MEDIASULSEL.COM—Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menolak keputusan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) yang mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap dirinya, mantan Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant, dan Panglima Militer Hamas Mohammed Deif.
Keputusan tersebut terkait dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan selama konflik Israel-Hamas yang berlangsung lebih dari 13 bulan.
Dalam pernyataan resmi ICC yang dirilis Kamis (21/11), Netanyahu dan Gallant dituduh melakukan kejahatan, termasuk kelaparan sebagai metode perang, penyiksaan, pemusnahan, serta pembunuhan.
Dugaan pelanggaran tersebut, menurut ICC, terjadi sejak 8 Oktober 2023 hingga Mei 2024, ketika permohonan surat perintah penangkapan diajukan oleh jaksa.
Netanyahu menolak tuduhan ini dan menyebut langkah ICC sebagai tindakan antisemitisme. Dalam pernyataan resminya, Netanyahu menyatakan bahwa “keputusan ini adalah pengadilan Dreyfus modern” yang dilakukan tanpa dasar hukum dan menegaskan bahwa Israel tidak akan mengakui yurisdiksi ICC.
Surat perintah ini menjadikan Netanyahu, Gallant, dan Deif sebagai tersangka yang dapat ditangkap di negara-negara anggota ICC. Meskipun demikian, pengadilan internasional ini tidak memiliki wewenang untuk menuntut secara langsung, kecuali negara-negara anggota melaksanakan perintah tersebut.
Amerika Serikat, yang bukan anggota ICC, menyatakan penolakannya terhadap keputusan ini. Seorang juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS menyebut langkah ICC “tidak memiliki dasar hukum” dan “mengkhawatirkan dari segi proses.”
Di sisi lain, Uni Eropa menegaskan pentingnya menghormati keputusan ICC sebagai institusi independen yang bertujuan menegakkan keadilan internasional.
Konflik berkepanjangan antara Israel dan Hamas sejak serangan besar pada Oktober 2023 telah menewaskan lebih dari 44.000 warga Palestina, mayoritas perempuan dan anak-anak, serta ribuan warga Israel.
Meski keputusan ICC diharapkan memberi keadilan bagi para korban, pelaksanaannya menghadapi tantangan besar di tengah realitas geopolitik yang kompleks. (*)