OPINI—Oligarki adalah bentuk pemerintahan atau sistem kekuasaan yang kendali politik dan ekonomi dipegang oleh segelintir orang atau kelompok kecil dengan kekayaan, status sosial, kekuasaan politik, atau pengaruh besar. Kata “oligarki” berasal dari bahasa Yunani, oligos yang berarti ‘sedikit’ dan arkho yang berarti ‘memerintah’.
Dalam sistem oligarki, keputusan-keputusan penting yang memengaruhi masyarakat luas diambil oleh kelompok elit yang mendahulukan kepentingannya sendiri di atas kepentingan masyarakat secara keseluruhan..
Kebijakan politik oligarki adalah buah dari sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme. Politik demokrasi—yang pemilu menjadi salah satu pilarnya—membutuhkan biaya mahal untuk bisa menduduki posisi anggota dewan. Di sinilah terbuka peluang transaksional antara partai politik bersama anggota legislatifnya, dan pengusaha yang siap mendanai.
Pada proses inilah terjadi “deal-deal politik”. Anggota dewan yang terpilih bersama parpolnya akan menggunakan posisi mereka di parlemen (DPR) untuk “mengegolkan” UU sesuai kepentingan pengusaha yang mendanai (sponsor).
Akibatnya, dengan dalih hasil dari legislatif, UU yang punya kepentingan itu menjadi legal meski merugikan rakyat banyak. Dari kondisi ini, jelas sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme adalah “ibu-bapak” yang melahirkan politik oligarki.
Untuk melepaskan diri dari jerat politik oligarki, tentu rakyat harus melepaskan dirinya dari sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme secara bersamaan, bukan hanya salah satu saja. Ini karena keduanya adalah paket atau bisa disebut “saudara kembar” dalam pilar peradaban ideologi kapitalisme.
Di sisi lain, media yang harusnya berfungsi sebagai pilar yang mengawasi kekuasaan. Namun, ketika media dikendalikan atau dimiliki oleh oligarki, mereka dapat mengatur narasi politik dan membatasi ruang lingkup diskusi publik, cenderung mengedepankan kepentingan mereka, dan menyensor atau membatasi informasi yang mengancam posisi mereka.
Alhasil, informasi yang diterima warga “dirumuskan” oleh pihak yang mempunyai kekuatan ekonomi. Pandai memoles dan memanipulasi informasi, memutarbalikkan fakta dan menyembunyikan kebenaran.
Pembahasan tentang kebobrokan demokrasi kapitalisme jelas sudah sejak lama dan sejak dulu. Betapa “menakjubkannya” negera ini masih bertahan dengan demokrasi, padahal banyak yang sudah menganggap demokrasi bukanlah sistem ideal. Mengapa bisa terjadi? Karena kurangnya edukasi.
Di sini pentingnya edukasi dan dakwah pendidikan tentang politik Islam ke tengah-tengah masyarakat. Semua ini agar masyarakat memiliki kesadaran politik, partai politik yang shohih dan sadar akar rusaknya sistem sekarang dan pentingnya mengembalikan sistem Islam.
Sistem Islam menghilangkan oligarki
Dalam sistem pemerintahan Islam, kaidah fikih menyebutkan: tidak dibenarkan menghalalkan segala macam cara (Ahmad al-Mahmud, Ad- Da’wah ilaa al-Islam, hlm.288). Berikut beberapa aspek kunci dari sistem pemerintahan Islam yang dapat menghilangkan pengaruh oligarki.
Pertama, kedaulatan di tangan syarak. Hanya Allah satu-satunya Sang Pembuat Hukum. Tidak ada seorang pun manusia mempunyai hak legislasi (membuat hukum). Dengan demikian, tidak ada badan legislatif dalam struktur pemerintahan Islam karena kedaulatan ada di tangan syarak, yaitu Al-Qur’an dan Sunah. Bukan berada di tangan umat, apalagi segelintir elit atau kelompok kaya.
Kedua, pengelolaan sumber daya alam. Sistem ekonomi Islam secara tegas mengatur akan kepemilikan individu, umum, dan negara. Islam menekankan bahwa SDA yang vital, seperti air, api-minyak, dan padang rumput-hutan, adalah milik umum dan harus dikelola negara untuk kepentingan umat.
Negara berperan sebagai pengelola dan kekayaan alam tidak boleh dimonopoli oleh kelompok elit atau individu kaya, sebagaimana sering terjadi dalam sistem kapitalisme-demokrasi-oligarki.
Hasil dari sumber daya ini digunakan untuk kesejahteraan masyarakat secara umum, seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dsb. Begitu pun sistem distribusi kekayaan, Islam memastikan seluruh rakyat bisa memenuhi kebutuhan primer, sekunder, maupun tersiernya.
Ketiga, pemilihan khalifah berdasarkan kompetensi yang sehat, keadilan, dan ketakwaan; bukan berdasarkan kekayaan, keturunan, atau kedekatan dengan kelompok elit.
Rasulullah saw. bersabda, “Jika amanah disia-siakan, tunggulah kehancuran.” Lalu ada yang bertanya, “Bagaimana amanah disia-siakan?” Rasulullah saw. menjawab, “Jika suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.” (HR Bukhari).
Dengan penegakan hukum Islam secara komprehensif, peluang kuasa oligarki yang menyengsarakan rakyat tidak memiliki ruang dan waktu.
Sementara itu, sistem demokrasi—pada realitasnya sekalipun—bertentangan dengan prinsip dasarnya sendiri sehingga kuasa oligarki tidak bisa dihilangkan, bahkan makin mendominasi sepanjang perjalanan implementasinya.
Akhirnya, tidak ada lagi alasan untuk mempertahankannya dan segera beralih pada penerapan sistem Islam kafah.
Langkah perubahan mengikuti dakwah Rasulullah membangun sistem politik islam
Dakwah bukan sekedar seruan kepada orang lain agar melakukan kebaikan, melainkan harus disertai upaya untuk melakukan perubahan. Oleh karena itu, dakwah tidak cukup hanya dengan menyerukan kebaikan kepada orang lain, tetapi harus ada upaya untuk mengubah.
Untuk menghadapi tantangan sistem jahiliah abad ke-21, dakwah harus diarahkan pada upaya untuk perubahan sistem. Memahamkan umat Islam hari ini agar politik Islam bisa berjalan menggantikan politik sekuler yang merusak.
Hal itu akan terwujud dengan memahami politik Islam dan perubahan politik menuju sistem Islam, bukan mempertahankan demokrasi kapitalisme yang terbukti problematik.
Rasulullah SAW. memulai dakwah dengan seorang diri, kemudian membentuk gerakan kelompok dakwah politik (kutlah siyasiyah). Artinya, Rasulullah saw. tidak berdakwah sendiri.
Untuk itu umat Islam membutuhkan sebuah partai Islam ideologis. Karena hanya partai Islam ideologis yang mampu mencetak kader-kader terbaik pelaku perubahan dengan militansi tinggi seperti Ali bin Abi Thalib, juga Mushab bin Umair.
Kriteria parpol sahih harus dipahami masyarakat–umat, yaitu memiliki ideologi shahih (Islam) sekaligus menjadi ikatan yang menghimpun para anggotanya; memiliki konseptual politik yang dipilih untuk menjalankan perubahan (mengadopsi fikrah politik tertentu); memiliki metode langkah perubahan yang relevan dengan problem sistem (metode perubahan yang teruji); memiliki para anggota yang memiliki kesadaran yang benar (bukan sekedar karena ketokohan, kepakaran, jabatan).
Jadi sudah semestinya umat harus bergabung dengan parpol sahih untuk memperbaiki kehidupan masyarakat dan negara. Mewujudkan tata dunia baru yang berbeda dengan model politik demokrasi yang jelas gagal sejak lama. (*)
Wallahu a’alam bisshowab
Penulis: Desi Hamdalah
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.