Advertisement - Scroll ke atas
  • Pemkot Makassar
  • Dirgahayu TNI ke-79
  • Bapenda Makassar
  • Universitas Diponegoro
Opini

Eksploitasi Anak, Salah Siapa?

487
×

Eksploitasi Anak, Salah Siapa?

Sebarkan artikel ini
Eksploitasi Anak, Salah Siapa?
Dwi Setiawati, S.Pd (Aktivis Muslimah)
  • Pemprov Sulsel
  • Ir. Andi Ihsan, ST, MM (Kepala Biro Umum Pemprov Sulsel)
  • PDAM Makassar
  • Pilkada Sulsel (KPU Sulsel)

OPINI—Hingga saat ini kasus ekspoitasi pada anak terus meningkat. Polda Metro Jaya menangkap seorang perempuan muda yang menjadi muncikari pada kasus prostitusi anak atau tindak pidana perdagangan orang (TPPO) melalui media sosial. Korbannya adalah dua anak berumur 14 dan 15 tahun. (Media Indonesia, 24/09/2023).

Dalam aksinya, pelaku mematok tarif Rp1,5 juta—Rp8 juta per anak per jam, sedangkan pelaku mendapat bagian sebesar 50%. Konon, pekerjaan haram ini telah ia lakukan sejak April lalu dan hasilnya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Kasus ini terungkap melalui patroli siber oleh kepolisian. (Republika, 24-9- 2023).

Advertisement
Scroll untuk melanjutkan

Selain itu di Sulawesi Selatan, Polres Parepare kembali mengungkap kasus eksploitasi anak di bawah umur atau tindak pidana perdagangan orang (TTPO). Ada dua orang anak di bawah umur itu jadi korbannya yang dijadikan Pekerja Seks Komersial (PSK) oleh pelaku DM (18) tahun Yakni, inisial H (14) dan A (16) ini, keduanya beralamat Parepare dan tersangka juga berdomisili alamat Parepare.

DM juga mengakui bahwa dari hasil upayanya esek esek tersebut, ia mendapatkan keuntungan sebesar Rp 100.000 dari korban berinisial H, dan keuntungan sebesar Rp. 50.000 dari korban inisial A. Dikutip dari (Fajar.co.id, 4-07-2023).

Dari kedua kasus tersebut keduanya mengaku melakukan prostitusi karena faktor ekonomi. Mereka mengenal pelaku dari pergaulan. Pelaku juga diduga melakukan eksploitasi secara seksual pada 21 anak lainnya yang mayoritas masih sekolah.

Pelaku menawarkan prostitusi online melalui media sosial X (sebelumnya Twitter). Dua kasus eksploitasi tersebut juga menunjukkan bahwa anak Indonesia dalam kondisi tidak aman. Mereka menjadi target eksploitasi oleh orang-orang tak bertanggung jawab.

Mereka dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk memperoleh keuntungan. Ditambah, teknologi digital memudahkan pelaku untuk melakukan aksinya. Jutaan rupiah mengalir dengan mudah melalui anak-anak tersebut.

Sayangnya, anak-anak tersebut berada dalam lingkungan yang tidak aman. Tidak ada perlindungan dari orang tua, meski sebenarnya orang tuanya ada. Demikian juga dengan masyarakat sekitar, meski ada, mereka tidak berfungsi sehingga kasus eksploitasi anak tersebut terus terjadi selama berbulan-bulan dan baru terungkap saat ini.

Para pelaku tahu betul bahwa anak-anak tersebut kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari keluarganya sehingga pelaku sengaja menargetkan mereka dengan harapan tidak ada yang mengetahui dan mencegah aksi jahatnya.

Dua kasus yang terungkap tersebut sebenarnya merupakan puncak gunung es saja. Di masyarakat dimungkinkan banyak praktik serupa, tetapi belum terungkap. Hal ini hendaknya menjadi alarm peringatan untuk kita para orang tua bahwa anak Indonesia rentan dieksploitasi.

Jika kita melihat kembali bahwa faktor eksploitasi pada anak disebabkan karena, ekonomi yang tidak sejahtera, minimnya perindungan dari negara, dan kurangnya keimanan yang tumbuh di jiwa masyarakat. Semua ini terjadi secara sistemik dalam aturan hidup sekuler kapitalisme yang berlandasakan pemisahan agama dalam kehidupan yang menggunakan asas untung rugi dunia dalam melakukan perbuatan.

Dalam sistem kapitalisme sangat dirasakan adaanya ketimpangan sosial di masyarakat, yang kaya makin kaya dan yang kaya makin. Hal ini terbukti bahwa masih banyak masyarakat yang tidak sejahtera hidupnya sehingga mengambil jalur prostitusi dalam menyambung hidupnya.

Selain itu, eksploitasi anak melalui prostitusi juga telah menjadi legal dalam negara, karena tak jarang adanya para aparat negara yang menjadi bagian dari prostitusi tersebut baik pengguna ataupun sebagai mucikarinya. Ini membuktikan pemerintah yang seharusnya sebagai pelindung bagi masyarakat justru memuluskan eksploitasi anak tersebut.

Penerapan sistem sekuler kapitalisme oleh negara telah menjadikan negara sibuk dengan pembangunan infrastruktur dan megah dengan berbagai proyek prestisius lainnya. Namun, negara lalai dari tanggung jawabnya untuk melindungi setiap individu rakyatnya, termasuk anak-anak.

Ditambah, keluarga yang sibuk mengejar materi sehingga tidak memperhatikan tumbuh kembang anak. Menganggap bahwa memiliki anak adalah beban atau malah dijadikan ladang cuan. Selain itu, kurangnya keimanan yang tumbuh di tengah masyarakat membuat semua gelap mata dan menghalalkan segala cara untuk memperoleh uang.

Ketika semua pihak yang seharusnya melindungi anak-anak, yaitu keluarga, masyarakat, dan negara, tidak menjalankan fungsinya, anak-anak pun rentan menjadi korban eksploitasi, padahal mereka adalah masa depan negara ini. Jika sejak belia mereka telah dieksploitasi, bagaimana mereka bisa menjadi pilar peradaban dan gemilang pada masa depan?

Oleh karenanya, fungsi perlindungan terhadap anak ini harus ditegakkan. Caranya bukan sekadar membentuk kementerian dan komisi yang mengurusi perlindungan anak, tetapi butuh solusi sistemis, yaitu dengan mengganti sistem sekuler kapitalisme dengan sistem Islam yang bisa menjamin perlindungan anak.

Sebagai seorang muslim, Allah Swt, berfirman “Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan.  Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka.” (QS Al An’am: 151).

Dengan demikian, tidak boleh ada pihak yang berbuat semena-mena terhadap anak. Misalnya mengeksploitasi, menelantarkan, dan sebagainya. Islam memiliki mekanisme sistemis untuk melindungi anak.

Pertama, sistem pendidikan dalam negara Islam (Khilafah) berasaskan akidah Islam sehingga menghasilkan individu-individu rakyat yang beriman dan bertakwa. Hal ini akan mencegah adanya orang-orang yang melakukan pekerjaan haram, termasuk dengan mengeksploitasi anak-anak.

Kedua, Khilafah menjamin pemenuhan hak-hak anak sejak masih dalam kandungan hingga ia dewasa. Misalnya, hak memperoleh air susu ibu (ASI), hak hidup, hak memperoleh pengasuhan dan kasih sayang, hak memperoleh nafkah berupa makanan bergizi, pakaian, dan tempat tinggal yang layak, hak mendapatkan layanan pendidikan, kesehatan, dan keamanan dari negara, dan lainnya. Karena dalam Islam anak adalah amanah dari Allah Swt. yang amanah itu akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.

Ketiga, Khilafah mewajibkan bekerja hanya pada laki-laki, sedangkan perempuan tidak wajib bekerja. Kewajiban bagi perempuan adalah melaksanakan fungsi ibu dan pengatur rumah. Mereka berada di rumah untuk mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Jika si ibu tidak ada karena meninggal atau tidak bisa menjalankan perannya karena sakit, fungsi pengasuhan tetap harus terlaksana sesuai syariat.

Keempat, Khilafah akan mewujudkan kesejahteraan ekonomi sehingga orang tidak mengalami tekanan ekonomi yang bisa mendorongnya menjadi korban perdagangan orang.

Kelima, Khilafah akan memberikan sanksi tegas berupa ta’zir bagi setiap orang yang merampas hak-hak anak, termasuk orang yang mengeksploitasi, memperdagangkan anak, dan mendorong masyarakat untuk melakukan amar makruf nahi mungkar.

Dengan semua mekanisme tersebut, Khilafah akan menjamin perlindungan anak sehingga anak-anak bisa hidup aman, terbebas dari segala macam bentuk eksploitasi. (*)

 

Penulis

Dwi Setiawati, S.Pd
(Aktivis Muslimah)

 

***

 

Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.

error: Content is protected !!