OPINI—Dunia pendidikan sepekan terakhir heboh terkait keputusan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang tertuang dalam Permendikbud No. 6/2021 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Dana BOS Reguler sebagai tindak lanjut dari Permendikbud No. 3/2019 tentang Petunjuk Teknis BOS Reguler.
Pada lampiran Bab III, Huruf A, angka 2, huruf k Permendikbud tahun 2019 diatur bahwa Pemerintah Daerah dan masyarakat penyelenggara pendidikan, sesuai dengan kewenangannya harus memastikan penggabungan sekolah yang selama 3 (tiga) tahun berturut-turut memiliki peserta didik kurang dari 60 (enam puluh) peserta didik dengan sekolah sederajat terdekat, kecuali sekolah yang dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam huruf i. Sampai dengan dilaksanakannya penggabungan, maka sekolah tersebut tidak dapat menerima dana BOS regular.
Reaksi pun ditunjukkan oleh masyarakat, termasuk ormas besar seperti NU, Muhammadiyah, dan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Keputusan pemerintah ini, meski ada pengecualian-pengecualian, dinilai sangat tidak bijak dan diskriminatif.
Kondisi pandemi menjadikan kebijakan tersebut terasa lebih memberatkan. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) meluas sehingga berdampak pada kemampuan orangtua siswa menunaikan pembayaran uang sekolah anak-anak mereka. Sekolahpun tak sanggup memenuhi biaya operasional termasuk membayar tenaga pengajar yang sebelumnya juga dibayar seadanya.
Meski akhirnya pada 9 September 2021 Kemendikbudristek melalu Menteri Nadiem Anwar Makarim mengumumkan menunda pemberlakuan persyaratan dalam Permendikbud tersebut, masalah anggaran pendidikan ini tetap membayangi institusi pendidikan khususnya sekolah-sekolah swasta. Jika tak jadi dilaksanakan pada 2022, maka tahun-tahun berikutnya kemungkinan diberlakukannya sangat besar akan terjadi.
Pendidikan, Komersialisasi dan Keterlibatan Korporasi
Argumentasi minimnya dana untuk penyediaan fasilitas terbaik untuk pelayanan rakyat termasuk pendidikan selama ini digunakan pemerintah sebagai dasar untuk membuka ruang dilibatkannya pihak ke tiga dalam penyelenggaraan pendidikan. Alasan pemberdayaan masyarakat dan membangun kemitraan pun digunakan untuk makin menguatkan kebijakan yang diambil.
Sebagai kebutuhan dasar manusia, pendidikan menjadi salah satu prioritas yang diupayakan pemenuhannya. Sayangnya, prinsip sekulerisme nan kapitalistik yang dijadikan asas dalam pengaturan kehidupan manusia saat ini menjadikan sektor pendidikan sebagai salah satu target meraup keuntungan. Swastanisasi pun tak terelakkan. Negara mengambil peran sebatas regulator antara rakyat dengan pihak ke tiga dalam hal ini kapitalis lokal maupun asing.
Bermainnya korporasi besar dalam pendanaan pendidikan ini tentu tanpa akibat. Arah kurikulum diatur sesuai kepentingan perusahaan, tergantung pada kebutuhan pasar dan industri.
Maka, harapan terwujudnya output pendidikan yang beriman dan bertakwa pun terasa semakin jauh panggang dari api. Selain itu, lembaga-lembaga pendidikan kecil berbasis swadaya pun semakin terpinggirkan. Meski tak banyak bergantung pada bantuan Negara, namun mereka seringkali menjadi korban kebijakan penguasa.
Anggaran Pendidikan dari Baytul Maal
Berbeda dengan sistem sekulerisme-kapitalisme, Islam memandang pendidikan sebagai hajat vital rakyat yang wajib difasilitasi Negara dengan layanan maksimal. Maksimalnya penyediaan layanan ini tentu membutuhkan anggaran yang menjadi salah satu prioritas dalam penyusunan pos pembelanjaan Negara.
Baytul Maal sebagai lembaga keuangan Negara memasukkan pembelanjaan pendidikan pada pos kepemilikan umum. Pemasukan pos kepemilikan umum sendiri didapatkan dari hasil pengelolaan kekayaan milik umum berupa sumber daya alam yang melimpah ruah, dimana kepemilikannya dalam Islam tidak boleh diserahkan kepada swasta tetapi wajib dikelola oleh Negara untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kemaslahatan umat.
Maka, negeri yang dijuluki gemah ripah loh jinawi untuk menggambarkan melimpahnya kekayaan alam yang telah Allah karuniakan ini, semestinya tak ada istilah efisiensi anggaran sebagai alasan membatasi pemberian anggaran untuk kemaslahatan rakyat termasuk layanan untuk pendidikan. Yang dibutuhkan adalah pengelolaan kekayaan berstandar aturan Ilahi, alih-alih menggunakan tata kelola sekulerisme-kapitalisme nan rakus dan tidak pernah memihak rakyat kecuali sekelompok kecil korporasi raksasa.
Cukuplah peringatan Allah SWT berikut menjadi pengingat: “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al Maidah: 50). (*)
Penulis: Nurhidayah Rahman, S.Si (Aktivis Muslimah Makassar)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.