OPINI—Setiap orang yang menggunakan musik/lagu dalam bentuk layanan publik untuk tujuan komersil diwajibkan membayar royalti. Ketentuan ini termaktub di dalam Peraturan Pemerintah (PP) 56 Tahun 2021 tentang pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu/Musik yang baru disahkan oleh Presiden Joko Widodo tahun ini.
Ketentuan ini kemudian menimbulkan pro dan kontra pada obrolan dunia maya. Informasi yang tersaji juga tidak cukup lengkap untuk memberi pemahaman komprehensif akan kebijakan ini. Apa lagi disahkan di masa pandemi.
Dibutuhkan diseminasi terkait soal isi dan maksud peraturan ini bersama dengan lembaga yang berkepentingan agar tidak terjadi salah presepsi dan misinformasi di tengah masyarakat
Ruang lingkup layanan publik yang dimaksud meliputi pertunjukan, pengumuman, dan komunikasi seperti bioskop, konser, pesawat, pameran, dll sejenis.
Kata kuncinya adalah untuk tujuan komersil, selain itu tidak dikenai kewajiban royalti. Jadi, jika untuk dinikmati sendiri tidak termasuk di dalamnya.
Pembayaran royalti juga tidak langsung ke pemilik hak tetapi melalui melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dan sebaliknya pemilik hak memperoleh royalti dari LMKN sesuai dengan hitung-hitungan yang telah ditetapkan.
Siapa yang wajib membayar adalah yang berbisnis, pemilik cafe bukan penyanyinya. Sebaliknya pemilik karya juga wajib terdaftar pada LMKN untuk mendapatkan royalti.
Bagaimana dengan sektor UMKM yang menjadikan musik dan lagu sebagai daya tariknya? Peraturan ini mengamanatkan untuk memberi keringanan royalti pada UMKM. Kepastian detailnya akan diatur lebih lanjut dengan peraturan setingkat kementerian.
Peraturan ini tidak sekedar memuat analog tetapi juga digital. Misalnya pada kanal YouTube diputar sebuah lagu dan ditampilkan iklan berbayar maka otomatis sifatnya komersil dan dikenai royalti.
Perlu dipahami bahwa peraturan ini bukanlah sebagai penghambat suatu usaha, tetapi perlu dimaknai sebagai upaya untuk memberikan perlindungan hukum terhadap Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan pemilik Hak Terkait terhadap hak ekonomi atas lagu dan/atau musik.
Ketentuan ini memberi rasa adil kepada pencipta, mereka tidak sekedar menjadi penonton tetapi dapat turut serta mencicipi keuntungan atas pemanfaatan karya mereka.
Sama seperti penulis yang menerima bagian keuntungan atas penjualan buku mereka dari penerbit.
Faktanya penarikan royalti dari karya musik-lagu sudah lama terlaksana di negara-negara maju seperti Amerika dan Eropa. Di Indonesia sendiri telah terlaksana jauh sebelum PP ini disahkan. Dasar hukumnya berpijak pada UU Hak Cipta 28/2014.
Penghargaan terhadap ciptaan perlu dibudayakan secara massif agar kreatifitas berkarya dapat tumbuh berkembang secara jujur. Bukan malah budaya ciplak menjiplak yang membumi, memanfaatkan sepihak hasil karya orang untuk mendapatkan keuntungan, mengabaikan etika dan kesadaran moralitas.
Kita berharap dengan diberlakukannya peraturan ini, para pelaku seni musik/lagu lebih terpacu untuk berkarya khususnya di Sulsel. Dengan adanya PP ini, Hak ekonomi mereka ke depan akan lebih jelas.
Terkait besaran royalti idealnya tentunya yang tidak memberatkan pengusaha dan sebaliknya pemilik karya tetap terpenuhi hak ekonominya. Pelaku usaha, pemilik hak karya, dan LMKN dapat duduk bersama mencari win win solution. Pengaturan secara hukum oleh pemerintah tentu sebatas untuk memberi rasa adil di tengah masyarakat.
PP 56/2021 merupakan amanat dari Pasal 35 Ayat (3) dari UU Hak Cipta 28/2014 yang mengatur secara spesifik tentang Royalti Lagu dan Musik.
Terdapat dua substansi hak di dalam UU Hak Cipta, pertama: hak moral yang melekat secara abadi pada diri pencipta. Kedua, hak ekonomi yang merupakan hak eksklusif untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas suatu ciptaan yang dapat menghasilkan uang atau monetisasi.
Hak ekonomi tersebut terkait dengan royalti dan lisensi. Royalti diartikan sebagai imbalan atas pemanfaatan hak ekonomi suatu ciptaan atau produk hak terkait. Sedangkan lisensi adalah izin tertulis yang diberikan oleh pemegang hak untuk melaksanakan hak ekonomi atas ciptaannya atau produk hak terkait dengan syarat tertentu.
Tugas Kemenkumham melalui DJKI ke depan adalah membangun pusat data lagu dan musik terintegrasi sehingga jumlah musik dan pemegang hak terkait lebih mudah untuk ditelusuri. Serta mengawal peraturan teknis yang menjabarkan lebih detail isi PP 56. Sementara peran masyarakat tentunya dibutuhkan masukannya terkait peraturan lebih teknis yang akan digodok oleh pemerintah. (*)