MEDIASULSEL.COM—Sa’dan To’barana merupakan salah satu kawasan di Kabupaten Toraja Utara yang sebagian besar warganya aktif bertenun. Di era yang sudah modern dan serba instan, mereka masih menggunakan alat tradisional dan pewarnaan alami dalam membuat kain tenun.
Keunikan tersebut membuat tempat ini populer dan berbagai informasi tentangnya dapat dengan mudah dicari di internet. Namun, saat berkunjung hanya ada toko-toko yang sepi tanpa penenun dan pengunjung.
Setelah beberapa saat melewati gapura dengan tulisan Tongkonan Puang Ponglabba To’barana’ Sa’dan, mobil yang membawa mahasiswa jurnalistik dari Universitas Hasanuddin pada Jum’at, 12 Mei 2023 berhenti di depan sebuah toko. Ukurannya tidak terlalu besar.
Namun, ruang di dalamnya tampak lenggang. Kain tenun dengan berbagai warna tertata rapi di depan dinding toko yang terbuat dari kayu.
Tidak jauh dari kain-kain tersebut terdapat alat tenun tradisional berukuran besar yang masih digunakan untuk membuat kain tenun hingga saat ini. Sedangkan, di bagian tengah toko tergantung beberapa produk yang terbuat dari kain tenun seperti baju dan tas.
Toko ini merupakan toko pertama yang kami jumpai saat tiba di Sa’dan To’barana. Tidak jauh dari toko tersebut terdapat beberapa toko lain berbaris sejajar. Tiap-tiapnya kurang lebih menampilkan hal yang sama.
Saya memang tidak berharap pusat tenun ini akan ramai seperti pasar sore. Namun, tidak pernah terbayang bahwa pengunjung akan diselimuti rasa sepi seperti ini. Toko-toko memang terbuka. Akan tetapi, para penenun tidak diketahui keberadaannya. Saat menyusuri jalan tersebut juga tidak tampak pembeli barang satu orang pun.
Saat sedang mengira-ngira di mana para penenun, seorang wanita dengan rambut yang sudah bewarna putih seolah memanggil untuk duduk di teras rumahnya. Di sampingnya terdapat banyak tumpukan kain tenun dengan beraneka ragam warna.
Ia adalah Mama Ratte’. Melihat wajah saya yang penasaran, ia mulai menjelaskan macam-macam dari kain tenun tersebut. Beberapa di antaranya adalah pa’miring, pa’bintik, dan pa’ruki.
Sambil membentangkan kain tenun berwarna merah, ia menjelaskan bahwa para pemula dalam bertenun akan mulai belajar dari motif paling mudah yaitu pa’miring yang dapat dikerjakan dalam waktu satu minggu, hingga pa’bintik yang membutuhkan waktu dua minggu.
Saat sudah menguasai keduanya, barulah diajarkan motif paling susah yaitu pa’ruki yang membutuhkan waktu satu bulan.
Ketika sedang berbincang dengan Mama Ratte’, tampak seorang penenun yang lebih muda datang dan langsung masuk ke toko miliknya. Penenun yang baru tiba tersebut langsung diserbu oleh mahasiswa yang penasaran dengan kain tenun khas toraja.
Tidak ingin ketinggalan cerita menarik, saya yang sedang berbincang dengan Mama Ratte’ segera berpamitan dan berjalan menuju toko penenun yang baru datang.
Ketika mendekat, Mama Clara, penenun dengan rambut pendek sebahu itu sedang menunjukkan cara membuat kain tenun dengan alat tradisional.
Dipenuhi oleh semangat, para mahasiswa jurnalistik termasuk saya yang memang datang untuk meliput dalam rangka kuliah lapangan segera mengabadikan momen itu dalam suatu video sambil diselingi wawancara.
Akan tetapi karena banyaknya mahasiswa di dalam suatu ruangan yang tak begitu besar itu, pengambilan video menjadi tidak kondusif. Suara dari mahasiswa lain terus masuk ke dalam video mahasiswa lainnya.
Saat sedang gelisah karena hal itu, mata saya menangkap sosok wanita berbaju hitam dengan rambut yang disanggul rapi sedang berdiri menyaksikan dari luar toko.
Sebelum para mahasiswa lain sadar, dengan mata berbinar penuh semangat saya segera berdiri menghampiri wanita tersebut dan mengajaknya menepi ke toko lain.
Wanita yang ternyata akrab dipanggil dengan Ibu Minning itu pun segera menceritakan bermacam-macam tentang tenun toraja dan pusat pertenunan To’barana.
Sebagai pusat tenun, anak-anak yang tinggal di desa ini ternyata memang sudah diajarkan bertenun sejak masih bersekolah. Tenun yang telah dihasilkan oleh anak muda tersebut kemudian dipasarkan di Sa’dan.
Informasi yang sedikit melegakan karena kurangnya jumlah penenun saat para mahasiswa datang membuat saya bertanya-tanya tentang bagaimana kelanjutan kain tenun khas Toraja ke depannya.
Ibu Minning pun segera menjelaskan makna dari objek wisata Sa’dan To’barana sebagai pusat pertenunan. Meluruskan kesalahpahaman saya terkait tempat wisata ini.
“Sa’dan To’barana ini sentral tenun. Jadi bukan bahwa banyak penenun di sini, Ini sentra, tenun-tenun yang dikerjakan oleh keluarga di rumah-rumah dipusatkan di sini” jelasnya.
Ibu Minning kemudian juga membeberkan bahwa anak-anak yang diajarkan bertenun tidak hanya perempuan, melainkan juga laki-laki.
Mereka bertenun dalam waktu senggang. Saat sedang tidak ada kerjaan, sepulang dari sawah atau dari sekolah. Produk yang dihasilkan pun bermacam-macam. Ada yang menenun selendang dan sebagainya.
Tidak hanya anak-anak, mereka yang sudah bekerja pun sesekali juga meluangkan waktu untuk bertenun. “Ada sampai yang udah kerja. Namanya juga penghasilan tambahan ya, UMKM. Jadi mereka dari dasar dasarnya udah mulai mandiri,” tutur Ibu Minning.
Untung yang didapat dari menenun ini memang lumayan. Kain yang tidak mudah mengkerut dan bebas luntur tersebut dijual mulai dengan harga 50 ribu hingga jutaan rupiah.
Sehingga, tidak ada salahnya saat tumbuh dewasa dan mendapatkan pekerjaan, bertenun tetap dijadikan pekerjaan sampingan untuk mendapatkan penghasilan tambahan. (*/cr)
Citizen Report: Andi Rosnaeni
Mahasiswi jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin