Advertisement - Scroll ke atas
  • Pemkot Makassar
  • Hari Pahlawan Nasional
  • Bapenda Makassar
  • Universitas Diponegoro
  • HUT Sulsel ke-355 (Media Sulsel)
Opini

Stunting Masih Genting

1507
×

Stunting Masih Genting

Sebarkan artikel ini
Stunting Masih Genting
Dr. Suryani Syahrir, ST, MT (Dosen & Pemerhati Sosial)
  • Pemprov Sulsel
  • HUT Sulsel ke-355
  • Ir. Andi Ihsan, ST, MM (Kepala Biro Umum Pemprov Sulsel)
  • PDAM Makassar
  • Pilkada Sulsel (KPU Sulsel)

OPINI—Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) terbaru pada 2022, angka stunting Indonesia yakni 21,6 persen. Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin menargetkan prevalensi angka stunting di 2023 menjadi 17 persen. Bila target ini tercapai, maka target di 2024 yakni 14 persen kasus stunting bisa terwujud (liputan6.com, 9/2/2023).

Penurunan angka stunting masih menjadi fokus perhatian pemerintah pusat, tak terkecuali di Sulsel. Terlebih Sulsel merupakan salah satu provinsi dengan prevalensi angka stunting yang cukup tinggi yakni 27,4% di atas rata-rata nasional (24,4%). Namun, mencermati kondisi negeri yang karut marut (terkhusus masalah pangan), rasanya jauh panggang dari api.

Advertisement
Scroll untuk melanjutkan

Ada yang menarik untuk dicermati, sebuah ironi terpampang di depan mata. Seperti dikutip dari laman Palopo Pos, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Sulsel per 26 Desember 2022, terdapat 9 daerah di Sulsel dengan angka kemiskinan di atas 10. Namun, di sisi lain Sulsel merupakan salah satu provinsi penyelamat dan lumbung pangan nasional. Sebuah fakta yang sulit dinalar.

Sebagaimana dikutip dari laman sulselprov.go.id, Gubernur, Andi Sudirman menyampaikan bahwa saat ini Sulsel menyuplai cadangan 25 persen cadangan BULOG di Indonesia. Artinya produksi Sulsel sangat tinggi, dapat mensuplai 27 provinsi di Indonesia. Lebih lanjut, Gubernur mengatakan ada tugas khusus dari Bapak Presiden untuk menjadikan Sulsel sebagai lumbung pencadangan nasional.

Jika demikian, bagaimana sebenarnya politik tata kelola pangan di negeri ini? Pasalnya, stunting atau gagal tumbuh adalah kondisi anak yang secara umum tidak terpenuhi gizinya, sejak dalam perut ibu hingga lahir dan mencapai usia 2 tahun. Mengapa negeri yang kaya akan sumber daya alam (SDA) termasuk komoditas pangan, tak mampu memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya?

 

Tata Kelola Berbasis Kapitalistik

Indonesia adalah negeri dengan varietas pangan yang beragam. Kondisi iklim tropis menjadikan keanekaragaman hayati tumbuh subur. Plus kekayaan pangan dari perairan pun beraneka rupa. Sangat wajar bila banyak negara luar/asing tergiur dengan kekayaan alam Indonesia yang melimpah ruah.

Terkait tata kelola pangan tidak bisa dilepaskan dari pengaturan sistem ekonomi dan politik suatu bangsa. Sistem kapitalisme yang diemban negeri ini menempuh instrumen pengelolaan sistem ekonomi dan politiknya berbasis sekuler kapitalis.

Jadilah segala kebijakan yang ditempuh penguasa seolah hanya berpihak kepada para pemilik modal (kapital). Terlebih regulasi yang ada diduga kuat juga menunjukkan demikian. Misal program food estate, penyaluran pupuk bersubsidi melalui Kartu Tani Digital, Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan yang lainnya.

Jika dianalisis akan terlihat bahwa program-program yang diluncurkan pun sarat kepentingan. Tak memberi efek yang signifikan bagi rakyat marginal. Bahkan, terkesan memberi masalah baru. Misal dengan jeratan utang riba bagi petani. Ibarat lepas dari mulut harimau, masuk ke mulut singa.

error: Content is protected !!