Advertisement - Scroll ke atas
  • Pemkot Makassar
  • Media Sulsel
  • Bapenda Makassar
  • Universitas Diponegoro
Opini

FOMO in The World of Gen Z

253
×

FOMO in The World of Gen Z

Sebarkan artikel ini
FOMO in The World of Gen Z
Rahmi Angreni (Penulis)
  • Pemprov Sulsel
  • HUT Sulsel ke-355
  • Ir. Andi Ihsan, ST, MM (Kepala Biro Umum Pemprov Sulsel)
  • PDAM Makassar
  • Pilkada Sulsel (KPU Sulsel)

OPINI—Fenomena “fear of missing out” (FOMO) menjadi tren yang sedang berkembang di kalangan Gen Z. Baru-baru ini boneka Labubu menjadi begitu booming setelah idol K-pop Lisa Blackpink memamerkannya di media sosial. (jawapos)

FOMO berkaitan erat dengan tingkat adopsi layanan finansial technology (fintech) di kalangan generasi muda, milenial, dan Gen Z yang terus meningkat.

Advertisement
Scroll untuk melanjutkan

Berdasarkan laporan Lokadata.id, sebanyak 78 persen masyarakat generasi milenial dan gen Z telah menggunakan aplikasi fintech setiap harinya, termasuk dompet digital, layanan pinjaman, dan pembayaran digital.

Namun, tingginya adopsi tersebut berpotensi menimbulkan kerugian bagi generasi muda jika tidak dibarengi dengan literasi keuangan yang baik.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), generasi milenial dan gen Z memang menjadi penyumbang utama kredit macet pinjaman online (pinjol), yang salah satu penyebab meningkatnya pinjol di kalangan milenial adalah gaya hidup FOMO. (kompas.com)

Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) telah menjadi salah satu tren signifikan di kalangan generasi Z. Dengan kehadiran teknologi digital, terutama media sosial, kecenderungan untuk merasa tertinggal atau tidak terlibat dalam kegiatan yang dianggap penting menjadi semakin nyata.

Dari perspektif komunikasi, FOMO mencerminkan dampak besar interaksi berbasis teknologi terhadap psikologi dan perilaku komunikasi individu, terutama di kalangan remaja dan dewasa muda. (kumparan.com)

Meski terkesan absurd, gaya hidup ini mampuh membius banyak orang, terutama kaum milenial. Pertanyaannya, mengapa gaya hidup FOMO ini terus bermunculan?

FOMO mencerminkan dampak besar interaksi berbasis teknologi terhadap psikologi dan perilaku komunikasi individu, terutama di kalangan remaja dan dewasa muda. Sebagian orang FOMO karena ingin menarik perhatian orang lain.

Di mana seseorang yang FOMO bisa menggadaikan harga diri, keluarga, juga bangsanya untuk mendapatkan apa yang sedang tren.

Sosiolog Sunyoto Usman mengatakan dampak negatif FOMO lainnya adalah dapat membuat seseorang menjadi narsistik. Di mana seseorang merasa dirinya lebih dari orang lain dan kerap memamerkan kehidupan dan kelebihannya di media sosial. Akhirnya, orang akan merasa dirinya lebih menonjol daripada orang lain. (kompas.com)

Fenomena ini tentu menimbulkan pertanyaan, “Bagaimana bisa perilaku ini muncul dan menjadi tren di kalangan generasi?” Praktisi pendidikan Dr. Retno Palupi, M.Kes. menilai, generasi FOMO muncul akibat pendidikan yang salah arah.

Beliau mengatakan pendidikan saat ini tidak disandarkan pada pembentukan karakter manusia atas dasar agama. Saat ini, dari bangku sekolah dasar hingga perguruan tinggi, mereka tidak dibekali dengan akidah yang kuat, tidak dididik untuk bertakwa kepada Allah, tidak dibentuk menjadi insan yang taat pada segala aturan Allah, dan menjauhi segala larangan Allah.

Kurikulum dibuat dengan memisahkan agama dengan ilmu pengetahuan umum. Jika ingin memahami agama, di madrasah atau pesantren, sebaliknya jika tidak ingin mendalami agama di sekolah umum saja.

Kurikulum sekolah hanya membentuk menjadi ilmuwan. Kalaupun ada, penilaian softsklill bersifat umum, sedangkan kedisiplinan, kerja sama, saling menghargai dan softskill dinilai secara dangkal.

Akibatnya, banyak masyarakat yang mengeluhkan mengapa generasi sekarang menjadi generasi lemah mental, kurang tata krama, tidak punya daya juang, suka bullying, generasi zombie, generasi FOMO? Ini karena yang mendidik karakter mereka adalah media sosial, bukan pendidikan sekolah. (Muslimah News)

Hal di atas tidak lepas dari sistem sekuler kapitalisme demokrasi yang mendewakan prinsip kebebasan. Dalam sistem ini, fenomena ini dibenarkan. Ketika kebebasan individu untuk melakukan apa pun terjamin, setiap keputusan pribadi menjadi masalah privasi dan tidak perlu diganggu gugat.

Sistem ini juga menghasilkan berbagai standar sosial yang berorientasi pada kemewahan materi. Kondisi ini membuat masyarakat hanya mengejar kebahagiaan yang berifat jasadiah semata.

Tujuannya tidak lain adalah agar bisa diakui di masyarakat. Gaya hidup penuh prestise ala masyarakat kapitalisme ini pada hakikatnya menimbulkan kesenjangan sosial akut sekaligus konsumerisme. Ini pula yang menjadi ruang bagi bisnis ribawi untuk masuk seperti pinjol dan jenis layanan paylater yang marak saat ini.

Sayangnya, jika peran penting mereka terbajak dengan berbagai perilaku hedonis dan konsumeris dengan referensi hidup para influencer. Mereka terjebak dalam ruang hidup hedonis, yang sangat peduli dengan penampilan, tetapi hidup boros meski harus terlilit utang. Generasi ini terpesona oleh kehidupan penuh warna yang berpusat pada kesenangan dunia yang bersifat ilusi.

Fatamorgana kebahagiaan yang diciptakan kapitalisme telah membuat mereka berpikiran sempit dalam mendefinisikan makna kebahagiaan, sehingga lupa akan peran pentingnya bagi peradaban. Pengabaian potensi gen Z untuk berprestasi dan berkarya yang lebih baik, juga menghalangi potensinya sebagai agen perubahan menuju kebaikan pun terjadi.

Apalagi regulasi dalam sistem hari ini tidak memberikan perlindungan bagi gen Z, namun justru menjerumuskan gen Z pada lingkaran materiaslistik melalui sosial media yang menciptakan gaya hidup FOMO.

FOMO? Let’s Change that with Islam

Islam memandang bahwa generasi memiliki potensi besar dan kekuatan yang dibutuhkan umat sebagai agen perubahan. Berada pada usia produktif berarti generasi memegang peranan penting dalam membangun model masyarakat yang tidak hanya mementingkan perkara duniawi saja.

Sebaliknya, generasi memiliki kontribusi besar dalam mengarahkan masyarakat yang memahami pentingnya dimensi ukhrawi dalam menjalani kehidupan. Peran ini tidak sibangun semata atas dasar tuntutan sosial. Peran ini didasarkan pada tuntutan keimanan sehingga kukuh dan menghunjam pada diri generasi.

Untuk itulah, negara berperan penting dalam mengarahkan potensi generasi. Negara bertugas menyelenggarakan sistem pendidikan dengan kurikulum yang berfokus pada pembentukan kepribadian Islam. Negara juga menjalankan sistem kurikulum pendidikan yang mengarahkan life skill generasi sesuai visi politik negara untuk menjadi negara yang mandiri dan terdepan di kancah internasional.

Saluran media yang selama ini menjadi pintu gerbang kehancuran generasi akan negara tata ulang dengan membersihkan arus informasi dan teknologi dari upaya pembajakan potensi generasi yang melenakan.

Negara akan mengaruskan proses edukasi di media yang selaras dengan tujuan pendidikan yakni pembentukan kepribadian Islam yang tangguh dan penguatan pemahaman generasi tentang berbagai skill yang akan membantu memenuhi kebutuhan negara akan tenaga ahli.

Versi terbaik generasi Islam inilah yang pernah menjejaki peradaban Islam di berbagai masa kejayaannya. Generasi yang mewakafan dirinya untuk kemuliaan Islam yang tidak terbutakan oleh fatamorgana dunia, alih-alih terbawa arus fenomena FOMO. (*)

 

Penulis: Rahmi Angreni

 

***

 

Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.

error: Content is protected !!