Advertisement - Scroll ke atas
  • Media Sulsel
  • Universitas Dipa Makassar
Opini

Sekolah Tanpa Gedung, Bukti Abainya Pemerintah

541
×

Sekolah Tanpa Gedung, Bukti Abainya Pemerintah

Sebarkan artikel ini
Ummu Khadijah (Tenaga Pendidik)
Ummu Khadijah (Tenaga Pendidik)
  • Pascasarjana Undipa Makassar
  • Pemprov Sulsel
  • PDAM Makassar

OPINI—Enam tahun sudah SMPN 60 Bandung berdiri. Namun, sejak didirikan, sekolah tersebut tak memiliki bangunan sekolah sendiri. Hingga kini sebagian siswanya harus belajar di luar kelas demi mengikuti kegiatan belajar mengajar (KBM).

Sejak tahun 2018, siswa SMPN 60 Bandung harus menumpang di bangunan SDN 192 Ciburuy, Kecamatan Regol, Kota Bandung. Hal itu dilakukan karena SMPN 60 Bandung belum memiliki bangunan. Karena siswa SMPN 60 Bandung memiliki 9 rombongan belajar (rombel) dan di SD tersebut hanya ada 7 ruangan kelas yang dapat menampung siswa, maka dua kelas harus belajar di luar ruangan.

Advertisement
Scroll untuk melanjutkan

Tak hanya ruangan kelas, ruang kepala sekolah, ruang guru dan tata usaha (TU) juga dijadikan satu. Selain gunakan fasilitas kelas, lapangan milik SDN 192 Ciburuy juga digunakan siswa SMPN 60 Bandung. Karena siswa ini masuknya di siang hari, tidak ada upacara bendera yang dilakukan seperti sekolah umumnya, (Detik.com: 28/9/2024).

Rita Nurbaini, Humas SMPN 60 Bandung, mengungkapkan bahwa pihak sekolah sebenarnya telah mendapatkan bantuan kursi dan meja dari Dinas Pendidikan Kota Bandung. Namun, keterbatasan ruangan membuat fasilitas tersebut tidak dapat digunakan dengan optimal.

“Kami memiliki kursi dan meja, bahkan peralatan seperti laptop sudah disediakan, tapi karena kekurangan ruangan, siswa tetap harus belajar di luar,” jelas Rita, (infobdg.com: 28/9/2024).

Selain ruang kelas yang terbatas, kegiatan belajar mengajar di luar ruangan sering terganggu cuaca, terutama saat hujan turun. “Ketika hujan, KBM sering tidak kondusif. Kadang kami harus bubar atau memindahkan siswa ke lorong sekolah,” tambahnya, (infobdg.com: 28/9/2024).

Sekolah tanpa Gedung adalah hal yang sangat miris. Apalagi sudah terjadi sejak sekolah itu berdiri tahun 2018, dan menumpang di bangunan SD Negeri, dan tidak semua kelas dapat tertampung dalam bangunan SD tersebut. Mirisnya lagi, itu adalah SMP negeri.

Ini hanyalah salah satu fakta yang boleh jadi mungkin di tempat lain atau di daerah lain juga masih ada sekolah yang belum memiliki gedung atau memiliki gedung tapi gedung yang sudah tidak layak atau gedung dalam kondisi rusak.

Menurut data BPS melalui CEIC berdasarkan perbandingan tahun ajaran 2021/2022 untuk jenjang SD sebanyak 60,60 %; jenjang SMP 53,30%; jenjang SMA 45,03% yang mengalami kerusakan ruang kelas. Data dari Kemendikbudristek bahwa ruang kelas yang rusak di sekolah negeri seluruh Indonesia bertambah 26% atau 250.000 unit dalam satu tahun terakhir.

Kurangnya fasilitas pendidikan yang tersedia, dalam hal ini gedung sekolah, dapat mengakibatkan tidak optimalnya proses pembelajaran, padahal gedung sekolah merupakan sarana pendidikan yang sangat penting keberadaanya untuk mendukung jalannya pembelajaran di sekolah.

Tentunya hal ini tidak bisa dianggap sebagai permasalahan yang biasa dan dibiarkan begitu saja. Bagaimana generasi yang berkualitas akan bisa terwujud jika ruang kelasnya saja tidak memadai? Belum lagi fasilitas-fasilitas pendukung lainnya yang tidak tersedia. Mau dibawa ke mana arah pendidikan negeri kita ini?

Pendidikan adalah salah satu bidang penting dalam menentukan masa depan bangsa, merupakan kebutuhan pokok setiap individu rakyat. Sayangnya dalam sistem kapitalisme, negara tidak berpihak penuh pada rakyat hal ini makin jelas ketika sekolah berdiri karena kebutuhan rakyat, namun negara tidak memfasilitasi ketersediaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk menunjang keberhasilan proses belajar mengajar.

Negara memang sudah mengalokasikan anggaran pendidikan. Sayangnya dana sebenarnya sangatlah sedikit. Itupun hari ini ada banyak hal yang membuat dana tak dapat terserap sempurna, salah kelola, bahkan juga menjadi ajang korupsi. Pemerintah menetapkan anggaran pendidikan 20% dari APBN.

Selain APBN, pendanaan pendidikan juga dilakukan melalui APBD. Pelayanan pendidikan dilakukan pemerintah melalui konsep otonomi daerah. Anggaran dari pemerintah tersebut tidak hanya bagi penyelenggaraan pendidikan di sekolah (di bawah tata kelola Kemdikbudristek) saja.

Namun, akan terbagi ke beberapa kementerian yang memiliki program terkait pendidikan. Dari sini juga tampak bahwa anggaran pendidikan sebenarnya amat terbatas jika hanya 20% dari APBN yang saat ini (2024) berjumlah Rp660,8 triliun.

Fakta menyakitkan ini sejatinya merupakan dampak buruk penerapan sistem sekuler kapitalisme. Sistem inilah yang bertanggung jawab terhadap tata kelola pendidikan hingga melahirkan berbagai problematika dalam dunia pendidikan dan lemahnya fungsi negara. Hal ini bisa tergambar dalam beberapa pilar politik pendidikan kapitalisme sebagai berikut:

Pertama, pandangan tentang ilmu dan pendidikan. Dalam kapitalisme, pendidikan dipandang sebagai komoditas. Dimensi keuntungan materi kerap menjadi penghalang bagi negara ketika pendidikan dinilai tidak lebih menguntungkan dibandingkan investasi negara di bidang ekonomi. Ini tampak dari minimnya negara memberikan anggaran pendidikan dibandingkan proyek mercusuar yang konon menghasilkan keuntungan ekonomi lebih.

Kedua, politik kekuasaan kapitalistik reinventing government atau good governance. Politik kekuasaan inilah yang menyebabkan negara abai dan lemah. Melalui politik kekuasaan ini, negara diharuskan bertindak sebagai regulator atau fasilitator saja. Peran swasta menjadi hal penting dalam tanggung jawab melayani kebutuhan pendidikan.

Ketiga, integrasi dengan sistem ekonomi kapitalistik yang menjauhkan dari kesejahteraan. Minimnya anggaran negara untuk membiayai pendidikan adalah konsekuensi dari rusaknya tata kelola ekonomi dan keuangan negara yang kapitalistik. Tata kelola SDA yang tidak memberi keuntungan bagi rakyat ataupun pinjaman luar negeri yang terus membebani negara adalah sebagian yang membuat negara lemah secara ekonomi. Dampaknya, dana bagi pendidikan minim.

Keempat, otonomi daerah. Prinsip desentralisasi keuangan (melalui APBD) dalam tata kelola pendidikan juga memberi andil banyaknya problem dunia pendidikan. Kontrol pemerintah pusat yang kurang, saling lempar tanggung jawab, hingga tidak meratanya pembangunan, menjadikan negara lemah membangun sekolah-sekolah berkualitas secara merata.

Itulah beberapa poin yang menyebabkan negara lemah dan abai menjamin biaya Pendidikan, termasuk dalam hal ini menjamin sarana dan prasarana pendidikan yang berkualitas. Berharap kepada pelaksanaan peraturan negara pun sulit selama tata kelola pendidikan dan negara ini tidak diubah.

Di sinilah urgensi menanggalkan sekularisme kapitalisme sebagai biang segala persoalan dan kembali kepada sistem kehidupan sahih (Islam), dimana Islam menjadikan pendidikan sebagai salah satu bidang strategis untuk membangun peradaban yang maju dan mulia.

Pembiayaan Pendidikan dalam Sistem Islam

Dalam Islam, pembiayaan Pendidikan sepenuhnya merupakan tanggung jawab negara. Seluruh pembiayaan pendidikan, baik menyangkut gaji para guru/dosen, maupun menyangkut infrastruktur serta sarana dan prasarana pendidikan, sepenuhnya menjadi kewajiban negara. Ringkasnya, dalam Islam, pendidikan disediakan secara gratis oleh negara dalam semua jenjang.

Hal ini bisa terwujud karena Islam mengharuskan negara mengadopsi politik pendidikan Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunah (wahyu Allah Taala, Zat Pencipta manusia). Politik pendidikan Islam tersebut berdiri di atas sejumlah prinsip berikut.

Pertama, pandangan tentang ilmu dan pendidikan. Terkait hal ini, Nabi Saw. bersabda dari Abu Musa, “Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku dengannya adalah bagai ghaits (hujan yang bermanfaat) yang mengenai tanah. ….” (HR Bukhari).

Islam memandang ilmu bagaikan jiwa dalam manusia. Ilmu ibarat air bagi kehidupan. Pendidikan merupakan perkara sangat vital, memiliki peran strategis yang tidak bisa diukur hanya dari dimensi keuntungan materi. Oleh karenanya, negara akan menyelenggarakan pendidikan dengan segenap kemampuan. Berapa pun biayanya akan diupayakan pemenuhannya oleh negara.

Kedua, fungsi negara. Rasulullah saw. pernah bersabda, “Imam adalah pemimpin yang akan diminta pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR Bukhari).
Negara bertanggung jawab penuh, tidak menjadi regulator, apalagi bergantung kepada kemampuan swasta (masyarakat ataupun korporasi) dalam berbagai pelaksanaan kewajibannya.

Negara (Daulah islam) berkewajiban menjamin hak pendidikan sejak usia SD hingga pendidikan tinggi. Jaminan negara ini bersifat langsung. Maksudnya, hak ini diperoleh secara cuma-cuma atau berbiaya semurah-murahnya sebagai hak rakyat atas negara.

Dalilnya adalah Sunah dan ijmak sahabat. Rasulullah Saw. membebaskan sebagian tawanan Perang Badar yang tidak sanggup menebus pembebasannya, agar mengajari baca tulis kepada anak-anak Madinah sebagai ganti tebusannya. Ini menunjukkan pembiayaan pendidikan berasal dari negara.

Ketiga, sumber pembiayaan. Sistem pendidikan formal yang diselenggarakan Daulah islam memperoleh sumber pembiayaan sepenuhnya dari negara, yakni baitulmal.

Ada dua sumber pendapatan baitulmal untuk membiayai pendidikan. Pertama, pos faidan kharaj, yang merupakan kepemilikan negara, seperti ganimah, khumus (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharibah (pajak). Kedua, pos kepemilikan umum, seperti sumber kekayaan alam, tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan).

Biaya pendidikan juga biasanya diperoleh dari wakaf. Meskipun pembiayaan pendidikan adalah tanggung jawab negara, Islam tidak melarang inisiatif rakyatnya, khususnya mereka yang kaya untuk berperan serta dalam pendidikan secara suka rela.

Keempat, sentralisasi kekuasaan negara dan desentralisasi administrasi. Dalam Islam, kekuasaan negara terkait pembiayaan maupun kurikulum bersifat terpusat agar tujuan pendidikan segera terwujud. Jadi, bukan menggunakan konsep otonomi daerah sebagaimana dalam sistem kapitalis yang kerap menimbulkan problem.

Adapun secara administrasi, dilakukan dengan mengacu pada tiga prinsip, yakni sederhana dalam aturan, kecepatan dalam pelayanan, dan dilakukan oleh orang-orang yang kapabel. Prinsip-prinsip ini jelas akan memudahkan pelaksanaan berbagai program yang telah ditetapkan dan meminimalkan terjadinya kecurangan, semisal korupsi dan sejenisnya yang biasa terjadi dalam sistem kapitalisme.

Selain itu para pemangku jabatan juga akan menjalankan amanahnya dengan penuh rasa tanggung jawab dan ketundukan terhadap hukum syarak.

Kelima, merupakan bagian integral dari negara (Daulah islam) yang memberikan kesejahteraan bagi seluruh alam. Penerapan sistem politik Islam dan ekonomi Islam meniscayakan negara memiliki visi misi menyejahterakan rakyat.

Pemenuhan hak pendidikan pun bukan hal sulit. Dengan demikian, solusi hakiki bagi jaminan pembiayaan pendidikan sejatinya adalah kembali kepada penerapan syariat Islam secara kaffah

Itulah yang seharusnya diperjuangkan oleh umat Islam. Berharap pada peraturan yang lahir dari sistem sekuler kapitalisme tidak akan memberi kebaikan bagi umat, kecuali hanya sedikit dan tidak menuntaskan masalah. Semoga kita terus bersemangat pada perjuangan menegakkan kembali syariat islam kaffah, Wallahu’alam Bissawab… (*)

 

Penulis: Ummu Khadijah (Tenaga Pendidik)

 

***

 

Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.

error: Content is protected !!