Advertisement - Scroll ke atas
  • Pemkab Sidrap
  • Pemkab Sidrap
  • Pemkab Maros
  • Universitas Dipa Makassar
  • Media Sulsel
Ekonomi

Rencana Kenaikan PPN, Pelaku Usaha dan Masyarakat Mulai Resah

779
×

Rencana Kenaikan PPN, Pelaku Usaha dan Masyarakat Mulai Resah

Sebarkan artikel ini
Rencana Kenaikan PPN, Pelaku Usaha dan Masyarakat Mulai Resah
ILUSTRASI - Rencana pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 menimbulkan kekhawatiran berbagai pihak. Banyak yang memprediksi kebijakan ini akan memicu lonjakan harga barang kebutuhan dan menekan daya beli masyarakat.
  • DPRD Kota Makassar
  • Pemprov Sulsel
  • Pascasarjana Undipa Makassar
  • Pemprov Sulsel
  • PDAM Makassar

SURABAYA—Rencana pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 menimbulkan kekhawatiran berbagai pihak. Banyak yang memprediksi kebijakan ini akan memicu lonjakan harga barang kebutuhan dan menekan daya beli masyarakat.

Dita Indraswari, seorang pelaku UMKM di Denpasar, Bali, mengungkapkan keprihatinannya terhadap dampak kebijakan ini, terutama di wilayah wisata seperti Bali. Menurutnya, perbedaan daya beli masyarakat setempat dengan Jawa semakin memperlebar kesenjangan.

Advertisement
Scroll untuk melanjutkan

“Kalau PPN naik, otomatis harga barang naik. Sementara, rata-rata gaji di Bali tidak setinggi di Jawa. Kesenjangan ini jadi tantangan besar, apalagi kebutuhan di sektor wisata cenderung lebih mahal,” ujar Dita.

Dari sisi bisnis properti, kekhawatiran serupa juga muncul. Sotya Parasto, agen properti di Sidoarjo, mengungkapkan bahwa kenaikan PPN akan membebani daya beli masyarakat terhadap properti baru maupun lama. Pelaku bisnis di sektor ini berharap adanya kebijakan yang bisa meringankan dampak kenaikan pajak.

“Kami mungkin akan memberikan bonus untuk menarik pembeli, tetapi itu tidak cukup mengatasi penurunan minat. Banyak konsumen akan menunda pembelian properti,” kata Sotya.

Ia juga berharap pemerintah mengadopsi kebijakan serupa dengan program Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) yang pernah diterapkan sebelumnya. Program ini berhasil mendongkrak sektor properti meski tarif PPN naik dari 10 persen menjadi 11 persen.

“Jika pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan seperti PPN DTP, sektor properti bisa semakin lesu. Penjualan properti dari pengembang utama akan terpuruk,” tambah Sotya.

Ekonom Universitas Surabaya, Aluisius Hery Pratono, menilai kenaikan PPN menjadi 12 persen kurang efektif, baik dari sisi penerimaan negara maupun dampaknya pada masyarakat. Ia menyebut kenaikan pajak sering kali dijadikan alasan pelaku pasar untuk menaikkan harga lebih dari persentase resmi, yang pada akhirnya membebani masyarakat.

“Pemerintah memang mendapatkan tambahan penerimaan, tetapi efek dominonya terlalu besar. Konsumen menghadapi kenaikan harga yang berlipat, sementara daya beli semakin tertekan,” kata Hery.

Hery juga menyarankan agar masyarakat tetap tenang dan lebih bijak dalam mengatur pengeluaran, meskipun tekanan ekonomi meningkat.

“Kenaikan harga adalah siklus yang wajar. Jangan panik, karena kepanikan justru memperburuk situasi. Konsumsi secukupnya sesuai kebutuhan agar tidak semakin terbebani,” ujarnya.

Selain sektor UMKM dan properti, sektor pariwisata dan transportasi juga diperkirakan akan terdampak akibat kenaikan tarif PPN ini. Dengan meningkatnya biaya konsumsi, pelaku usaha di berbagai sektor berharap adanya langkah pemerintah yang lebih memperhatikan daya beli masyarakat dan keberlangsungan bisnis. [pr/em/VoA/Ag4ys]