OPINI—Polemik Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 perihal pelaksanaan Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera, menuai penolakan serempak. Tak hanya buruh, pengusaha pun menolak pemotongan gaji pekerja sebesar 2,5% dan 0,5% dari perusahaan guna membantu pembiayaan pembelian rumah.
Presiden Partai Buruh, Said Iqbal menyoroti, hitungan iuran tabungan perumahan rakyat (Tapera) sebesar 3% yang menurutnya tidak masuk akal. Ia mengungkapkan, sekarang ini, upah buruh Indonesia rata-rata adalah Rp3,5 juta per bulan. Bila dipotong 3% per bulan, maka iurannya adalah sekitar 105.000 per bulan atau Rp1.260.000 per tahun.
Karena Tapera adalah Tabungan sosial, maka dalam jangka waktu 10 tahun sampai 20 tahun ke depan, uang yang terkumpul adalah Rp12.600.000 hingga Rp25.200.000.
Iqbal mempertanyakan apakah dalam 10 tahun ke depan ada harga rumah yang seharga 12,6 juta atau 25,2 juta dalam 20 tahun ke depan? Sekali pun ditambahkan keuntungan usaha dari Tabungan sosial Tapera tersebut, uang yang terkumpul tidak akan mungkin bisa digunakan buruh untuk memiliki rumah (Sindonews, 29-05-2024)
Kebijakan terkait Tapera tentu tak sedikit menambah beban para pekerja/pegawai, terlebih di masa-masa sulit saat ini. Bagaimana tidak, hal ini memberatkan rakyat di tengah banyaknya potongan dan pungutan untuk rakyat. Hal ini seperti macam-macam pajak, iuran BPJS kesehatan, dan berbagai pungutan atau iuran lainnya.
Miris, gaji yang diperoleh para pekerja/pegawai banyak mengalami potongan ini dan itu. Padahal kebutuhan keluarga pun tak kalah banyak dan penting. Apalagi tak bisa dimungkiri kebutuhan pokok semakin hari mengalami kenaikan. Belum lagi pembiayaan sekolah bagi mereka yang telah memiliki anak dan sederat kebutuhan lainnya yang begitu banyak.
Tidakkah para pemimpin atau pejabat berwenang merasa iba pada nasib rakyat yang kehidupannya kian sulit ini? Seolah rakyat kini sulit memperoleh sesuatu dengan harga terjangkau, apalagi cuma-cuma.
Sudahlah kebutuhan primer seperti pendidikan dan kesehatan mahal, masyarakat dibebani lagi dengan berbagai iuran. Belum lagi kalau membahas persoalan pajak yang tak kalah membuat rakyat pusing.
Pun kewajiban iuran Tapera sebesar 3% gaji tentu menambah daftar iuran bersama yang mesti ditanggung perusahaan dan pekerja, selain iuran BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
Dana Tapera ini pun termasuk yang minim memberi manfaat pada pekerja karena jangka waktu iurannya yang sangat panjang dan tidak mudah bagi peserta untuk melakukan klaim pengambilan dana tersebut.
Ketetapan PP Tapera seakan menggambarkan bahwa para pemimpin atau pejabat berwenang masih minim rasa empati terhadap kesulitan hidup yang dihadapi rakyat.
Jika memang para pejabat tersebut belum mampu menyejahterakan rakyatnya secara menyeluruh, janganlah membuat kebijakan baru yang malah menambah beban hidup rakyat yang sudah berat ini, makin berat.
Selain itu, Tapera juga bukanlah solusi untuk kepemilikan rumah, namun menjadi jalan menguntungkan pihak tertentu. Bahkan tak sedikit yang mewanti-wanti agar jangan sampai korupsi baru merajalela di Tapera sebagaimana yang terjadi di Asabri dan Taspen.
Pun hal ini menjadi sorotan karena program Tapera terkesan dipaksakan hanya untuk mengumpulkan dana masyarakat khususnya dana dari buruh, PNS, TNI/Polri, dan masyarakat umum.
Berbeda dengan sistem saat ini. Dalam islam, pemimpin atau pejabat pemerintahan merupakan pelayan atas urusan rakyatnya yang mana ia bertugas melayani mereka, bukan sebaliknya minta dilayani. Sebagaimana Nabi saw bersabda, “Sayyid (pemimpin, pejabat, pegawai pemerintah) suatu kaum adalah pelayan (khadim) mereka.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Karena rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar bagi rakyat. Dari itu, sudah seharusnya penyelenggara perumahan menjadi tanggungan negara. Negara dapat memberikan kemudahan pembelian tanah dan bangunan. Pun dapat membangun perumahan rakyat dengan harga yang terjangkau.
Tak hanya itu, kepala rumah tangga sebagai pencari nafkah juga akan mudah dalam mencari pekerjaan, karena negara berkewajiban dalam menyediakan lapangan kerja bagi rakyatanya.
Dari itu, sungguh memudahkan urusan rakyat merupakan bagian memberikan pelayanan yang baik. Sedangkan mempersulit urusan rakyat merupakan bentuk kezaliman dan dapat membuka peluang perbuatan buruk yang lainnya.
Dengan demikian, tidak mudah mewujudkan pemimpin yang memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap urusan rakyatnya, jika mereka masih minim empati, apalagi rasa takut saat dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Olehnya itu, hanya pemimpin yang takut pada Allah saja yang akan benar-benar menjalankan amanah dengan baik, karena ia tak hanya mempertanggungjawabkan di hadapan manusia, tapi kelak di hadapan Allah juga. Wallahu a’lam. (*)
Penulis:
Fitri Suryani, S.Pd (Freelance Writer)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.