OPINI—Dunia perskincareran di beberapa platform media sosial sekarang sedang heboh-hebohnya dengan beberapa oknum dokter yang membongkar praktek keji dibalik bisnis perawatan kecantikan dengan kandungan zat kimia berbahaya bagi kulit serta mafia besar yang bermain dibalik bisnis ini.
Semuanya dikuliti satu persatu sehingga terkuak selama ini banyak konsumen tertipu dengan klaim sesat dan menyesatkan seperti wajah glowing dengan beberapa kali pemakaian saja dan kulit jadi lebih mulus dan halus dll. Semuanya itu dijanjikan dengan melibatkan banyak hal sehingga banyak calon pembeli merasa yakin dengan produknya.
Industri perskincare di Indonesia memang sangat tumbuh subur bak jamur dimusim hujan semuanya diakibatkan karena kesadaran (desakan) kulit sehat dan cantik semakin meningkat, tren pengaruh dari influencer dan beauty vlogger serta gaya hidup yang mengharuskan kulit terlihat mulus dan halus.
Merujuk data yang dilansir Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), terjadi peningkatan pertumbuhan jumlah pelaku usaha kosmetik dari jumlah 819 pada 2021 menjadi 913 pada 2022, hal ini setara dengan pertumbuhan sebesar 20,6% pada 2022.
Potensi market size secara nasional pada 2023 bisa mencapai 467.919 produk atau meningkat lebih dari 10 kali lipat dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Sejak 2018 hingga 2022, personal care dan kosmetik merupakan top 3 penjualan di market place, dengan nilai transaksi mencapai Rp13.287,4 triliun dan volume transaksi 145,44 juta.
Data penjualan produk kecantikan memang menggiurkan oleh pelaku usaha untuk membuka bisnis penjualan produk kecantikan karena peluang mendapatkan cuan juga besar, namun dibalik itu semua Fakta dilapangan menunjukkan sudah banyak ditemukan dampak buruk akibat pemakaian skincare abal-abal seperti kulit wajah rusak, dermatitis kontak, vitiligo, jerawat yang meradang bahkan yang paling parah berupa kanker kulit.
Secara umum Kandungan zat kimia berbahaya dalam produk kecantikan seperti merkuri, hidrokuinon, dan steroid, yang menyebabkan berbagai efek negatif seperti iritasi kulit, ruam, hingga kerusakan organ dalam jangka panjang
Sampai saat ini, belum ada data penelitian yang secara spesifik menetapkan jumlah pasti orang yang terkena dampak buruk dari penggunaan skincare abal-abal di Indonesia. Namun, beberapa penelitian dan sumber telah mengungkapkan bahwa masalah ini cukup serius dan banyak terjadi di masyarakat dan tentu ini menjadi PR besar bagi pemerintah dan institusi yang terkait untuk meneliti barapa orang yang terdampak akibat produk berbahaya ini.
Pertanyaan besarnya adalah kenapa masih banyak beredar produk-produk kecantikan yang mengandung zat berbahaya bagi kesehatan?
Masih banyak penduduk Indonesia khususnya perempuan yang tergiur dengan klaim produk yang bisa mempercantik diri dengan cepat misalnya “produk ini bisa memutihkan kulit hanya dalam 1 minggu” atau “bisa menjadikan kulit glowing hanya beberapa kali pemakaian”. Ini semua didukung oleh minimnya literasi tentang kandungan produk. Mereka lebih percaya sama iklan dan klaim dari si pemilik brand tanpa mau mencari informasi lebih lanjut.
Konsumen tidak menyadari pentingnya memahami komposisi bahan kimia dalam produk skincare. Mereka cenderung mempercayai klaim tanpa mengecek apakah produk tersebut telah diuji secara klinis atau terdaftar di BPOM.
Kurangnya pengawasan serta kontrol dari lembaga kesehatan, meski BPOM berperan dalam mengawasi peredaran produk, masih banyak skincare ilegal atau tanpa izin yang berhasil masuk pasar. Produk ini seringkali mengandung bahan berbahaya seperti hidrokuinon atau merkuri, yang dapat menyebabkan efek kesehatan serius.
Banyak yang tergiur dengan harga yang murah tanpa memperhatikan kualitas. Ini banyak terjadi untuk kalangan masyarakat dengan ekonomi terbatas. Dorongan tampil cantik tapi tidak didukung oleh finansial yang memadai akibatnya mereka membeli produk kecantikan yang tidak berizin.
Termasuk juga penegakan hukum yang lemah untuk produsen kosmetik abal-abal. Meskipun BPOM dan pihak berwenang sudah sering melakukan penyitaan, produsen kosmetik abal-abal tetap menemukan celah untuk memasarkan produk mereka, terutama melalui jalur online.
Mewaspadai Mafia Besar Produk Kecantikan
Dibalik hura-hara produk skincare ini juga kesadaran kita mulai dibangunkan dengan terungkapnya fakta bahwa ada pemain besar dibalik layar yang mengendalikan industri kecantikan. Siapa lagi kalau bukan mafia kelas berat yang bekerjasama dengan oknum-oknum pemerintahan untuk melegalkan produk-produk kecantikan yang berbahaya.
Mafia skincare bertanggung jawab atas produksi produk-produk skincare ilegal atau palsu yang menggunakan bahan-bahan murah dan berbahaya. Produk ini sering kali dijual tanpa pengawasan keamanan, sehingga dapat menimbulkan risiko kesehatan bagi konsumen.
“Desakan” untuk wanita harus memiliki kulit yang putih glowing dimanfaatkan betul oleh para memilik modal (kapitalis) untuk memproduksi sebanyak-banyaknya produk kecantikan agar mereka bisa meraup keuntungan sebesar-besarnya.
Disisi lain pemerintah khususnya instansi yang terkait sepertinya tidak peduli seberapa besar ancaman kesehatan yang bakal muncul kedepannya. Bahkan disinyalir ada kong kali kong para mafia kosmetik dengan para pemegang kekuasaan buktinya banyak skincare yang beredar tanpa pengawasan dan tindakan dari pemerintah dengan tegas. Kalau pun ada penindakan hanya bersifat seremonial saja, toh masih akan beredar produk kecantikan yang abal-abal.
Para kapitalis di yang beraksi di dunia skincare mempromosikan produknya dengan menggunakan “memanipulasi insekuritas konsumen” dimana brand brand skincare menggunakan taktik fear-based marketing, yang memfokuskan pada kekurangan kulit seseorang, seperti jerawat, hiperpigmentasi, atau penuaan dini sehingga terbentuk dipikiran bawah sadar bahwa kulit haruslah sempurna mulus dan glowing agar bisa menjadi wanita sempurna. Pada hal kulit sesorang tetaplah mengalami perubahan seiring perkembangan usia.
Selain itu para kapitalis menerapkan sistem tren produk kecantikan “customized” atau personalisasi, berupa produsesn besar maupun lokal menawarkan solusi skincare yang dirancang khusus untuk masing-masing individu, disetting sedemikian rupa sehingga setiap individu merasa harus memiliki produk tertentu agar kulitnya sempurna.
Pada hal sebagian besar produk tersebut dibuat berdasarkan formula umum yang sudah digunakan di seluruh industri. Dalam konteks kapitalisme, personalisasi ini lebih merupakan strategi pemasaran untuk meningkatkan penjualan ketimbang solusi nyata bagi masalah kulit konsumen.
Selain itu itu para infuenser memegang peranan dalam mempengaruhi calon konsumen. Artis dan influenser yang sudah cantik dan memiliki kulit yang bagus ini juga mendorong tren konsumsi berlebihan dan ekspektasi yang tidak realistis terhadap hasil yang dapat dicapai, merasa terdorong untuk terus mencoba berbagai produk yang diiklankan oleh influencer favorit mereka.
Akibatnya, banyak konsumen terjebak dalam siklus “trial and error,” di mana mereka membeli produk baru hanya karena trend, tanpa mempertimbangkan kecocokan dengan kebutuhan kulit mereka.
Dalam pandangan islam menggunakan produk kecantikan tentu sah-sah saja untuk memperbaiki penampilan namun kalau berdampak buruk bagi kesehatan tentu diharamkan. Dalam Islam sangat menekankan kejujuran dan transparansi dalam menjual sesuatu. Produk yang dijual harus aman dan halal, sesuai dengan ketentuan syariat.
Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala berfirman,
فَلَوْ صَدَقُوا اللَّهَ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ
“Tetapi jikalau mereka berlaku jujur pada Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka” (QS. Muhammad: 21)
Dalam hadist Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya para pedagang akan dibangkitkan pada hari kiamat nanti sebagai orang-orang fajir (jahat) kecuali pedagang yang bertakwa pada Allah, berbuat baik dan berlaku jujur” (HR. Tirmizi)
“Barangsiapa yang menipu, maka ia tidak termasuk golongan kami. Orang yang berbuat makar dan pengelabuan, tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban, shahih).
Banyak mudahrat yang ditimbulkan dari perdagangan yang tidak jujur seperti tidak berkahnya harta yang didapatkannya, diputuskannya rezeki karena mereka memanipulasi produk sehingga laku banyak terjual dan ketika masyarakat mengetahuainya maka mereka tidak akan lagi membeli produknya, dan yang paling mengerikan adalah adanya ancaman dari Allah berupa siksa neraka di akhirat nanti.
Maka sepatunya para mafia produk skincare dan antek-anteknya mulai menyadari betapa perbuatan mereka yang hanya mencari keuntungan semata tanpa memikirkan dampaknya jangka panjang untuk segera bertaubat dan berbisnis dengan kejujuran.
Pemerintah yang berkompeten juga harus bisa mengawasi dengan ketat dan membuat efek jera berupa hukuman yang maksimal, agar para mafia skincare tidak bisa lagi memproduksi produk yang merugikan masyarakat. Wallahu ‘Alaam. (*)
Penulis: Nur Intan (Aktivis Muslimah Makassar)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.