OPINI—Kasus viral video seorang siswi dan gurunya di salah satu Madrasah di Gorontalo, menuai beragam komentar. Komentar netizen silih berganti bermunculan dalam setiap status video tersebut. Sebagian menyudutkan guru sebagai pelaku kekerasan seksual yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Namun tidak kalah banyaknya yang menyalahkan siswi sebagai seorang pelajar yang tidak berakhlak dan tidak bisa menjaga harga dirinya apalagi sebagai siswi yang berprestasi.
Ada dua bentuk komentar netizen. Pertama, sarkasme. Bentuk komentar yang mengandung sindiran atau ejekan yang tajam dan menyindir dengan tujuan menggambarkan situasi seseorang dengan halus dan berlawanan dengan maksud sebenarnya. Kalimat dalam salah satu komentar “anak berprestasi lho, senggol dong”.
Komentar status seperti ini mendeskripsikan bagaimana persepsi netizen meyakini sebuah nilai kebenaran dengan berbagai alasan dan dasar berpikirnya, termasuk melihat bagaimana gestur tubuh siswi tersebut dianggap merasa nyaman-nyaman saja menikmati adegan dengan gurunya sehingga dianggap bahwa aksi dalam video tersebut bukanlah perilaku kekerasan seksual orang dewasa terhadap seorang anak melainkan atas dasar suka sama suka.
Bentuk komentar kedua, melabeli atau menghakimi dengan play victim. Beberapa hari berikutnya setelah video ini viral, muncul keterangan dari pihak kepolisian berdasarkan pengakuan si korban yang sempat menolak dan melawan ajakan tersangka untuk berhubungan badan, namun karena bujuk rayu tersangka akhirnya perbuatan tersebut bisa berulang.
Pengakuan siswi tersebut, setidaknya dapat membangun kesadaran pikir kita untuk memahami dirinya sebagai korban, tapi oleh sebagian netizen dianggap sebagai playing victim. Playing victim adalah perilaku seseorang yang menempatkan dirinya sebagai korban bahkan ketika kesalahan sebenarnya ada pada dirinya. Komentar yang muncul “wah kok korban, kan merasa nyaman juga”.
Dua bentuk komentar netizen ini cukup menggambarkan pemahaman tentang kekerasan seksual yang semata-semata dianggap hanya menggunakan kekerasan dan bila nyata terlihat seperti perkosaan (paksaan), pelecehan seksual dengan menyentuh bagian-bagian tertentu korban secara paksa.
Padahal yang sebenarnya adalah ketika seorang membuat situasi orang lain menjadi tidak berdaya yang menyebabkannya memenuhi hasrat seksual orang tersebut, maka itu adalah termasuk kategori kekerasan seksual juga. Kekerasan seksual seperti ini tidak terjadi secara tiba-tiba tapi butuh waktu karena biasanya pelaku menggunakan relasi kuasa atau relasi gender.
Salah satu website dari Kemendikbud Ristek di merdeka dari kekerasan, menyebutkan defenisi kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender yang berakibat dan dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan dengan aman dan optimal.
Sehingga pertanyaannya apakah si anak benar adanya korban atau hanya playing victim?
Mari kita membahas ini mulai dari usia kategori seorang anak. Ini penting sebab seorang anak memiliki sifat ketergantungan, lebih rentan dan mudah terbuai. Anak belum memiliki pengalaman layaknya orang dewasa. Kerangka pikir yang terbentuk dipengaruhi kondisi keluarga dan lingkungan sekitarnya.
Pada saat dewasa kelak, si anak baru menyadari beberapa hal yang dialaminya termasuk pelecehan seksual akan menimbulkan trauma yang jika tidak ditangani dengan baik maka dapat berdampak buruk bagi perkembangannya.
Menurut UU Perlindungan Anak, seseorang dikatakan anak jika belum berusia 18 tahun. Kitab Undang-undang hukum pidana {KUH Pidana), menyebutkan jika seseorang belum dianggap dewasa jika belum mencapai usia 21 tahun. Berarti kita sepakat jika siswi. tersebut adalah seorang anak karena masih berusia 16 tahun.
Nah kemudian pertanyaan berikutnya, apakah siswi tersebut korban kekerasan seksual? Jika menilik dari proses yang terinformasi di media sosial, maka jawabannya iya. atau istilahnya “korban” yang ini disebutkan sendiri oleh Kapolres Gorontalo AKBP Dedy Herman dalam berita di CNN,-.
Siswi sebagai korban masih terjadi pro dan kontra dari netizen. Selanjutnya merujuk pada UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada pasal 82 Perpu 1/2016 jo. Pasal 76E UU 35/2014 menyebutkan: “setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul”
Artinya hubungan seksual yang terjadi diawali dengan serangkaian kebohongan adalah termasuk kekerasan seksual. Bentuknya disebut Child grooming. Child grooming dilakukan dengan tipu muslihat (modus) dan serangkaian kebohongan untuk membangun kepercayaan korban terhadap pelaku.
Child grooming, adalah bentuk kekerasan yang dimanipulasi oleh pelaku dengan tujuan membangun kepercayaan pada seorang anak sampai anak merasa nyaman dan terbuai percaya dan setelah itu si anak menuruti apa yang diinginkan pelaku. Masih ada sebagian diantara masyarakat yang menyimpulkan jika seorang anak nyaman melakukan hubungan seksual karena rasa percaya sebagai bukan bagian dari kekerasan seksual.
Padahal proses sampai pelecehan seksual terjadi antara pelaku dan korban tidak serta merta tapi didahului dengan serangkaian proses yang pada tahapannya dilakukan dengan halus dan terselubung (motif dan modus yang tidak terlihat) dari si pelaku yang membutuhkan waktu cukup lama.
Jadi terkesan bukan kekerasan. Bahayanya ini karena tidak mudah dikenali sebagai pelecehan seksual pada anak. Karena Child grooming membuat anak dan anggota keluarganya dan orang-orang terdekatnya tidak menyadari sebuah proses tindakan kekerasan seksual sedang terjadi.
Penyalahgunaan anak dalam kasus-kasus pedofilia banyak dilakukan dengan cara child grooming. Pelaku membangun kepercayaan dengan pendekatan kasih sayang, memberi perhatian, memberi hadiah serta bisa juga dengan memenuhi kebutuhan materi si anak yang lebih dibanding orang-orang dewasa lainnya di sekitarnya.
Kebutuhan-kebutuhan dasar si anak yang dapat dipenuhi oleh pelaku dan si anak tidak menyadari jika ini adalah modus untuk pelaku dapat menjalankan rencananya, termasuk bagaimana cara agar si anak dapat merasa suka padanya, dan pada akhirnya pelaku dapat mengeksploitasi seksual si anak, membuat ketergantungan anak dan menumbuhkan kepercayaan anak pada dirinya. Merawat kepercayaan dan ketergantungan seberapa besar kerentanan si anak, yang pada akhirnya si anak menjadi korban pelecehan seksual.
Tahapan pelaku Child Grooming, pertama, memilih target (anak) yang rentan. Biasanya pada anak yang tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya seperti kebutuhan bertahan hidup, kasih sayang, kesenangan dan perhatian.
Kedua, membangun kepercayaan dengan perhatian dan bisa juga dalam bentuk materi. Ketiga, menciptakan suasana dimana anak lebih merasa nyaman dengan pelaku dibanding orang-orang di sekitarnya.
Keempat, mengikutkan anak dalam perasaan seksualitas awal dengan sentuhan fisik seperti merangkul, mengusap-usap kepala untuk menunjukkan rasa sayang dan meraba punggung dan anggota tubuh lainnya yang sebisa mungkin si anak merasa nyaman dan bisa menjadi tidak risih.
Kelima, pelaku mulai mengontrol hubungan dengan korban. Jika belum berhasil dengan bujukan bisa juga dengan ancaman, dimana korban disituasikan dalam kondisi tidak bisa berbuat apa-apa, mengingat relasi kekuasaan dimana pelaku adalah seorang guru, tokoh agama atau memiliki kekuasaan yang oleh korban dianggap memiliki otoritas terhadap dirinya.
Pada kasus video ini, dikuatkan dengan pengakuan korban yang awalnya menolak hubungan seksual dengan pelaku. Namun karena bujuk rayu membuat korban pada akhirnya menuruti melakukan hubungan seksual, dan kemudian berulang sehingga menjadi nyaman dan akhirnya suka sama suka. Rasa suka korban pada pelaku karena ketergantungan baik secara fisik maupun psikis yang berhasil sebagai cara membangun pondasi kepercayaan pada pelaku, sehingga dapat menghapuskan kecurigaan maksud pelaku yang sebenarnya.
Kasus viral ini menjadi bagian dari catatan kasus Child Grooming. Bisa dikatakan ini mungkin seperti gunung es yang terlihat sedikit saja pada puncaknya, tapi dibawah yang tidak terlihat mungkin masih banyak kasus yang tidak terdeteksi.
Ketidakberanian sebagian korban menceritakan child grooming yang dialaminya karena takut disalahkan dan tidak dipercaya adalah salah satu penyebab kasus Child Grooming tidak terdata valid. Penyebab lainnya adalah korban tidak memahami jika apa yang dialaminya adalah bentuk kekerasan seksual yang disebut child grooming.
Netizen harus meretas miskonsepsi tentang kekerasan seksual yang harus terlihat jelas, tapi kekerasan seksual juga bisa dilakukan dengan terselubung, lihai dan bertahap. Karena itu komentar di media sosial tidak membuat korban menjadi terpojok atau terstigma. Sehingga korban tidak takut disalahkan dan dapat menceritakan child grooming yang dialaminya.
Sekolah sebagai institusi pendidikan harus mewaspadai kekerasan seksual termasuk child grooming. Anak-anak wajib mendapatkan keamanan dan kenyamanan selama proses pembelajarannya. Mewaspadai child grooming dengan mendidik anak mengenali gejala child grooming yang sedang terjadi, seperti memberi hadiah yang berlebihan, menunjukkan kesukaan atau minat dan perhatian yang tidak wajar.
Dan yang paling penting sering melakukan sentuhan fisik. Biasanya dengan sering mengelus, memangku, mengusap dan tindakan sentuhan lainnya yang tidak pantas. Tindakan prefentif lainnya dapat dilakukan dengan memberikan pendidikan tentang batasan hubungan yang wajar. Anak menjadi rentan karena tidak memahami bagaimana hubungan yang sehat dengan orang-orang yang dikenalnya.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah berkomitmen melakukan upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan Indonesia dengan menerbitkan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 pada 31 Agustus 2021. Artinya, lembaga pendidikan harus menyiapkan perangkat pencegahan dan penanganan kasus kekerasan di sekolah. Selain itu penanganan korban yang harus mengangkat perspektif anak. (*)
Penulis: Nurhidayah Mantong
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.