MAKASSAR—Pengurus Daerah Asosiasiasi Dietisien Indonesia (AsDI) Sulawesi Selatan menggelar temu ilmiah “Nasional Dietitian Gathering” dan pelatihan Asuhan Gizi dan Dietetik (PAGD) ke-VII secara nasional yang dipusatkan di Hotel Claro Makassar.
Kegiatan yang mengusung tema ‘Peningkatan Kompetensi Gizi dan Dietetik Berbasis Studi Kasus’ itu berlangsung selama empat hari yakni 23-26 November 2023. Sebanyak 400 orang tenaga gizi dari seluruh Indonesia hadir langsung dalam acara tersebut. Beberapa lainnya mengikuti secara daring (online).
Pj Gubernur Provinsi Sulsel yang diwakili Staf Ahli Gubernur Sulsel Bidang Pemerintahan, Andi Mappatoba, didampingi Ketua Pengurus Pusat AsDI, Fitri Hudayani dan Ketua Umum DPP Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI), Rudatin membuka secara resmi.
Andi Mappatoba menyampaikan apresiasi atas dipilihnya Makassar sebagai tuan rumah penyelenggaraan pelatihan asuhan gizi dan dietetik nasional.
Menurutnya, kegiatan ini sangat penting, mengingat saat ini Sulsel masih diperhadapkan dengan masalah stunting dan gizi buruk.
“Keberadaan tenaga gizi yang ada di fasilitas kesehatan akan menjadi motor penggerak menyikapi dan menyelesaikan masalah tersebut,” ujar Mappatoba.
Ia menyebut, Pemprov Sulsel dalam penjabaran 8 program prioritas, menitik beratkan pada tiga komponen utama terkait masalah gizi. Antara lain pengentasan kemiskinan, ketahanan pangan dan stunting.
Pelatihan ini, kata dia, akan melahirkan tenaga gizi yang terampil dan kompeten terkait asuhan gizi pada penyakit tidak menular.
Dengan demikian, akan memudahkan Pemprov Sulsel khususnya di dalam pelayanan rumah sakit.
“Kalau tenaga gizi berkompeten, tentunya perawatan akan lebih baik. Durasi perawatan akan lebih singkat dan pasien mendapat profit yakni bisa beraktifitas kembali,” ucapnya.
Ia berharap, pelatihan seperti ini tidak berhenti di sektor gizi saja, tapi dapat merambah sektor lainnya.
Ketua Umum DPP PERSAGI, Kombes Rudatin, menuturkan, peningkatan kompetensi para ahli gizi penting dilakukan sesuai perkembangan ilmu. Hal ini seiring permasalahan gizi cukup kompleks.
“Jadi bukan stunting saja, penyakit tidak menular juga. Seperti obesitas yang meningkat setiap tahun,”sebutnya.
Obesitas, kata Rudatin, adalah salah satu pencetus penyakit tidak menular. Karena itu, dibutuhkan tenaga ahli gizi atau dietisien yang berkompeten.
“Ke depan kita harapkan ini semakin baik. Jadi ahli gizi bukan hanya di lapangan saja, tetapi juga di rumah sakit, sesuai dengan perkembangan penyakit dan keilmuan,” ujarnya.
Secara khusus, ia berterima kasih kepada Pemprov Sulsel karena menjadi satu-satunya daerah yang melaksanakan program satu desa satu ahli gizi untuk pendampingan stunting dan masalah gizi lainnya.
Menurutnya, program tersebut perlu ditiru oleh daerah lainnya. Ia juga menyebut, Sulsel terdepan dalam pelayanan kepada masyarakat terkait permasalahan gizi.
Sementara itu, Ketua PP AsDi, Fitri Hudayani, berharap penyerapan tenaga gizi pada fasilitas kesehatan dalam hal ini rumah sakit, bisa dimaksimalkan. Dari segi jumlah, Fitri menyebut, sebenarnya tenaga gizi yang ada saat ini cukup banyak. Hanya saja mereka belum terserap secara merata di seluruh rumah sakit.
“Rata-rata satu rumah sakit hanya memiliki 4 orang tenaga gizi. Padahal rumah sakit pasiennya banyak dan pelayanannya beragam. Idealnya 30 pasien harus didampingi satu orang ahli gizi,” imbuhnya. Olehnya itu, melalui pelatihan tersebut, ia mendorong adanya kerjasama dengan Pemerintah Daerah sehingga pemenuhan kebutuhan tenaga gizi di rumah sakit bisa tercapai. (*/4dv)