OPINI—Baru-baru ini, kasus penganiyaan yang dilakukan oleh anak dibawah umur kembali terjadi. Polisi mengklaim tersangka dalam kasus pencabulan siswi sekolah dasar (SD) berusia 13 tahun di Baubau, Buton, Sulawesi Tenggara (Sultra) yang dilakukan 26 orang rata-rata anak di bawah umur alias masih berstatus pelajar.
Kapolres Baubau, AKBP Bungin Masokan Misalayuk juga masih belum mau mengungkapkan identitas para tersangka karena mayoritas anak di bawah umur.
“Kita sudah ada penetapan tersangka cuman kita belum mau ekspos dulu, masih menunggu pengembangan terhadap tersangka yang lain itu. Ini juga kami lakukan hati-hati, karena rata-rata tersangka anak di bawah umur,” jelasnya kepada CNNIndonesia (23/6/2024)
Bungin mengungkapkan korban dicabuli oleh 26 orang pria dilakukan sebanyak tujuh kali sejak April dan baru dilaporkan pada bulan Mei 2024.
“Intinya kejadian berulang yang dilakukan oleh orang-orang yang berbeda-beda. Jadi tujuh kali itu pengakuan dia. Korban sudah diperiksa dan didampingi psikologi dan itu juga pendampingan karena anak dibawa umur,” kata Bungin, (CNNIndonesia, 23/6/2024).
Selain kasus di atas, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang membeberkan kronologi dugaan kasus penganiayaan AM (13) oleh oknum polisi hingga tewas di Kuranji, Sumatra Barat.
Direktur LBH Padang, Indira Suryani menyampaikan berdasarkan hasil investigasi yang telah dilakukan, AM sekitar 04.00 WIB tengah mengendarai sepeda motor dengan korban A di jembatan aliran Batang Kuranji Jalan By Pass KM 9 (Bisnis.com, 23/6/2024).
Sementara itu, A dan korban lainnya di interogasi dan diduga dianiaya oleh oknum kepolisian dengan ditendang di bagian muka, disetrum, hingga diperintahkan jongkok berguling sampai muntah.
Singkatnya, sejumlah korban hingga 10.00 WIB diperbolehkan pulang setelah membuat perjanjian. Setelahnya, warga sekitar telah menemukan mayat yang diduga AM telah mengambang di bawah jembatan aliran Batang Kuranji, Jalan By Pass KM 9, Pasar Ambacang, Kuranji, Kota Padang sekira pukul 11.55 WIB.
Dugaan penganiayaan dilakukan terhadap lima orang anak dan dua orang dewasa berumur 18 tahun. Penganiayaan itu, diduga berupa sundutan rokok, ditendang, dicambuk, hingga pemaksaan seksual.
Oleh sebab itu, LBH Padang mendesak agar Polresta Padang dan Polda. Sumbar memproses hukum oknum anggotanya yang diduga melakukan penganiayaan. (Bisnis.com, 23/6/2024).
Kasus kekerasan atau penganiayaan terhadap anak dari waktu ke waktu seakan tak ada habisnya, anak menjadi korban kekerasan di lingkungan masyarakat, sekolah, bahkan keluarga. Pelakunya bisa orang dewasa termasuk orangtua dan guru, teman sebaya, bahkan aparat.
Sungguh ngeri! Tidak ada lagi tempat aman bagi anak. Sosok yang semestinya menjadi pelindung mereka, bisa menjadi pelaku kekerasan/pencabulan.
Bukan hanya meninggalkan luka secara fisik, tetapi kasus pencabulan terhadap anak tentu menyisakan trauma yang mendalam bagi korban. Mental dan psikologisnya dirusak oleh para predator yang mengintai di mana pun dan kapan pun.
Penyebab
Mencermati kasus kekerasan/pencabulan yang banyak menimpa anak-anak, setidaknya inilah penyebab mengapa kasus ini berulang dari tahun ke tahun:
Pertama, kontrol diri yang lemah. Penerapan sistem kehidupan sekuler liberal memungkinkan keimanan seseorang gampang memudar. Ini karena agama (Islam) tidak menjadi pedoman kehidupan. Alhasil, para pelaku kejahatan tidak merasa takut dan terikat dengan beratnya hisab dan sanksi yang berat.
Kedua, teknologi ibarat pisau bermata dua, bisa untuk kejahatan dan kebaikan. Semisal maraknya kasus cyber crime, perundungan (bullying) online, prostitusi online hingga tontonan porno yang merangsang syahwat bejat pelaku.
Kehidupan serba bebas tiada batas menjadikan peran negara sebagai pengontrol dan penyaring informasi melemah dan tidak berdaya.
Ditambah, derasnya produksi film yang mengandung kekerasan, atau film-film beraroma liberal, seperti mengajarkan seks bebas serta menormalkan perilaku maksiat (pacaran, zina, dll.) yang kian menjamur, membuat negara seolah kalah dengan para pengusaha dan produsen film-film tersebut.
Ketiga, sistem sanksi yang tidak tegas. Indonesia sebenarnya sudah memiliki regulasi dan payung hukum dalam upaya melindungi anak dari kejahatan seksual.
Di antaranya UU No. 35 Tahun 2014 perubahan dari UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dalam pasal 76E UU No. 35 Tahun 2014 disebutkan bahwa “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau dibiarkan dilakukan perbuatan cabul.”
Hanya saja, kehadiran UU ini tampak tidak bergigi menghadapi pelaku pedofilia atau predator anak. Hukuman yang diberikan belum memberikan efek jera bagi pelaku. Sekalipun ada ancaman hukuman mati dan kebiri, hal itu belum cukup menyelesaikan kasus kejahatan terhadap anak. Pelaksanaan hukuman mati masih terkendala oleh pandangan HAM yang menyebut menghukum mati seseorang adalah bentuk pelanggaran hak hidup. Bahkan, saat ini hukuman mati sedang mengarah untuk dihapuskan.
Adapun hukuman kebiri, hal itu juga tidak bisa memberi solusi jangka panjang selama tindakan pencegahan tidak dilakukan. Mestinya, hal pertama yang harus dilakukan ialah upaya preventif agar kasus pencabulan, pedofilia, prostitusi anak, dan sejenisnya dapat dicegah dengan berbagai pintu dan langkah pencegahan.
Harus kita sadari bersama, berbagai kejahatan yang menyasar anak-anak tidak terlepas dari kehidupan sekuler yang tersistematis. Sekularisme menjadikan pola dan gaya hidup masyarakat merasa bebas mengatur hidupnya sendiri. Yang terjadi, negara justru memberi pelonggaran dan permakluman terhadap perilaku maksiat dengan dalih kebebasan. Oleh karenanya, jangan heran apabila kejahatan berupa pencabulan atau tindakan kekerasan terhadap anak makin beranak pinak dengan berbagai motif dan cara.
Langkah Strategis dan Ideologis
Dalam Islam, tindakan pencegahan dilakukan melalui penerapan sistem Islam secara kafah. Adapun tindakan penanganan bagi pelaku kejahatan dilakukan melalui sistem sanksi Islam. Inilah langkah yang mestinya dilakukan dalam mengatasi masalah kejahatan seksual terhadap anak:
Pertama, negara menerapkan sistem sosial dan pergaulan sesuai Islam. Di antara ketentuan Islam dalam menjaga pergaulan di lingkungan keluarga dan masyarakat ialah:
- kewajiban menutup aurat dan berhijab syar’i;
- larangan berzina, berkhalwat (berduaan dengan nonmahram), dan ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan);
- larangan eksploitasi perempuan dengan memamerkan keindahan dan kecantikan saat bekerja;
- larangan melakukan safar (perjalanan) lebih dari sehari semalam tanpa diserta mahram.
Kedua, memfungsikan lembaga media dan informasi dengan menyaring konten dan tayangan yang tidak mendukung bagi perkembangan generasi, seperti konten porno, film beraroma sekuler liberal, media yang menyeru kemaksiatan, dan perbuatan apa saja yang mengarah pada pelanggaran terhadap syariat Islam.
Ketiga, menegakkan sistem sanksi yang tegas dengan menghukum para pelaku berdasarkan kadar kejahatannya menurut pandangan syariat. Hukuman yang diberikan sesuai dengan ketentuan hukum Allah dan kebijakan penguasa selaku pemegang kewenangan melaksanakan hukum.
Keempat, menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Dengan sistem ini, kurikulum, media belajar, dan proses pembelajaran akan mengacu pada Islam.
Dengan begitu, anak-anak memiliki akidah yang kukuh, orang tua memiliki pemahaman agama yang baik, dan masyarakat terbiasa melakukan amar makruf nahi mungkar, saling menasihati dalam kebaikan, dan saling mengingatkan satu sama lain.
Dalam asuhan Islam, rasa peduli dan empati terhadap sesama manusia akan terbentuk. Sementara itu, dalam sistem sekuler, manusia dibentuk menjadi masyarakat individualis kapitalistik.
Kelima, melaksanakan sistem politik ekonomi Islam. Tidak jarang kita jumpai kejahatan terjadi karena keterpaksaan ekonomi. Oleh karenanya, negara akan memberikan jaminan kebutuhan pokok masyarakat, yaitu sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan dengan baik. Jaminan yang dimaksud ialah kemudahan dalam mencari nafkah serta pelayanan publik yang berbiaya murah atau gratis, dan amanah.
Adapun langkah ideologisnya ialah mengganti sistem sekuler dengan sistem Islam kafah. Tentu upaya ini harus dilakukan melalui edukasi pemikiran dan pemahaman yang terus menerus tentang Islam sebagai solusi kehidupan.
Dengan begitu, masyarakat memahami bahwa kebutuhan akan hadirnya sistem Islam merupakan hal penting dan genting untuk melindungi anak dan generasi dari predator seksual dan kejahatan lainnya. Jalan ini tentu tidak mudah. Perlu tekad kuat, sikap istikamah, dan sabar menjalani tahapan dakwah bersama jamaah yang konsisten memegang teguh risalah. Wallahu’alam bissawab. (*)
Penulis: Ummu Khadijah (Tenaga Pendidik)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.