OPINI—Penulis pernah menerima pasien seorang anak perempuan berusia 16 tahun, ia diantar oleh ibunya. Pada pemeriksaan awal ibunya mengatakan sudah seminggu ini mual dan muntah. Mungkin kambuh maag-nya dokter, ucap ibunya.
Pikirku ini adalah gejala morning sickness terlebih ia mengaku tidak mendapat haid bulan lalu. Perkiraan saya menjadi benar ketika hasil tes kehamilan (plano test) keluar, disana tertera positif. Menjadi gamang apakah hasil ini harus disampaikan ke ibu pasien, dilematis memang.
Kali berikutnya adalah pasien laki-laki usia 20 tahunan, juga diantar oleh ibunya. Ia mengalami bengkak pada alat kelaminnya. Saat sesi wawancara dengan pasien, ia mengaku telah berhubungan badan dengan pacarnya, berkali-kali dan itulah asal muasal penyakit menular seksual yang dialaminya kini.
Sekelumit kasus diatas menunjukkan kepada kita bahwa ini adalah fenomena gunung es dari seks bebas. Mari kita buka data yang lain. Di Ponorogo terdapat ratusan siswi SMP dan SMA ketahuan hamil diluar nikah dan bahkan ada yang sudah melahirkan.Data ini didapatkan dari banyaknya pelajar yang meminta permohonan dispensasi nikah ke pengadilan Agama Ponorogo.
Di Bandung setidaknya ada 143 pelajar yang meminta dispensasi nikah, di Indramayu ada 564 pelajar yang terpaksa menikah karena hamil duluan. Bergeser ke kota pelajar, Yogyakarta, ada 1032 kehamilan yang tidak dikehendaki karena statusnya sebagai pelajar.
Kekhawatiran akan meningkatnya seks bebas di kalangan remaja semakin meningkat sebab di era digital saat ini berbagai akses dapat dijangkau sedemikian mudahnya termasuk konten negatif sehingga menjerumuskan remaja ke seks pra nikah yang berujung pada kehamilan diluar nikah.
The United Nations Population Fund membeberkan bahwa sebanyak 60 persen kejadian kehamilan yang tidak direncanakan berakhir pada keputusan melakukan aborsi.
Selain itu pergaulan bebas juga menyebabkan Penyakit Menular Seksual (PMS) terutama HIV/AIDS. Menjadi dilematis melihat kecenderungan remaja melakukan hubungan seksual sebelum nikah dan menjadi keprihatinan untuk segera menyelesaikan masalah ini
Gaya hidup bebas tanpa aturan dalam sistem sekuler kapitalisme inilah yang menjadi pangkal permasalahan diatas. Sebab standar hidup benar-salah dan baik-buruk bukan dari agama.
Sekulerisme berpendapat bahwa agama harus dipisahkan dari interaksi sosial karena aturan-aturannya yang mengekang. Sekulerisme juga yang menciptakan prioritas kesenangan duniawi yang mendukung kebiasaan sebagian individu untuk melakukan seks bebas atas nama hak asasi manusia.
Hak asasi manusia bagai dewa yang melebihi aturan Tuhan. Aturan agama atau Tuhan hanya boleh dipakai untuk urusan pribadi spriritual semata.
Padahal agama lahir untuk mengatur kehidupan manusia agar stabil,teratur dan tidak rusak. Sebab menurut KBBI, agama adalah ajaran,sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Oleh karena itu dispensasi nikah bukanlah solusi atas masalah pergaulan bebas karena masalah ini bukan lagi kasuistik dan perlu pendekatan komprehensif.
Maka selanjutnya ada tiga fokus yang harus diperhatikan dalam menangani masalah pergaulan dan seks bebas ini.
Pertama ketakwaan individu, kedua kontrol masyarakat, dan yang ketiga adalah peran negara sebagai support system. Ketakwaan individu menjadi penting dalam kasus diatas.
Seseorang yang bertakwa tentu akan menjaga dirinya dari perbuatan dosa. Rukun iman kukuh dipegangnya sebagai penuntun untuk senantiasa berada di jalan kebaikan terutama jika berada di tengah masyarakat.
Kontrol masyarakat diperlukan untuk menjaga amar ma’ruf nahi munkar. Masyarakat akan mencegah segala bentuk kemaksiatan agar tidak tersebar luas dan bahkan akan tereliminasi dengan sendirinya.
Dalam kehidupan umum Islam mencegah interaksi laki-laki dan perempuan kecuali ada keperluan syar’i seperti pendidikan, pengobatan dan perdagangan. Dalam tiga hal ini laki-laki dan perempuan boleh berinteraksi tetapi tetap dalam aturan yang ditetapkan seperti wajib menutup aurat dan tidak tabarruj.
Yang terakhir adalah negara sebagai pengatur dan pengurus urusan masyarakat, wajib menerapkan sistem pergaulan yang menjamin pergaulan yang bebas dari maksiat.
Sebab negara mempunyai kemampuan untuk menciptakan sistem sanksi tegas terhadap pelanggaran hukum syariat termasuk seks bebas dalam kasus diatas. Sistem sanksi tegas ini jugalah yang berfungsi sebagai pencegah untuk seseorang tidak melakukan maksiat. (*)
Penulis: dr. Airah Amir (Dokter Umum dan Pemerhati Kesehatan Masyarakat)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.

















