OPINI—Pernyataan Presiden Prabowo Subianto dalam Munas Partai Golkar mengenai potensi pengalihan pemilihan kepala daerah (pilkada) ke DPRD, dengan alasan efisiensi anggaran, telah memicu perdebatan publik.
Wacana ini menuntut pengkajian mendalam terhadap efektivitas dan implikasi sistem pilkada, baik langsung maupun tidak langsung, bagi demokrasi Indonesia. Pilkada serentak 27 November 2024 lalu juga meninggalkan pekerjaan rumah penting terkait penyelenggaraan dan pendanaan.
Pernyataan Presiden Prabowo tentang besarnya biaya pilkada perlu diklarifikasi secara spesifik. Data Kementerian Keuangan menunjukkan alokasi hibah pemerintah daerah kepada KPU dan Bawaslu mencapai Rp37,25 triliun untuk 545 daerah yang menggelar pilkada serentak. Angka ini memang signifikan.
Namun, pertanyaan krusialnya adalah komponen biaya mana yang dianggap memberatkan? Biaya pilkada dapat dikategorikan menjadi tiga: biaya penyelenggaraan, biaya kampanye peserta, dan biaya yang dikeluarkan pemilih (walaupun relatif kecil). Evaluasi yang komprehensif diperlukan untuk mengidentifikasi sumber pemborosan yang sesungguhnya sebelum menyimpulkan perlunya perubahan sistem.
Sejak 2005, pilkada langsung telah menjadi bagian dari perjalanan demokrasi Indonesia, memberikan pengalaman berharga tentang pentingnya kepala daerah yang kompeten dan proses pemilihan yang adil.
Mengembalikan pemilihan ke DPRD menimbulkan pertanyaan fundamental: apakah langkah ini disetujui oleh rakyat? Apakah justru memfasilitasi negosiasi politik elitis dan mengabaikan partisipasi publik? Jika fokusnya adalah efisiensi biaya, perlu ditegaskan bahwa faktor utama mahalnya biaya politik bukan pada pemilih, melainkan pada peserta pilkada.
Biaya penyelenggaraan, dengan asumsi regulasi yang tetap, cenderung stabil dari satu pilkada ke pilkada berikutnya. Persaingan antarpeserta untuk memenangkan kontestasi, dengan segala cara, menjadi pemicu utama lonjakan biaya.
Fenomena ini menarik untuk dicermati. Janji-janji kebijakan peserta pilkada menjadi preferensi pemilih. Namun, ambisi kemenangan seringkali mendorong penggunaan taktik kampanye yang beragam, baik legal maupun ilegal. Biaya kampanye resmi, seperti akomodasi, saksi, dan tim pemenangan, sudah dipahami publik.
Persoalannya terletak pada biaya ilegal atau tidak resmi. Survei KPK dan LIPI menunjukkan perkiraan biaya minimal calon kepala daerah berkisar antara Rp20 miliar hingga Rp100 miliar. Realitasnya, dengan kampanye yang semakin kreatif dan masif, angka ini bisa jauh lebih tinggi, bahkan mencapai triliunan untuk tingkat provinsi.
Pengelolaan dana kampanye yang diatur KPU mewajibkan pelaporan kepada publik. Namun, laporan ICW menemukan anomali, seperti 14 calon yang mencantumkan Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) sebesar Rp0 dan 33 pasangan calon dengan total pengeluaran Rp0.
Anomali ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan penegakan aturan. Evaluasi yang mendalam terhadap kinerja KPU dan Bawaslu diperlukan untuk memastikan akuntabilitas dan transparansi. Investigasi mendalam perlu dilakukan untuk membuktikan kebenaran laporan dana kampanye yang mencurigakan.
Hak Rakyat yang Terampas?
Sila keempat Pancasila, “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan,” perlu diinterpretasikan secara tepat dalam konteks pemilihan kepala daerah. Jika pemilihan diwakilkan oleh DPRD, mandat tersebut harus diatur secara eksplisit dalam undang-undang.
Pertanyaan pentingnya, apakah pengalihan hak ini akan benar-benar menghilangkan biaya politik yang besar? Jika dalam pemilihan langsung praktik money politic digunakan untuk memenangkan suara, apakah praktik ini akan hilang begitu saja jika pemilihan dilakukan oleh DPRD?
Realitasnya, bahkan dalam sistem pemilihan langsung, koalisi partai politik seringkali bersatu untuk memenangkan calon tertentu. Potensi praktik serupa, bahkan dengan skala yang lebih terkonsentrasi, sangat mungkin terjadi jika pemilihan dilakukan oleh DPRD.
Koordinasi suara antar anggota DPRD yang notabene merupakan representasi partai politik akan lebih mudah, dan risiko money politic justru meningkat karena hanya melibatkan sejumlah kecil orang. Fokus pada efisiensi biaya menjadi ambigu.
Manipulasi anggaran dan kolusi antar anggota DPRD, yang sering disorot KPK, justru berpotensi meningkat. Efisiensi anggaran dengan peralihan sistem ini sangat diragukan, mengingat potensi kepentingan tertentu di balik koalisi partai politik.
Evaluasi Pembiayaan Partai Politik
Pertanyaan krusial lainnya adalah bagaimana pembiayaan partai politik dan potensi manipulasi anggaran yang dialihkan ke kepentingan partai. Publik berhak mengetahui sumber dan penggunaan dana partai, terutama dalam konteks pilkada. Transparansi pendanaan partai, termasuk dana yang bersumber dari APBN (sesuai UU Nomor 2 Tahun 2011 dan PP No 1 Tahun 2018), harus diaudit secara ketat.
Evaluasi yang komprehensif terhadap partai politik menjadi krusial, mengingat peran sentralnya dalam kebijakan eksekutif dan legislatif. Terlepas dari klaim bahwa partai tidak mengontrol anggota DPR/DPRD atau kepala daerah, faktanya mereka diusung dan didukung oleh partai. Tanpa mengupas tuntas pendanaan partai, akan sulit merumuskan evaluasi pilkada yang efektif.
Jaminan Kesejahteraan Pasca Pilkada Tidak Langsung?
Perbandingan dengan negara maju menunjukkan perbedaan sistem pemerintahan. Indonesia menganut sistem presidensial, sementara negara lain menerapkan sistem parlementer atau semi-presidensial.
Pertanyaan kuncinya adalah apakah sistem yang berjalan saat ini menghasilkan pemimpin berkualitas? Secara konsep, sistem yang ideal adalah yang adil, transparan, dan melibatkan partisipasi rakyat. Namun, praktik di lapangan seringkali diwarnai dengan berbagai pelanggaran.
Pilkada seharusnya menjadi momentum untuk menyatukan visi demi kepentingan rakyat, bukan sekadar ajang perebutan kekuasaan oleh elite politik. Wacana pilkada tidak langsung, dengan janji efisiensi anggaran dan peningkatan kesejahteraan, perlu dikaji secara kritis.
Skeptisisme publik terhadap pemerintah saat ini menjadi tantangan tersendiri. Jika wacana ini dipaksakan, potensi agenda tersembunyi elite politik dan oligarki justru akan semakin besar. (*)
Penulis: Sabarnuddin (Mahasiswa Sejarah Universitas Negeri Padang)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.