Advertisement - Scroll ke atas
Opini

Tunjangan Fantastis Anggota DPR, Ironi di Tengah Krisis

704
×

Tunjangan Fantastis Anggota DPR, Ironi di Tengah Krisis

Sebarkan artikel ini
Risnawati Ridwan
Risnawati Ridwan (Aktivis Muslimah)

OPINI—Kontras yang menyakitkan kembali hadir di negeri ini. Di saat jutaan rakyat dipaksa bertahan menghadapi gelombang PHK massal dan kenaikan pajak bumi dan bangunan, para anggota DPR justru menikmati lonjakan penghasilan yang menembus lebih dari Rp 100 juta per bulan. Fakta ini terungkap ketika Wakil Ketua DPR Adies Kadir membeberkan rincian penghasilan anggota parlemen periode 2024–2029.

Meski gaji pokok hanya sekitar Rp 6,5–7 juta, berbagai komponen tunjangan melesat tajam. Yang paling mencolok adalah tunjangan perumahan baru sebesar Rp 50 juta per bulan. Tunjangan beras pun naik dari Rp 10 juta menjadi Rp 12 juta, sementara tunjangan bensin yang sebelumnya Rp 4–5 juta kini melonjak menjadi Rp 7 juta per bulan. Belum lagi tunjangan makan yang ikut disesuaikan dengan indeks terkini, meski besaran pastinya tak dirinci.

Advertisement
Scroll untuk melanjutkan

Jika ditotal, penghasilan seorang anggota DPR mencapai sekitar Rp 70 juta, belum termasuk kompensasi rumah dinas yang nilainya setara Rp 50 juta. Angka fantastis ini jauh lebih tinggi dibanding periode sebelumnya yang hanya sekitar Rp 58 juta.

Ironinya, kenaikan tunjangan ini terjadi di tengah kebijakan efisiensi APBN. Transfer ke daerah dipangkas, pemerintah daerah terpaksa menaikkan PBB, dan beban akhirnya jatuh ke pundak masyarakat.

Ketimpangan ini menuai kritik keras. Achmad Nur Hidayat, pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, menilai langkah tersebut tidak hanya tak layak, tapi juga menampar rasa keadilan publik.

Di saat seluruh elemen bangsa diminta berhemat, para wakil rakyat justru menambah fasilitas pribadi. Pesan yang muncul jelas: rakyat dikorbankan demi kenyamanan elit politik.

Kritik serupa datang dari para pengamat kebijakan publik lainnya. Besaran tunjangan dinilai tak sebanding dengan kinerja DPR yang selama ini dinilai jauh dari harapan. Alih-alih memperjuangkan kesejahteraan rakyat, legislatif justru sibuk mengamankan kesejahteraan dirinya sendiri. Fungsi pengawasan melemah, legislasi sering kali mandek, dan produktivitas politik kerap dipertanyakan.

Fenomena ini sejatinya mencerminkan persoalan yang lebih sistemik. Demokrasi yang berjalan hari ini memberi ruang luas bagi politik transaksional, menjadikan jabatan publik sebagai sarana memperkaya diri.

Celah semakin besar ketika anggota DPR punya kewenangan menentukan sendiri besaran anggaran yang menguntungkan mereka. Mekanisme check and balance pun lumpuh, sebab yang mengawasi dan diawasi berasal dari lingkaran yang sama.

Di titik ini, muncul tawaran alternatif dari perspektif Islam. Konsep Majelis Ummah dipandang lebih berpihak pada rakyat. Dr. Ahmad Syafii dari Universitas Islam Negeri Jakarta menegaskan bahwa dalam Islam, asas yang mendasari politik adalah akidah, dengan syariat sebagai pedoman utama.

Anggota majelis dipilih karena integritas, bukan karena harta atau status. Mereka tidak memiliki kewenangan membuat hukum, sebab hukum bersumber dari syariat, sehingga kebijakan tidak bisa ditunggangi kepentingan kelompok tertentu.

Selain itu, akuntabilitas dalam Islam lebih tegas. Setiap jabatan dipertanggungjawabkan bukan hanya di hadapan manusia, tapi juga di hadapan Allah. Ikatan antaranggota pun bukan materi, melainkan akidah.

Dengan semangat fastabiqul khairat, majelis berfungsi menyampaikan aspirasi rakyat tanpa terjebak politik transaksional. Hasilnya adalah tata kelola yang lebih adil dan selaras dengan kebutuhan masyarakat.

Allah SWT sendiri telah menegaskan dalam surah Ali Imran ayat 104 tentang kewajiban membentuk partai politik yang berlandaskan Islam.

Aktivitas politik dipahami sebagai bagian dari dakwah, bukan sekadar perebutan kekuasaan. Ikatan perjuangan berbasis akidah menjadikan politik sebagai jalan pelayanan, bukan jalan keuntungan.

Kritik keras publik atas tunjangan DPR adalah alarm bahwa status quo tidak bisa dipertahankan. Demokrasi yang melahirkan parlemen berorientasi materi semakin kehilangan legitimasi. Rakyat menuntut perubahan, dan alternatif berbasis syariat Islam dengan konsep Majelis Ummah menawarkan arah baru.

Jalan ini memang menuntut perubahan paradigma, tetapi pada akhirnya hanya sistem yang adil dan berpihak pada rakyatlah yang akan membawa negeri ini keluar dari lingkaran krisis kepercayaan yang kian menganga. (*)

 

Penulis: Risnawati Ridwan (Aktivis Muslimah)

 

 

***

 

 

Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.

error: Content is protected !!