OPINI—Kasus perundungan di kalangan pelajar kembali mencuat. Wakil Ketua Komisi X DPR, Lalu Hadrian Irfani, menyoroti kasus perundungan siswa SMP di Kabupaten Bandung. Korban bahkan sempat diceburkan ke sumur oleh pelaku. Legislator PKB ini menegaskan perlunya penanganan serius, baik secara administrasi maupun hukum.
“Kerja sama dengan Kementerian PPPA, KPAI, dan aparat penegak hukum sangat penting, agar kekerasan tidak hanya ditangani administratif, tetapi juga hukum,” ujarnya (RRI.co.id, 27/6/2025).
Kapolsek Ciparay, Iptu Ilmansyah, mengungkapkan peristiwa tragis itu terjadi pada Mei 2025. Korban dipaksa dua teman SMP-nya dan seorang pria dewasa menenggak tuak. Saat korban menolak, ia dipaksa meminum setengah gelas tuak (CNNIndonesia.com, 26/6/2025).
Perundungan seperti ini terus berulang, bahkan kian mengarah pada tindakan kriminal. Ironisnya, pelaku seringkali teman seumuran korban. Fenomena gunung es—kasus di permukaan hanyalah sebagian kecil dari yang terjadi—semakin nyata.
Data Kementerian PPPA menegaskan kondisi darurat ini. Sepanjang 2024, tercatat 28.831 kasus kekerasan anak, termasuk bullying. Angka ini menguatkan temuan KPAI dan Komnas HAM: hampir 15 persen pelajar di sekolah pernah mengalami perundungan.
Pemerintah memang sudah berupaya. Program Roots bersama UNICEF sejak 2017, pembentukan satgas sekolah, sekolah ramah anak, hingga Permendikbudristek 46/2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Sekolah digulirkan. Namun, Wakil Ketua Komisi X DPR, Dede Yusuf, menilai aturan ini masih jauh dari kata efektif (Republika, 3/10/2023). Jika semua program ini belum menuntaskan akar masalah, lalu apa jalan keluarnya?
Mencari Akar Masalah
Akar masalah perundungan anak tidak sesederhana kurangnya pengawasan orang tua atau dampak game online. Faktor lingkungan memang memengaruhi, tapi itu hanya permukaan. Akar sesungguhnya adalah cara pandang hidup masyarakat—sistem sekuler kapitalis yang menyingkirkan nilai agama dari perilaku individu.
Sekularisme melahirkan kebebasan tanpa batas, menempatkan agama hanya di ruang privat. Akibatnya, generasi tumbuh tanpa kendali moral yang kokoh. Sistem pendidikan sekuler yang menitikberatkan aspek kognitif, gagal membentuk akhlak mulia dan ketakwaan. Penguatan karakter hanya formalitas di atas kertas.
Sebaliknya, pendidikan Islam memiliki tujuan jelas: membentuk kepribadian Islam yang melekat pada anak didik. Anak dibekali pedoman dalam bertindak, dengan akidah sebagai fondasi. Sistem ini menanamkan ketakwaan, membangun kontrol diri, sekaligus menyediakan aturan untuk mencegah perilaku menyimpang seperti bullying.
Solusi Islam
Islam memandang perundungan, baik fisik maupun verbal, sebagai perbuatan terlarang. Setiap tindakan manusia akan dipertanggungjawabkan, di dunia maupun di akhirat. Dalam pergaulan, Islam mengatur akhlak sehingga naluri agresif diarahkan menjadi kasih sayang.
Pembentukan karakter tidak cukup hanya di sekolah, tetapi membutuhkan dukungan masyarakat dan negara. Negara dalam sistem Islam bertanggung jawab penuh menjamin anak terjaga dari segala bentuk kezaliman. Negara juga menerapkan sanksi tegas untuk memberi efek jera kepada pelaku.
Pelajaran dari Kisah Sahabat
Ada pelajaran berharga dari masa Rasulullah saw. Abu Dzar al-Ghifari pernah menghina Bilal bin Rabah dengan menyebut warna kulitnya. Rasulullah saw. langsung menegur Abu Dzar karena menilai ucapannya sebagai sisa perilaku jahiliah. Abu Dzar pun menyesal, memohon ampun, bahkan merendahkan dirinya di hadapan Bilal sebagai bentuk penyesalan. Bilal menolak menghina balik dan justru memaafkannya. Kisah ini menunjukkan betapa tegasnya Islam memerangi tindakan merendahkan sesama.
Bandingkan dengan kondisi hari ini. Pelaku bullying kerap tidak menyesal. Hukuman tidak menimbulkan efek jera. Akibatnya, kasus makin banyak, bahkan memakan korban jiwa. Sudah sepatutnya contoh keteladanan sahabat Nabi ini diajarkan, agar anak didik memahami dampak buruk bullying, termasuk ancaman siksaan di akhirat.
Saatnya Beralih pada Solusi Hakiki
Fakta yang berulang membuktikan sistem sekuler kapitalis gagal mencetak generasi berkepribadian mulia. Tidak cukup hanya program formal, jika akar sekularisme tidak dicabut. Kaum Muslim butuh sistem Islam yang diterapkan secara kaffah—menyeluruh—dalam naungan negara. Inilah Daulah Islam yang akan memastikan keluarga, masyarakat, dan negara berjalan selaras melindungi anak.
Dengan penerapan aturan Islam yang paripurna, pelaku bullying tidak hanya dihukum setimpal, tetapi dicegah sejak dini melalui pembentukan iman, akhlak, dan sanksi yang menjerakan. Insya Allah, dengan izin Allah, generasi akan tumbuh aman dan jauh dari kekerasan.
Wallahu a’lam bishshawab. (*)
Penulis: Ummu Khadijah (Tenaga Pendidik)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.

















