berat demi memenuhi kebutuhan keluarga, namun sering kehilangan waktu berharga bersama anak-anaknya.

Kondisi ini menggambarkan lemahnya peran negara dalam meriayah (mengurus) rakyatnya. Pemerintah lebih sibuk menjamin kenyamanan kelompok elite ketimbang memastikan kesejahteraan masyarakat. Mereka baru akan bertindak jika ada keuntungan politik atau materi yang bisa diraih.

Inilah dampak dari sistem yang menjadikan kapitalisme-sekularisme sebagai dasar berpikir. Segala kebijakan diukur dari manfaat pribadi, bukan dari nilai moral dan syariat. Aqidah yang lahir dari sistem ini menyingkirkan peran agama dalam kehidupan publik.

Oleh karena itu, sistem seperti ini harus diganti dengan sistem yang benar, yakni sistem Islam. Islam bukan sekadar agama, tetapi juga ideologi yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Islam memandang manusia sesuai fitrahnya, dan seluruh aturan dijalankan semata-mata untuk meraih ridha Allah, bukan demi kekuasaan atau materi.

Dalam sistem Islam, negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan, menjamin kesejahteraan, serta melindungi keluarga dan anak-anak dari berbagai krisis sosial. Islam menempatkan peran ayah sebagai sosok penting yang tidak hanya bertanggung jawab secara finansial, tetapi juga menjadi figur inspiratif dan teladan bagi anak-anaknya.

Negara dalam sistem Islam juga berkewajiban memberikan pendidikan gratis dan berkualitas, layanan kesehatan fisik dan psikis tanpa biaya, serta menjamin kehidupan layak bagi anak-anak yang kehilangan ayah. Semua itu menjadi tanggung jawab negara, bukan dibebankan kepada individu.

Aturan Islam hanya dapat terwujud di bawah naungan Khilafah Daulah Islamiyah, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an.

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
(QS. Ali Imran: 104)

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”
(QS. Al-Baqarah: 30)

Khilafah adalah sistem yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW di Madinah, yang menegakkan Islam secara menyeluruh berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah. (*)

Wallahu a’lam bish-shawab.

 

Penulis: Desy Safitri (Aktivis Muslimah)

 

 

***

 

 

 

Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.

error: Content is protected !!