Advertisement - Scroll ke atas
  • Media Sulsel
  • Universitas Dipa Makassar
Opini

Adakah Solusi Menghentikan Korupsi?

1136
×

Adakah Solusi Menghentikan Korupsi?

Sebarkan artikel ini
Adakah Solusi Menghentikan Korupsi?
Fitri Suryani, S.Pd (Freelance Writer)
  • Pascasarjana Undipa Makassar
  • Pemprov Sulsel
  • PDAM Makassar

OPINI—Syahrul Yasin Limpo mundur dari jabatan mentan karena ingin fokus dengan kasus hukum yang menimpa dirinya. Seperti diketahui, Syahrul dikabarkan menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi di Kementerian Pertanian (Kementan). (Liputan6.com, 08/10/2023).

Munculnya kasus dugaan patgulipat di kalangan menteri, menurut peneliti Pusat Kajian AntiKorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yuris Kurniawan, tidak saja menunjukkan pengawasan Jokowi yang lemah terhadap anak buahnya, tapi tidak adanya perubahaan pemantauan oleh presiden terhadap para menteri.

Advertisement
Scroll untuk melanjutkan

Selain Syahrul, menteri lain yang terjerat kasus korupsi selama dua periode pemerintahan Jokowi adalah Idrus Marham, Imam Nahrawi, Edhy Prabowo, Juliari Batubara, dan Johnny G. Plate.

Seluruh nama itu telah divonis bersalah, kecuali Johnny yang masih menjalani proses pengadilan dalam perkara suap proyek infrastruktur telekomunikasi (bbc.com, 07/10/2023).

Kasus tersebut hanya secuil fakta korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara dan jelas sangat merugikan. Kasus korupsi nampak tak pernah sepi di negeri tercinta ini. Kasus tersebut juga merupakan perkara yang kompleks, meski ada badan khusus yang menyelesaikan masalah korupsi, namun korupsi tetap selalu ada.

Faktor penyebab korupsi pun ada banyak hal. Di antaranya, minimnya sifat amanah dan adanya gaya hidup konsumtif, sehingga tak jarang lebih besar pasak daripada tiang. Tak sedikit pula karena kurangnya kesejahteraan, dalam hal ini gaji yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya, sehingga dengan alasan itu, seseorang akan tergiur untuk melakukan tindakan korupsi agar terpenuhi semua kebutuhan hidupnya.

Pun sudah menjadi rahasia umum untuk meraih suatu kekuasaan atau jabatan membutuhkan biaya yang banyak, sehingga saat mereka telah meraih jabatan tersebut mereka akan berusaha untuk mengembalikan modal. Dari itu, jika hanya mengharap gaji, maka modal sulit kembali. Walhasil korupsi menjadi salah satu jalan untuk mengembalikan biaya politik dengan cara singkat.

Selain itu, adanya sanksi yang belum mampu memberikan efek jera kepada pelaku. Padahal sejatinya sanksi bersifat menimbulkan efek jera, baik kepada pelaku itu sendiri dan kepada orang lain yang berkeinginan melakukan tindakan serupa.

Lebih dari itu, sistem sekuler yang diterapkan saat ini kian mempersulit untuk lepas dari jerat korupsi, baik yang dilakukan oleh individu maupun kelompok. Karena lingkungan begitu kondusif untuk melakukan tindakan tersebut.

Karenanya tak mengherankan demi mendapatkan rupiah kadang seseorang tidak segan-segan untuk membuat data fiktif agar dana dapat cair dan masuk ke kantong pribadi guna memperkaya diri. Dari itu, solusi menghentikan korupsi di sistem ini, nampaknya sulit diwujudkan.

Persoalan korupsi pun jelas tidak ada agama manapun yang membenarkannya. Adapun dalam kacamata Islam, ulama fikih telah sepakat mengatakan bahwa perbuatan korupsi adalah haram dan dilarang. Karena bertentangan dengan maqasid asy-syariah.

Adapun keharaman korupsi dapat dilihat dari berbagai aspek, yaitu: Pertama, curang dan penipuan. Perbuatan korupsi merupakan perbuatan curang dan penipuan yang secara langsung merugikan keuangan negara ataupun masyarakat.

Kedua, khianat. Berkhianat terhadap amanat adalah perbuatan terlarang dan berdosa seperti ditegaskan Allah Swt. dalam Al-Quran surah Al-Anfal ayat 27, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”

Ketiga, aniaya (zalim). Perbuatan korupsi untuk memperkaya diri dari harta negara adalah perbuatan lalim (aniaya), karena kekayaan negara adalah harta yang dipungut dari masyarakat yang tak sedikit mereka peroleh dengan susah payah.

Ulama fikih pun menetapkan bahwa tindak pidana korupsi termasuk dalam kelompok tindak pidana takzir. Oleh sebab itu, penentuan hukuman, baik jenis. bentuk, dan jumlahnya didelegasikan syara’ kepada hakim. Dalam menentukan hukuman terhadap koruptor.

Seorang hakim harus mengacu kepada tujuan syara’ dalam menetapkan hukuman, kemaslahatan masyarakat, situasi dan kondisi lingkungan, dan situasi serta kondisi sang koruptor. Sehingga sang koruptor akan jera melakukan korupsi, begitu pula orang lain yang memiliki keinginan serupa.

Hanya saja, jauh sebelum sanksi diberikan kepada para koruptor, tentu ada upaya preventif yang akan dilakukan dalam rangka meminimalisasi dan membabat tuntas tindakan tersebut. Adapun upaya tersebut dapat berupa memberikan gaji yang layak, sehingga kesejahteraan para pegawai tercukupi. Selain itu adanya ketakwaan individu, kontrol masyarakat dan peran negara tak kalah penting dalam memberantas kasus korupsi.

Dengan demikian, tak mudah menghentikan korupsi, apalagi hingga membabat tuntas, jika minim adanya sinergi antara individu, masyarakat, terlebih peran negara dalam menuntaskan kasus tersebut. Karenanya penting adanya upaya preventif dan menerapkan sanksi yang menimbulkan efek jera yang mana tidak ada kompromi di dalamnya.

Hal itu pun hanya dapat terealisasi jika hukum-hukum-Nya dapat diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. Karena sungguh yang mengetahui mana terbaik untuk hambanya, yakni yang menciptakan hamba, Allah Swt. Wallahu a’lam bi ash-shawab. (*)

Penulis
Fitri Suryani, S.Pd
(Freelance Writer)

***

Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.

error: Content is protected !!