OPINI—International Women Day (IWD) atau Hari Perempuan Internasional ditetapkan untuk menunjukkan betapa pentingnya posisi perempuan. Tema yang diusung di tahun ini adalah “DigitALL: Inovasi dan teknologi untuk kesetaraan gender” (CNN Indonesia, 8/3).
Kalangan feminis menganggap ada kesenjangan gender dalam akses digital dan menjadi penghalang utama bagi partisipasi perempuan. Tuntutan dunia digital yang aman, inklusif, dan adil dinarasikan bisa menjadi jalan kesetaraan gender.
Sejarah dari ide kesetaraan gender ini diperjuangkan oleh gerakan feminisme yang terlahir dari negara-negara di Eropa, Amerika bahkan Rusia pada abad kegelapan. Kaum perempuan dianggap sebagai manusia kelas dua bahkan tidak dianggap sebagai manusia.
Disana terjadi perbudakan perempuan begitupun laki-laki. Hak-hak perempuan pun tidak terpenuhi sehingga mereka merasa harus menuntutnya. Maka mulailah terjadi gerakan-gerakan perempuan.
Puluhan tahun berlalu, perjuangan atas ide kesetaraan gender ternyata masih belum bergeming. Di Indonesia saja, partisipasi perempuan sebagai anggota parlemen sebanyak 30% belum tercapai.
Secara global, perwujudan Planet 50:50 dimana partisipasi peran perempuan dan laki-laki yang akan sama diberbagai bidang pun belum terwujud. Jadi, sejauh ini perjuangan kesetaraan gender sama sekali belum membuahkan hasil.
Latar belakang ide ini terjadi di Eropa, bukan dari negeri Muslim. Sementara pada saat bersamaan, tidak ada kesenjangan, diskriminasi bahkan perbedaan kelas antar masyarakat yang terjadi di negeri-negeri Muslim.
Di tengah peradaban Islam justru mendirikan Universitas Al Qarawiyyin, sebagai universitas tertua pertama di dunia yang didirikan oleh seorang perempuan bernama Fatimah Al Fihri di Maroko. Ketika pendiri Universitas tersebut seorang perempuan, sudah pasti kesempatan perempuan dalam mengenyam pendidikan tinggi terbuka lebar.
Sesuatu yang diperjuangkan di Eropa seperti ide kesetaraan gender tidak diperlukan sama sekali di peradaban Islam. Sebab, hak-hak publik di dalam Islam bagi seluruh rakyat diberikan dengan mudah tanpa perlu dituntut terlebih dahulu.
Perjuangan ide kesetaraan gender ini tak ayal berangkat dari kekacauan paradigma dalam membaca akar permasalahan. Sebuah anggapan bahwa laki-laki dan perempuan adalah dua pihak yang saling bersaing.
Misal, ketika perempuan itu miskin dan tidak berpendidikan disebabkan karena penentu kebijakan adalah seorang laki-laki. Akhirnya perjuangan difokuskan untuk memiliki hak yang sama antara laki-laki dan perempuan agar kepentingan perempuan pun turut diakomodir.