Ironi Rapuhnya Mental Healt Generasi

Ironi Rapuhnya Mental Healt Generasi
Nurhikmah (Tim Pena Ideologis Maros)

OPINI—Mental Illnes kini menjadi salah satu problem tersendiri yang dihadapi masyarakat, bahkan tak hanya generasi muda, tetapi menghinggapi hampir semua kalangan.

Hal itu dapat dilihat dari fenomena aksi bunuh diri yang belakangan marak terjadi. Misalnya saja kasus Mahasiswi UI berinisial MPD yang ditemukan tewas di Apartemen Essence Darmawangsa di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pada Rabu, 8 Maret 2023 lalu.

Dugaan sementara, mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) angkatan 2019 itu mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri dengan cara melompat dari balkon apartemennya. Padahal, diketahui MPD akan mengikuti wisuda Prodi Sarjana Ilmu Komunikasi Kelas Khusus Internasional (KKI) pada Sabtu, 11 Maret 2023. (Tempo.co, 13/3/2023).

Meski belum diketahui jelas motif bunuh dirinya, tetapi ada dugaan hal itu terjadi karena masalah keluarga, karena MPD merupakan anak broken home (kedua orang tuanya telah bercerai).

Tak hanya itu, Warga Ngireng-ireng, Kalurahan Sidomulyo, Kapanewon Bambanglipuro, Bantul, pun sempat dibuat geger oleh penemuan satu warga tewas gantung diri di pohon jati, di belakang rumahnya, Jumat (24/2/2023). Diketahui pula sebelum gantung diri, korban Lek (58) juga sudah minum racun serangga. (iNewsYogya.id, 24/2/2023)

 

Berita Lainnya
Paradigma Sekuler Lahirkan Mental Illnes

Dilansir pada media BBC News Indonesia (25/1/2023), sebuah studi pada tahun 2022 menemukan bahwa angka bunuh diri di Indonesia mungkin empat kali lebih besar daripada data resmi. Kurangnya data telah menyembunyikan skala sebenarnya dari persoalan bunuh diri di Indonesia, menurut sejumlah pakar.

Kemudian jika merujuk data SRS pada tahun 2018, yang sudah disesuaikan dengan estimasi kelengkapan survei 55%, angka kematian akibat bunuh diri di Indonesia sebesar 1,12 per 100.000 penduduk. Menurut Bank Dunia, jumlah penduduk Indonesia pada 2018 adalah 267,1 juta jiwa. Ini berarti ada 2.992 kematian akibat bunuh diri di tahun tersebut.

Lihat Juga:  Perang "Radikalisme" di Kabinet Baru

Sangat disayangkan kesempatan hidup yang harusnya dapat dimanfaatkan dengan baik, melakukan berbagai aktivitas produktif, maupun mengumpulkan bekal menuju kehidupan akhirat justru disia-siakan begitu saja. Terdapat beberapa faktor yang dapat simpulkan dari berbagai aksi bunuh diri yang terjadi tersebut.

Mulai dari faktor ekonomi, ketidakharmonisan hubungan keluarga, beban kehidupan yang berat, tugas sekolah yang menumpuk, sampai masalah percintaan di kalangan remaja. Jika ditarik benang merahnya semua itu terjadi tak terlepas dari lemahnya mental generasi saat ini dalam menghadapi problem kehidupan. Mereka cenderung pesimis dan mudah putus asa.

Sejatinya, mental illnes ini lahir akibat pengadopsian paradigma sekularisme-Kapitalis (pemisahan aturan agama dari kehidupan). Dalam kehidupan ini makna bahagia hanya distandarkan pada aspek materi dan jasmaniyah semata.

Sehingga orang-orang disibukkan untuk mengejar eksistensi diri bagaimanapun caranya. Padahal tanpa mereka sadari kepuasan jasmani yang mereka kejar tak memiliki pangkal maupun ujung. Alhasil, yang mereka dapatkan hanyalah tekanan jiwa yang jika dibiarkan terus seperti itu, emosional seseorang menjadi sulit dikelola.

Berita terkait